ABORSI PASCA PERKOSAAN: BOLEH ATAU TIDAK ?.

Diteruskan kepada INDOCHAOS oleh "sammy"

*Semua nama dalam cerita ini adalah nama samaran*

Aku adalah seorang dokter di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta. Terus terang, aku tak pernah mimpi dan tak pernah membayangkan kalau suatu saat aku harus merawat korban perkosaan. Namun saat yang kutakutkan itu pun datang.

Dua minggu lalu aku mendapat pasien seorang gadis bernama Rina. Usianya baru 16 tahun dan wajahnya pun manis. Ia adalah salah seorang korban perkosaan dalam kerusuhan 14 Mei lalu. Entahlah berapa orang yang telah memperkosanya saat itu. Ia tinggal di sebuah ruko di kawasan Jakarta Barat.

Aku tidak tahan mendengarkan cerita menyedihkan yang dituturkan orang tuanya kepadaku. Aku sudah muak membayangkan betapa tega para mahluk biadab itu menyakiti anak manis seperti Rina. Aku bisa membayangkan bahwa Rina adalah gadis yang lincah dan ceria. Namun Rina yang kulihat kini adalah gadis yang pemurung, wajahnya sering menyiratkan ketakutan, dan rupanya kejadian mengerikan itu telah menghapus senyum dari wajahnya. Rina sebenarnya tidak terlalu membutuhkan perawatan medis sebab secara fisik luka-luka akibat perkosaan itu sudah hampir lenyap dan juga untunglah setelah kuperiksa, ia tidak terkena penyakit kotor. Aku kira dia lebih membutuhkan bimbingan psikis oleh rohaniwan ataupun psikolog.

Namun hari itu orang tuanya memilih membawa Rina ke rumah sakit tempat aku bekerja. Mereka ingin agar untuk sementara waktu Rina tinggal saja di rumah sakit sebab Rina masih trauma jika tinggal di rumah. Sering pada malam hari ia bangun akibat mimpi buruk dan berteriak-teriak minta ampun. Ataupun tahu-tahu menangis tanpa sebab. Aku kasihan sekali melihatnya. Maka sejak itu ia tinggal di rumah sakit dengan ditemani 2 orang gadis dari salah satu team relawan. Kami semua berusaha menghiburnya dan memperhatikannya dengan extra. Sebenarnya orang tua Rina juga memiliki maksud lain. Mereka ingin agar aku melakukan tes kehamilan pada Rina, Mereka cemas sekali kalau-kalau Rina hamil akibat perkosaan itu. Maka tes itu pun akhirnya dilakukan.

Sementara itu Rina tampaknya mulai membaik keadaannya sejak ia tinggal di rumah sakit. Ia mulai jarang terbangun dari tidurnya, tak lagi sering terlihat ketakutan dan hanya dua tiga kali aku mendapatinya menangis. Aku bersyukur sekali bahwa Rina anak yang tabah, tidak sampai menderita sakit jiwa akibat perkosaan itu.

Bahkan kemarin ketika aku menyapanya, untuk pertama kalinya aku bisa melihat senyum manisnya. Kedua relawan itu pun gembira karena kondisi psikis Rina agak membaik. Tapi tampaknya kegembiraan itu tak berlangsung lama.

Ketika hasil tes kehamilan itu keluar, seorang suster dengan wajah pucat menemuiku, "Dokter", katanya terbata-bata, "ehh, Rina, eh ..." Saat itu tiba-tiba aku seperti bisa membaca apa yang terjadi. "Astaga!" seruku, "anak itu ... oh Tuhan ... " "Positif, Dok" kata suster itu dengan mata berkaca-kaca. Aku tak tahu harus berkata apa. Baru saja anak itu mulai membaik, kini aku harus membawa kabar buruk untuknya? Apakah dalam kondisi psikis yang masih lemah itu dia bisa menerima berita ini?

Aku memanggil kedua orang tua Rina dan kedua relawan itu dan menceritakan perihal ini kepada mereka. Banjir airmata segera terjadi di depanku. Mereka menanyakan apakah aku bisa melakukan aborsi.

Selama ini aku selalu berpegang teguh pada sumpah kedokteran untuk tidak pernah melakukan aborsi. Aku mencoba menjelaskan kepada mereka bahwa aku sebagai dokter tidak dibenarkan melakukan aborsi. Aku teringat akan berbagai argumen yang dulu aku lontarkan pada para pasien "kecelakaan" untuk menentang aborsi, baik dari segi moral, agama,maupun medis.

Namun di hadapan kedua orang tua Rina, leherku terasa tersumbat. Kedua relawan itu memberi alternatif, yaitu membiarkan bayi itu lahir lalu nanti diberikan ke panti asuhan untuk diadopsi. Semua tergantung pada Rina, mana yang ia pilih. Oh, jangan minta aku untuk menyampaikan berita buruk ini padanya. Aku meminta kesediaan orang tua Rina untuk menceritakan soal ini kepada Rina. Aku tak tahan kalau harus membuat anak itu menangis.

Dan memang itulah yang terjadi kemudian ketika berita buruk itu akhirnya sampai kepadanya. Anak itu menangis sejadi-jadinya dan badannya gemetar. Kami ingin menenangkannya tapi kami semua merasa kaki kami seperti menempel di lantai. "Mama,..Papa,... Rin nggak mau hamil ... Rin takut ... Rin nggak mau, Ma ... Ma, tolong Ma, Papa, tolong Rin, Pa ..." demikian katanya terbata-bata di sela tangisnya.

Kami semua menunduk dan mata kami sudah penuh air mata. Aku tak pernah melihat pemandangan seperti itu sebelumnya. Seorang gadis kecil menangis menyayat hati sambil gemetar. Hatiku teriris-iris namun aku tak mampu mengatakan apapun untuk menenangkan anak itu. Tangan Rina yang gemetar mencengkeram tanganku. "Dokter, tolong Rin, Dokter, tolong, Dokter,...Rin nggak mau hamil...Rin nggak mau, Dokter... tolong Dokter...tolong Rin ..." rintihnya.

Matanya yang sipit tampak membengkak dan banjir oleh air mata. Aku tak tahan melihat mata Rina. Tatapan anak itu begitu memelas dan penuh keputusasaan. Aku bersyukur bahwa mataku pun basah oleh air mata sehingga aku tak dapat melihat ekspresi wajah Rina dengan jelas. Aku tak tahan melihatnya. Rina terus menangis meminta tolong padaku sambil tangannya menarik-narik tanganku. Aku tidak mampu mengatakan apa-apa padanya, perbendaharaan kata-kataku terasa kosong.

Melihat aku diam saja, Rina mulai menyebut nama semua yang hadir di situ. "Suster, tolong Rin, Suster, ... Ci Lea, Rin takut, Ci, tolong Rin...Rin nggak mau, Ci Siska,... Ci,tolong Rin, Ci... Mama, Papa, tolong Rin..."

Kami semua diam terpaku, semua ikut menangis. Aku sebagai dokter tak tahu harus melakukan apa dalam kasus ini. Haruskah aku tetap memegang sumpahku untuk tidak melakukan aborsi? Tak mungkin aku menguliahi Rina dengan 1001 macam argumen supaya ia tidak menggugurkan kandungannya.

Aku melihat di hadapanku seorang gadis cilik yang ketakutan dan lemah. Dan gadis inikah yang selama 8 bulan mendatang harus tetap mengandung bayi yang akan selalu mengingatkannya akan luka psikis yang amat dalam itu? Membayangkan peristiwa itu saja membuat Rina trauma, apalagi dengan adanya "souvenir" dari peristiwa biadab itu berupa janin dalam rahimnya? Dalam kondisi psikis yang masih lemah ini, aku tak bisa membayangkan bagaimana Rina melawati hari-harinya dengan janin dalam rahimnya. Aku khawatir ia mendapat depresi mental yang parah.

Kami semua tetap diam, tak tahu harus memutuskan bagaimana. Rina sendiri mulai berhenti menangis. Tenaganya sudah habis untuk menangis dan kini hanya bisa terisak-isak namun badannya masih terlihat gemetar. "Dokter... tolong Rin, Dokter..." masih bisa kudengar isaknya.

Kedua relawan itu memeluk Rin, berusaha menenangkannya. Aku menoleh ke arah kedua orang tua Rin. Dari mata mereka yang sembab, aku tahu, mereka bertanya, "Jadi bagaimana baiknya, Dokter?" Tanpa kata-kata, aku tahu mereka menanyakan keputusanku. Aku menyeka air mataku dan berkata pelan, "Saya perlu waktu untuk mempertimbangkannya dulu." Tangisan Rin yang mengiba-iba dan menyayat hati selalu terngiang-ngiang di telingaku. Oh Tuhan, apa yang harus kulakukan? Haruskah aku berkata "Tidak" ?

Dokter yang bimbang


BACK


Copyright © 1998 INDO CHAOS All rights reserved.