Cina atau Tionghoa

Siauw Giok Tjhan

Disini adalah sebagian kutipan buku dari LIMA ZAMAN karangan Siauw Giok Tjhan yg ada sangkut paut dengan istilah "Cina" dan "Tionghoa". Beliau adalah ex Menteri Negara diperbantukan pada Perdana Menteri dalam kabinet Amir Syarifudin I dan II (1947-48). Buku ini masih di larang di Ind.

Quote

Peraturan penguasa perang Jawa Timur itu ternyata merugikan nama baik RI di luar negeri sebagai negara hukum yang berazaskan Panca Sila. Ketika itu RI sedang berusaha keras untuk memperoleh bantuan keuangan dari IMF dan Bank Dunia dan approach untuk memperolehnya dilakukan di Tokio dari tanggal 19-26 September I966. Jenderal Soeharto dalam pertemuan di Tokio itu telah berjanji untuk menindak tegas kegiatan-kegiatan anti asing di Indonesia. Penegasan ini tidak menyebut bahwa ia akan bertindak tegas juga terhadap kegiatan anti Tionghoa. Tetapi perundingan-perundingan dengan negeri-negeri calon pemberi kredit melukiskan bahwa berlangsungnya tindakan-tindakan anti-Tionghoa bisa merugikan rencana perbaikan keadaan ekonomi dengan mengundang masuknya modal asing.

Perkembangan perundingan itu telah memaksa Jenderal Soeharto untuk mengeluarkan pernyataan pada tanggal 7 Juni 1967. Dalam pernyataan itu Jenderal Soeharto menegaskan bahwa orang asing dengan itikad baik akan dilindungi dan dijamin keamanan jiwa, milik dan usaha dagangnya. Modal domestik (dan yang dituju adalah modal Tionghoa asing di Indonesia) akan dipergunakan, tetapi modal domestik ini tidak memperoleh jaminan seperti modal asing.

Di lain fihak sebagai "penenang" napsu anti Tionghoa, yang masih terasa ada di kalangan mereka yang dipengaruhi oleh usaha-usaha "gelap" dari dua superpower asing, maka pada tanggal 25 Juli 1967 dikeluarkan keputusan oleh penguasa militer, supaya istilah "Tionghoa" diganti dengan istilah "Cina" Alasan digunakannya istilah "Cina" karena dianggap lebih tepat dengan asal-usul istilah itu yang banyak digunakan Rakyat di zaman dahulu kala. Ada juga yang menyatakan bahwa istilah "Cina" itu lebih tepat, karena dapat meniadakan "inferiority complex" (rasa rendah diri) dari Rakyat Indonesia dan lebih cocok dengan suara sebutan "Cina" dalam bahasa Inggris.

Putusan penguasa militer itu tentu saja menimbulkan reaksi, Mochtar Lubis dari luar negeri menyatakan bahwa istilah "Cina" mengandung unsur penghinaan dan memang dirasakan sebagai penghinaan oleh orang-orang Tionghoa, terutama di Indonesia.

Dalam hubungan ini baiklah diperhatikan perkembangan sejarah yang menyebabkan istilah "Cina" diganti dengan "Tionghoa" di Indonesia, yaitu sebagai berikut:

1. Istilah "Cina" yang mengandung unsur penghinaan itu mulai tidak banyak digunakan setelah di Betawi dahulu, Jakarta sekarang, didirikan Tionghoa Hwee Koan dalam tahun 1900, dalam rangka memulihkan kembali rasa percaya akan kemampuan diri sendiri dari orang-orang yang dahulu disebut "Cina". "Self respect" (perindahan terhadap diri sendiri)dipulihkan dengan penggantian istilah " Cina" menjadi "Tionghoa" Penggunaan istilah "Tionghoa" dikokohkan di Indonesia setelah revolusi Rakyat Tiongkok mencapai kemenangan di bawah pimpinan Dr. Sun Yat Sen (10 Oktober 1911). Jadi penggantian istilah "Cina" dengan "Tionghoa" secara umum di Indonesia merupakan hasil revolusi Rakyat Tiongkok.

2. Tokoh-tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia di zaman penjajahan Belanda telah menggunakan istilah "Tionghoa" dan tidak lagi memakai istilah "Cina" karena menjadi satu kebiasaan yang tidak ditentukan oleh hukum bahwa hasil kemenangan revolusi suatu Rakyat harus diindahkan, dihargai tinggi oleh pejuang-pejuang kemerdekaan. Teladan ini diberikan oleh tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia seperti Dr. Tjipto Mangunkusumo, Ki Hajar Dewantara, Tjokroaminoto, Dr. Sutomo, Bung Karno dan lain-lain. Tradisi baik ini diteruskan oleh Mochtar Lubis dan B.M.Diah yang memimpin harian Merdeka, yang tetap menggu- nakan istilah "Tionghoa". Bukan untuk memperkokoh suatu "inferiority complex", melainkan untuk mengindahkan hasil revolusi Rakyat Tiongkok. Rakyat Indonesia juga mengharap bahwa hasil-hasil revolusinya akan diindahkan dan dihormati oleh pejuang-pejuang kemerdekaan bangsa lain.

3. Nama resmi Tiongkok setelah revolusi nasional Rakyat Tiongkok adalah "Chunghua Minkuo'', Republik Tiongkok. Chunghua adalah ucapan Mandarin dari Tionghoa menurut ucapan Hokkian. Setelah 1 Oktober 1949, nama negara Tiongkok menjadi Chunghua Ren Min Lien Huo Kuo, yang diterjemahkan menjadi Republik Rakyat Tiongkok. Jadi bila mau resmi-resmian, harus menyebut Tiongkok dengan Chungkuo dan bahasa serta orang Tiongkok diterjemahkan menjadi Chunghua dalam lidah Mandarin dan Tionghoa dalam dialek Hokkian. Terserah, tetapi yang pasti bukanlah...."Cina". Apa lagi orang Indonesia tentu bukan orang Inggris yang menyebut Tiongkok dengan "China" ("Cina").

Dalam hubungan dengan menggunakan istilah Tionghoa ini baik juga diperhatikan sebagai kenyataan bahwa siaran radio-radio negeri besar dan beradab dalam bahasa Indonesia, seperti Voice of America, BBC, Australian Broadcasting Corporation, Radio Nederlnd dan lain-lain, tetap menggunakan istilah "Tionghoa", jadi tidak menghiraukan putusan penguasa militer Indonesia.

Malahan Adam Malik yang menjadi Menteri Luar Negeri ketika itu sering keseleo menggunakan istilah Tiongkok dan Tionghoa dan kadang-kadang juga "Cina" bila ingat ada keputusan penguasa millter. Terasalah bahwa antara "hati" dan "otak" ada kontradiksi dan kadang-kadang terpaksa mengucapkan'"China" menurut bahasa Inggris.

Lucu, tetapi menyedihkan juga !

Unquote

Page 365-366 -Belajarlah Dari Pengalamn-LIMA JAMAN (Perwujudan Integrasi Wajar)oleh Siauw Giok Tjhan