MELATI.
Oleh: MATRA

Melati, gadis kecil berusia 6 tahun, pulang kerumah dengan tangisan. Kepada papanya ia bertanya, "Pak Guru bertanya siapa nama asliku. Aku tidak tahu. Pak Guru ngotot. 'Pasti ada', katanya. 'Tanyakan sama papamu, ya?' Sekalian juga bawa surat-suratnya, katanya lagi. Aku bilang, dari lahir namaku Melati. Melati Wijaya. Itu nama asliku. Pak Guru tetap tidak percaya. Apa Melati punya nama asli yang lain, Pa?"

Sundoro Wijaya menghela napas. Ia tak tahu harus menjawab bagaimana. Ditatapnya gadis kecilnya itu. Mata lugu, wajah tak berdosa.

Melati lahir Juli 1992. Sejak dia lahir, Wijaya sudah memberinya nama Melati. Itulah nama kembang mungil putih bersih, harum, dan hanya tumbuh di bumi Indonesia. Wijaya berharap putrinya akan mencintai tanah tumpah darah tempat dia dilahirkan, dengan hati putih sesuai dengan simbol melati. Hal yang sama Wijaya lakukan pada dua kakak Melati. Yang sulung diberi nama Yudistira, anak sulung Pendawa yang punya darah putih itu. Dan yang kedua Bima, adik Yudistira dalam perwayangan, tokoh yang sangat menghargai kejujuran dan keberanian. Jangan heran, Wijaya memang sangat menggemari wayang. Ayah Wijaya malah bisa mendalang.

Wijaya lahir 1964, di Jakarta. Seperti kedua orang tuanya, ia memang punya nama asli. Mulanya ayahnya bermarga Wie, dan ibu Kho. Kemudian, surat-surat diurus. Ayahnya lalu berganti nama menjadi Wijaya Sunoto, ibunya menjadi Komariah. Dan itulah asal muasal nama Sundoro Wijaya.

Kisah lama yang ingin ia lupakan. Itu sebabnya Wijaya tidak mengurus surat-surat lain bagi anak-anaknya. Pikirnya, bukankah ketiganya lahir di bumi Indonesia?. Jadi, mengapa harus ada surat-surat lain, selain akta kelahiran yang sah dari pemerintah daerah?. Mereka adalah warga negara Indonesia. Tak boleh diragukan. Seyogianya, hak dan kewajibannya sama pula dengan hak dan kewajiban warga negara Indonesia lainnya. Artinya, perlakuan paling sederhana saja : seharusnya jangan lagi ditanyakan nama aslinya.

Diserbu pertanyaan Melati, Wijaya sungguh tak mampu mencari jawaban yang paling masuk akal. Pikirannya buntet. Dalam hati ia menjawab, "Benar, sayang, kamu memang keturunan Tionghoa. Tapi kamu orang Indonesia." Sungguh, Wijaya tak tega memberi tahu putrinya mengenai soal keturunan. Bukankah sudah tiga generasi, sejak kakek Melati, semuanya lahir di Indonesia ? Bahkan Wijaya tua lebih fasih berbahasa Jawa Solo, dan tidak bisa lagi berbahasa Mandarin. Beberapa anggota keluarga kawin -mawin dengan orang Minahasa, Tapanuli, dan Jawa. Malah ada yang masuk Islam, Katolik, dan Protestan. Mereka bukan lagi "kasno" (bekas Cino), tapi sudah sering disebut "kirno" (mungkir Cino). Itu karena mereka adalah orang Indonesia. Darah dan daging. Semangat dan jiwa.

Bagi mereka pembauran bukan lagi melulu slogan. Hidup dijalani dengan dinamis dan takdir bukan sesuatu yang mengerikan. Seperti air, mereka mengalir. Jika jodoh sudah jatuh, asal muasal sang jodoh bukan halangan besar. Memang setamat SLA, Wijaya berniat masuk Akabri. Tapi akhirnya ia menyadari adanya beberapa hambatan. Dan ia iklas saja. Kini, ia bekerja sebagai akuntan di sebuah perushaan besar akuntansi.

NASIB. TAKDIR. AIR MENGALIR. JALAN. KEBAHAGIAN.

Siapa Melati? Betulkah dia harus memiliki nama asli? Tapi mengapa? Dan kenapa Melati harus diingatkan lagi bahwa dia "perlu" memiliki nama asli? Lalu, mengapa senantiasa wajib diingatkan? Wijaya bahkan sudah lupa siapa nama "d/h"-nya. Ia merasa tak perlu lagi mengingatnya. Ia adalah Sundoro Wijaya. Titik.

Tetapi Wijaya masih termangu. Dan Melati tetap menunggu jawaban. Tampaknya, banyak Melati lain yang juga masih menunggu jawaban. Sampai sekarang.

MATRA, JULI 1998 [ N. RIANTIARNO ] RK


BACK


Copyright © 1998 INDO CHAOS All rights reserved.