Warga Keturunan Tionghoa dan Distribusi

Oleh Kwik Kian Gie

Selasa, 7 Juli 1998
Opini pembaca dari Harian Kompas

BELAKANGAN ini banyak sekali liputan media massa yang buat saya menimbulkan tanda tanya besar kebenarannya. Berita dan pendapat tersebut ialah yang menggambar-kan bahwa barang langka dan mahal karena perdagangan, terutama distribusinya lumpuh. Perdagangan lumpuh karena para pengusaha, terutama para pedagang keturunan Tionghoa terbang ke luar negeri membawa harta kekayaannya. Karena 70 persen dari perdagangan di tangan mereka, maka ekonomi menjadi lumpuh, barang langka, harga meningkat.

Apakah betul begitu? Kita harus sangat berhati-hati dalam menanggapi berbagai macam "teori" tersebut. Tidak mustahil, bahwa kerusuhan di Jakarta dan Solo tanggal 14 Mei yang lalu dipolitisir untuk mendiskreditkan pihak-pihak tertentu.

Memang benar bahwa pada tanggal 14 Mei 1998 sampai sekitar tiga hari setelah itu, banyak toko yang tutup. Memang benar, banyak barang dagangan yang dijarah, sehingga sebagian toko-toko yang ada di Jakarta tidak mempunyai persediaan lagi. Memang betul bahwa dari mulut ke mulut dan juga masuk ke media massa, bahwa ternyata pada tanggal 14 Mei 1998 itu cukup banyak terjadi perkosaan, penganiayaan, pembunuhan, sehingga membuat masyarakat keturunan Tionghoa menjadi marah, sangat resah, dan merasa sangat tidak pasti atas keselamatan jiwanya. Dan memang betul juga bahwa cukup banyak yang meninggalkan Tanah Air. Tetapi berapa banyak? Disebutkan jumlah 100.000. Kalaupun itu benar, apakah itu boleh dikatakan banyak, sehingga bisa melumpuhkan ekonomi Indonesia?

Maka marilah kita renungkan dengan kepala dingin dan amati berita-berita di media massa secara keseluruhan. Beberapa hari setelah terjadinya peristiwa tanggal 14 Mei 1998, juga ada berita-berita dan tayangan televisi bahwa cukup banyak dari keturunan Tionghoa yang sudah kembali ke Jakarta. Kondisi Kota Jakarta sebenarnya satu hari berikutnya, yaitu pada tanggal 15 Mei 1998 sudah aman. Kita menyaksikan tank-tank dan mobil panser di mana-mana dengan tentara siap tempur, lengkap dengan senjatanya dalam posisi siap tembak.

Lantas apakah demikian banyaknya toko dan kantor yang musnah terbakar atau rusak berat itu tidak mempunyai dampak bahwa arus barang dan jasa yang kita butuhkan sehari-hari terganggu? Jelas ada dampaknya. Ada beberapa toko yang menjadi langganan kita terbakar habis, sehingga kita terpaksa harus mencari toko lain. Tetapi ada banyak toko lain di Jakarta yang begini luasnya. Maka kalau lantas dikatakan bahwa seluruh jaringan distribusi lumpuh, karena 100.000 pengusaha keturunan Tionghoa kabur ke luar negeri, jelas terlampau berlebihan.

MARI pembaca masing-masing merenung, apakah memang terpaksa harus mengurangi konsumsi kebutuhan sehari-harinya, karena barang yang dikehendakinya tidak ada, karena tidak ada toko yang buka? Yang saya alami tidak demikian. Yang saya alami ialah bahwa seperti yang dikatakan, memang ada toko langganan saya musnah terbakar. Tetapi barang yang saya kehendaki dapat diperoleh dari sangat banyak toko lainnya lagi di Jakarta yang demikian besarnya ini.

Yang membuat saya terkejut setengah mati adalah harga barang yang melambung demikian tingginya. Inilah yang dikeluhkan oleh semua orang. Bukan karena jaringan distribusi rusak parah. Rusak sedikit memang ya, tetapi tidak sampai demikian mengganggunya, sehingga orang tidak bisa memperoleh barang sama sekali.

Apa bukti lain bahwa distribusi sebenarnya tetap lancar? Kalau dirasakan bahwa distribusi hancur, mestinya 'kan barang yang ada menumpuk di gudang-gudang tertentu. Nyatanya tidak. Maka kalaupun ada kelangkaan barang, persediaan barang di Indonesia memang menjadi langka. Mengapa? Karena banyak sekali dari barang kebutuhan kita sehari-hari yang nyatanya diimpor. Karena diimpor, dan harga rupiah terpuruk terus sampai mencapai sekitar Rp 15.000, jelas bahwa masyarakat tidak mampu membelinya lagi. Omset menurun drastis, sehingga importir tidak mengimpornya lagi. Barang lantas langka. Kalaupun masih ada yang mengimpor dengan cara inang-inang, harganya menjadi tiga sampai enam kali lipat.

Jadi yang menjadi inti permasalahan adalah kondisi ekonomi secara keseluruhan, terutama karena terpuruknya nilai rupiah yang luar biasa. Bukan karena adanya 100.000 warga negara keturunan Tionghoa yang kabur membawa semua kekayaannya. Dengan mengemukakan demikian, yang didengungkan terus menerus, ditimbulkan gambaran, bahwa warga negara keturunan Tionghoa itu memang kurang patriotik. Juga ditimbulkan gambaran bahwa kalau ekonomi di tangan mereka, kondisi ekonomi sangat rawan. Mengapa? Sedikit-sedikit mereka kabur, sehingga ekonomi ambruk. Ini adalah gambaran yang sama sekali menyesatkan, dan ingin menutupi segala kelemahan dari faktor-faktor fundamental ekonomi kita. Apa semuanya itu? Tidak perlu saya kemukakan sekali lagi setelah begitu banyak kita baca sejak tanggal 14 Agustus 1997.

Memang ada beberapa pengusaha yang kabur. Kebanyakan adalah beberapa gelintir orang pemilik konglomerat yang nakal. Mereka takut kena pengusutan dan penyidikan. Yang tidak konglomerat juga ada, tetapi jumlahnya tidak seberapa sampai mengganggu kelancaran distribusi yang serius.

Di sekitar saya, memang ada yang di luar negeri. Tetapi mereka memang sering ke luar negeri. Memang ada yang merasa lebih aman di luar negeri untuk sementara. Tetapi ternyata kecele, karena tidak terjadi apa-apa, dan praktis semua orang yang saya kenal sudah pulang kembali.

Yang benar dan menjadi inti permasalahan adalah bahwa perekonomian Indonesia merupakan balon (bubble) yang dibangun dari KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), peraupan dana di Bursa Efek Jakarta, penyalahgunaan kredit dari bank-bank BUMN dan bank-bank swasta, dan penyalahgunaan dari kredit dari bank-bank di seluruh dunia. Karena caranya berusaha adalah KKN, maka mereka yang melakukannya sangat sadar, bahwa uang yang diperoleh adalah uang haram. Karena mereka bukan orang-orang bodoh, sudah sejak puluhan tahun, bagian besar dari kekayaan mereka tersimpan di luar negeri. Jadi yang dinamakan pelarian modal atau capital flight, yang jelas mempunyai andil besar dalam depresi dan stagflasi, sudah terjadi sejak lama secara berkesinambungan.

SIAPA yang melakukannya? Apakah semata-mata warga keturunan Tionghoa? Jelas tidak. KKN per definisi adalah kerja sama antara pengusaha dan penguasa. Yang menjadi penguasa adalah warga pribumi. Jadi tidak mungkin ada warga negara keturunan Tionghoa bisa ber-KKN tanpa adanya warga negara pribumi yang terlibat. Hasil KKN mereka sama besarnya dengan yang diperoleh dari pengusaha nonpribumi yang menjadi rekannya dalam ber-KKN. Tetapi yang pribumi tidak mempunyai perusahaan, sehingga tidak perlu membayar pajak. Kekayaannya juga tidak terlihat, karena mereka tidak mempunyai pabrik-pabrik yang besar-besar. Kekayaannya di luar negeri berbentuk kontan di dalam rekening-rekening bank yang dirahasiakan dengan ketat. Mereka tidak mempunyai tanggungan karyawan dan buruh yang demikian banyaknya. Juga tidak mempunyai beban biaya overhead pabrik yang tidak kecil.

Kalau saya mengatakan ini semuanya tidak berarti bahwa saya membela beberapa gelintir para pemilik konglomerat keturunan Tionghoa yang jahat. Buktinya bahwa saya tidak membela mereka, bahkan sebaliknya menelanjangi praktek-praktek kotor dan mengutuknya, semuanya tertulis dengan rapi.

Saya berani mengatakan bahwa bagian terbesar dari pengusaha keturunan Tionghoa yang jumlahnya berjuta-juta itu pengusaha yang pekerja keras, yang beretika, yang cinta negara dan tidak minggat. Mereka sama sekali tidak kerasan hidup di luar negeri, walaupun mempunyai uang untuk itu. Maka adalah mitos kalau lantas ditimbulkan gambaran bahwa warga negara keturunan Tionghoa itu tidak cinta negara, tidak patriotik, sekarang sudah minggat semua. Lantas ditarik kesimpulan supaya tempatnya digantikan saja dengan yang pribumi.

Para profesional terdidik yang mengenyam pendidikan tinggi di luar negeri memang ada yang pergi ke luar negeri. Tetapi itu karena di sini di-PHK berhubung dengan depresi ekonomi yang sedang kita alami. Dan yang berbuat demikian juga bukan hanya yang keturunan Tionghoa saja, tetapi banyak juga yang pribumi.

Dalam pergaulan sehari-hari di manapun, tidak ada ketegangan antara warga keturunan Tionghoa dengan teman-temannya yang pribumi, walaupun telah terjadi peristiwa 14 Mei 1998.

Akhirnya, jangan salah paham. Saya sama sekali tidak mengecilkan arti dan dampak sangat negatif dari kerusuhan dengan seluruh kejadian dan perbuatan yang terjadi pada tanggal 14 Mei 1998 di Jakarta dan Solo. Dalam banyak kesempatan lain telah saya ungkapkan. Fokus tulisan ini adalah berupaya mendudukkan permasalahannya pada proporsi yang sebenarnya.
( * Kwik Kian Gie pengamat, tinggal di Jakarta. )


BACK


Copyright © 1998 INDO CHAOS All rights reserved.