Trauma Perkosaan
Tanggapan untuk artikel "Aborsi pasca perkosaan: boleh atau tidak ?"
Oleh: Leila Ch. Budiman

Bapak Wid, para korban dan "calon" korban yang prihatin,
Secara pribadi saya merasa sangat sedih dan malu sekali bahwa kebiadaban yang luar biasa kejinya dapat terjadi pada bangsa kita, perkosaan massal pada tanggal 14 Mei, juga sebelumnya terjadi di beberapa daerah lain. Pertolongan telah diulurkan, dari para tetangga, relawan, rohaniwan, lembaga swadaya masyarakat, sampai Fakultas Psikologi UI. Ini saya hadiri sendiri ketika ke Jakarta. Namun kebrutalan terjadi lagi, beberapa penolongnya dan si korban sendiri dapat ancaman keras, tampaknya dari si penjahat itu sendiri. Mengapa gerombolan penjahat itu masih bebas berkeliaran? Apakah mereka kebal hukum? Dapatkah kita merasa aman dengan tatanan hukum demikian?

Rina telah sangat menderita, juga "Rina" lainnya dan calon-calon "Rina". Penderitaan korban perkosaan sangat berat sehingga 80 persen akan mengalami PTSD (post traumatical stress disorder, DSM 4) stres pascatrauma yang mengacaukan jiwanya. Awalnya dapat terjadi syok, panik, dibebani muatan emosi yang berat seperti malu, takut dan depressi. Pada saat itu mereka dapat melakukan tindakan nekat, bunuh diri, seperti yang dilakukan seorang ibu yang diperkosa di depan suami dan anak-anaknya tanggal 14 Mei lalu. Selebihnya 80 persen akan dihantui trauma ini, paling sedikit selama sebulan menderita PTSD.

Para penderita PTSD seringkali menghayati kembali kejadian traumatis itu meski ia sendiri tidak menginginkannya. Bagi orang lain, hanya tampak sebagai Rina yang tiba-tiba menangis tanpa sebab. Atau si korban mengalami lagi traumanya dalam mimpi buruk. (Rina sering menjerit dalam tidurnya, "Ampun Pak, ampun Pak."). Pengalaman yang menyedihkan ini mudah muncul kembali jika terlihat simbol-simbol atau adegan dan kata-kata yang menjurus ke sana. Jadi pemeriksaan polisi ataupun wawancara yang berulang kali menanyakan kejadian itu, apalagi dengan sikap melecehkan dan mengejek, dapat memperparah traumanya. Jika melihat tempat kejadiannya, meski di rumahnya sendiri dapat membuat ia panik kembali. Itulah sebabnya Rina sukar sembuh di rumah, sebab di situlah kejadian traumatis itu berlangsung... Suasana dan lingkungan baru dapat lebih menolong penyembuhannya. Seringkali pada hari "ultah" kejadian traumatis itu, penderita akan stres lagi.

Ciri lain dari sindroma stres pasca perkosaan adalah menghindar dari berbagai stimuli yang menjurus ke kejadian itu, baik pemikiran maupun percakapan. Hingga tidak mengherankanlah dari sekian banyaknya korban, tidak ada yang melapor kepada Menteri Peranan Wanita atau kepada polisi. Kesannya lalu seakan-akan tidak ada korban, padahal dari data yang dapat dipercaya jumlah mereka lebih seratus orang. Mereka justru lebih suka menyimpan sendiri kesedihannya. Dari luar hanya tampak ia jadi pemurung, tidak seceria dulu lagi.

Goncangan psikologis ini tampil pula secara fisiologis, seperti sukar tidur, mudah tersinggung, sukar konsentrasi, kaget-kagetan dan reaksi fisiologis berlebihan pada ekspos pengalaman traumatis itu. Ditambah dengan kemungkinan mendapat sakit kotor, luka dalam, dan kehamilan.

Apa yang dapat ditolong?
Seperti menghadapi sakit tubuh, juga pada derita jiwa, tambah cepat ditolong tambah baik. Pertolongan pada Rina agak terlambat, meski belum sangat terlambat. Di negara yang sudah maju, rumah sakit dilengkapi dengan bagian penanganan untuk korban perkosaan. Sang korban sebaiknya ditemani dan korban diperlakukan secara hati-hati sekali, sebab ia sedang syok berat, jangan ditambah deritanya dengan ejekan dan kekasaran.

Sebelum ke rumah sakit, dilarang mandi dulu, sebab ini dapat menghapuskan bukti-bukti yang sangat berharga dari si pemerkosa. Dokter dapat memeriksa luka luar dan dalam. Adakalanya dinding antara anus dan vagina sobek. Dokter juga memberikan suntikan anti-VD (venereal desease, penyakit akibat hubungan seksual) dan tes sifilis. Juga DES, pil untuk mengembalikan haid, diminum sehari setelah perkosaan, berturut-turut lima hari untuk menghindari hamil dan aborsi. Namun ini berbahaya bagi ibu-ibu yang hamil, sebab dapat merusak janin. Alangkah baiknya jika ini dilakukan pada Rina dulu.

Jika bagian untuk menangani korban perkosaan belum ada di rumah sakit kita, maka dokter pribadi atau dokter yang tinggalnya paling dekat pun dapat menolong. Hasil pemeriksaan dari dokter dapat dijadikan bahan bukti untuk mencari dan menghukum si penjahat. Lebih baik lagi jika korban mau merekam apa yang terjadi. Pasti ini sangat sukar namun perlu untuk bukti, untuk melacak si penjahat, sebab tambah lama ingatan kita tambah kurang akurat. Pertolongan lain, terutama untuk membangkitkan semangat hidupnya kembali dapat diberikan oleh kaum kerabat, rohaniwan, psikolog. Yang besar manfaatnya adalah terapi kelompok, bersama teman-teman senasib yang dipimpin ahlinya.

Bagaimana dengan kehamilannya? Bagi saya korban perkosaan adalah bagai korban perampokan, selayaknyalah ia dikembalikan ke keadaannya semula, baik kesehatan jiwa, kegadisan maupun ketidak-hamilannya. Derita kehamilan akibat perkosaan tidak hanya sembilan bulan saja, tetapi dapat berlangsung sepanjang hidupnya. Tidak patut dan tidak adil rasanya jika korban harus menderita sekian lamanya untuk pelampiasan kebiadaban satu atau beberapa orang, apalagi jika orang tersebut tidak dihukum. ***


BACK


Copyright © 1998 INDO CHAOS All rights reserved.