REFORMASI TOTAL JUGA BUAT ETNIS TIONGHOA.
Bagian Kedua/Habis (21.06.98) Oleh: Lion.

Jangan-jangan kehendak untuk melahirkan UU Anti Diskriminasi hanya janji di atas kertas, atau jika benar-benar lahir hanya sebagai macan ompong, atau pajangan yang kelihatan indah di mata saja, sebagaimana yang sudah banyak terjadi pada UU lain di era Soeharto.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa pemerintahan Habibie belum bisa memulihkan kepercayaan rakyat dan dunia internasional. Sesuatu yang sangat penting agar semua yang diperjuangkan itu, termasuk kesatuan dan kesatuan bangsa bisa benar-benar diwujudkan. Tanpa ada kepercayaan itu, maka semua yang diperjuangkan itu akan sia-sia. Oleh karena itu tentu saja kita semua mengharapkan agar segera lahir pimpinan nasional baru melalui mekanisme hukum yang benar-benar mencerminkan kehendak rakyat. Pemerintahan yang benar-benar dipercaya rakyat, maupun dunia internasional.

Kemungkinan bahwa Soeharto sendiri yang berada di balik kerusuhan tersebut bisa saja benar. Tetapi dalam kondisi di mana dia dalam keadaan begitu tersudut akibat demonstrasi-demontrasi pro-reformasi dari para mahasiswa yang diikuti dengan peristiwa penembakan aparat terhadap empat mahasiswa Trisakti, kemungkinan tersebut saya kira kecil. Karena dalam keadaan demikian rekayasa itu tidak akan menguntungkannya. Bahkan sebaliknya. Lain dengan misalnya peristiwa-peristiwa kerusuhan menjelang Pemilu tempo hari, di mana yang menjadi korban utama juga etnis Tionghoa dan gereja-gereja.

Orang-orang pada ketakutan, sebelum kemudian tampil ABRI sebagai pahlawan (sesuai dengan skenario?) untuk menumpas kerusahan-kerusuhan itu. Dengan demikian rakyat akan berpikir bahwa Soeharto sebenarnya adalah satu-satunya pelindung rakyat dari munculnya berbagai kerusuhan yang sangat meresahkan itu. Oleh karena itu akan mendukung terus kepimpinan Soeharto.

Skenario itu ternyata kemudian tidak sesuai dengan yang dikehendaki ketika badai krisis ekonomi menerpa bangsa ini, yang kemudian menelanjangi perilaku-perilaku sesungguhnya dari pemerintahan rezim Soeharto itu. Yang kemudian menjatuhkannya dari singgasana kekuasaan.

Dalam keadaan tersudut apabila Soeharto kembali melakukan rekayasa kerusuhan anti Cina seperti di Jakarta itu, bukannya akan menguntungkannya seperti skenario di atas, tetapi sebaliknya akan semakin menyudutkannya. Bahwa dia tak mampu lagi mengatasi krisis sehingga melahirkan kerusuhan demi kerusuhan yang semakin meresahkan itu.

Atau bisa saja memang rekayasa kerusuhan Jakarta hasil politik SARA Soeharto dengan perhitungan demikian: Dia sengaja ke Kairo untuk menghadiri Pertemuan Tinggi Pimpinan-pimpinan Asia. Indonesia, khususnya Jakarta pun tanpa Soeharto. Dan lihatlah tanpa Soeharto keamanan negara pun terganggu. Meledaklah kerusuhan maha besar di Jakarta itu. Maka sang pahlawan pun cepat-cepat pulang dan situasi pun menjadi aman. Maka rakyat pun berpikir Soeharto harus tetap dipertahankan agar negara tetap bisa aman. Ternyata yang terjadi di luar perhitungan, dengan massa mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR itu.

Kemungkinan lain yang terjadi adalah dengan menggunakan pola-pola Soeharto sendiri ada sementara pihak tertentu (apakah Habibie cs ?) melakukan rekayasa kerusuhan itu untuk semakin merapuhkan kedudukan Soeharto yang ternyata cukup efektif itu.

Teori lain mengatakan bahwa itu merupakan hasil rekayasa dari Letjen. Prabowo Subianto dalam rangka menjatuhkan Pangab Jenderal Wiranto.
Sebagaimana diketahui pula rumor yang mengatakan bahwa di antara kedua jenderal ini diam-diam ada persaingan. Di samping itu patut juga dipertanyakan tanggung jawab Wiranto sebagai Pangab berkaitan dengan bisa begitu meluas dan leluasanya kerusuhan tersebut berlangsung sampai tiga hari berturut-turut. Seterlambat-terlambatnya, dan bagaimana tidaksiapnya aparat, sangat mengherankan kerusuhan tersebut bisa terjadi di pusat kota Jakarta sampai selama dan menyebar seluas itu tanpa ada halangan yang berarti!.

Apakah ini juga bisa melahirkan suatu teori otak kerusuhan baru ?, Yakni dari kalangan ABRI di luar Prabowo ?, Yang kemudian menaikkan Habibie sebagai boneka ABRI ?, Bukan boneka Soeharto seperti yang selama ini dicurigai orang ?.

Siapapun yang melakukan politik rekayasa kerusuhan yang memakai etnis Tionghoa sebagai bola mainannya patut dikutuk habis. Kutukan saja tidak cukup. Yang lebih menjadi perhatian dalam mengantisipasi sikon yang akan datang maka sangat perlu diadakan tindakan-tindakan nyata untuk mencegah terjadi lagi kejadian-kejadian serupa, jangan lagi etnis Tionghoa dijadikan bola mainan politik pihak manapun juga adalah berupa reformasi nyata atas peran dan pengakuan hak-hak etnis Tionghoa dalam kehidupan bernegara dan berbangsa di masa kini dan yang akan datang.

Upaya-upaya tersebut tidak bisa diharapkan dari pemerintah saja, tetapi etnis Tionghoa sendiri harus proaktif untuk mengatasi keadaan yang selama ini selalu merugikannya, baik dari segi materi, jiwa, maupun martabat. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah ikut aktif dalam kehidupan berorganisasi dan bermasyarakat. Termasuk di dalamnya iktu dalam partai politik yang sudah atau yang akan ada, maupun mendirikan partai sendiri. Yang menjadi masalah adalah ketidaksiapan etnis Tionghoa untuk itu, dan juga masih kurang diterimanya etnis Tionghoa oleh masyarakat.

Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan HAM berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dan tekad pemerintah untuk menandatangani traktat tentang Anti Diskriminasi --yang merupakan bagian dari pelaksanaan reformasi total, maka pendirian partai-partai politik oleh etnis Tionghoa seharusnya tidak perlu dimasalahkan. Kalau kemudian belum apa-apa kita sudah bersikap curiga dan menekan, bahkan memaki orang-orang etnis Tionghoa yang mendirikan partai, maka patut pula dipertanyakan keseriusan, kedewasaan, dan kesungguhan kita dalam mengakui HAM dan menjalankan apa yang disebut reformasi total itu.
Kalau saja memang partai etnis Tionghoa belum bisa diterima oleh masyarakat, maka kita terpaksa dengan berat hati mengakui bahwa kita belum bisa sepenuhnya untuk menjalankan reformasi total itu.

Tetapi apabila partai-partai tersebut sudah diakui eksistensinya, maka dalam prakteknya, atau dalam tindak-tanduknya memang harus rajin-rajin melihat keadaan sekelilingnya. Tindak-tanduk partai-partai ini besar kemungkinan akan diidentikkan oleh masyarakat umum dengan sikap etnis Tionghoa pada umumnya.

Jika tindak-tanduk partai-partai ini dinilai eksklusif, antipembauran, arogan, asosial, dan sebagainya, masyarakat akan melakukan generalisir atas semua etnis Tionghoa. Walaupun hal ini tentu saja tidak benar, tetapi berpotensi untuk melahirkan lagi sikap dan kerusuhan anti Cina dari masyarakat pribumi yang sampai saat ini masih banyak yang berpendidikan rendah, atau wawasannya sempit sebagai akibat pendidikan indoktrinisasi politik rezim Soeharto selama ini. Apabila ini terjadi, maka tujuan pendirian partai-partai tersebut akan sia-sia. Bahkan menjadi bumerang untuk semakin menyudutkan etnis Tionghoa di sini.

Maka para pendiri dan anggota partai akan mempunyai tanggung jawab besar dalam memperjuangkan tujuan-tujuannya yang tentu saja harus beroerientasi pada kepentingan bangsa dan negara Indonesia ini. Partai pun harus bersikap terbuka dalam menerima anggota, maupun siap menerima kritikan darimana pun juga untuk kebaikan partai. Mengingat keadaan Indonesia, maka sebaiknya partai dengan embel-embel nama etnis Tionghoa, seperti Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (Parti), sebaiknya diganti saja dengan nama tanpa embel-embel etnis tersebut.

Harapan yang sama juga untuk berlaku untuk partai-partai yang bersifat kedaerah, maupun agama. Sebab sekarang ini dengan situasi politik yang serba panas potensi disintegrasi di negara ini memang cukup rawan.

Sikap tertutup yang biasa dilontarkan kepada etnis Tionghoa sebenarnya tidak sepenuh benar. Pada masyarakat pribumi pun terdapat perilaku demikian. Misalnya keluarga pribumi dari kalangan ningrat atau pejabat tinggi akan enggan untuk bergaul dengan rakyat biasa.

Seorang pemerhati masalah-masalah etnis Tionghoa di Indonesia, Charles Choppel dalam bukunya Tionghoa Indonesia dalam Krisis, antara lain juga mengatakan tuduhan bahwa Tionghoa selalu eksklusif dan menolak orang pribumi adalah tuduhan yang tidak sepenuhnya benar. Karena dari kalangan pribumi juga ada yang tidak mau menerima Tionghoa dalam lingkungannya.

Kalau kita mau menengok ke belakang, sebenarnya dalam sejarah orde lama beberapa partai politik yang didirikan oleh orang-orang pribumi pun terkesan ekslusif. Contohnya adalah PNI, yang dalam salah satu butir dalam AD/ART-nya menyatakan orang-orang bangsa Asia lain, yang bukan pribumi, mempunyai hak dan kewajiban yang terbatas. Bahkan Partai Indonesia Raya (Parindra) yang didirikan oleh M.H. Thamrin tidak bersedia menerima orang-orang Tionghoa sebagai anggota partai.

Yang sangat memprihatinkan juga adalah banyak pihak yang dalam memberi komentar atas munculnya berbagai kerusuhan itu selalu melihat pada satu sisi saja. Yakni pada sisi negatif etnis Tionghoa saja.

Seolah-olah semua etnis Tionghoa demikian. Misalnya dalam salah satu acara yang ditayangkan oleh TVRI dan seluruh televisi swasta pada hari Sabtu, 20 Juni 1998 tentang kerusuhan anti Cina di Jakarta.

Dalam acara tersebut muncul narasi dan komentar-komentar yang seolah-olah mau menyalahkan etnis Tionghoa saja. Misalnya dari mantan Menteri Agama, Tarmizi Tahir yang antara lain mengatakan bahwa etnis Tionghoa harus menginstrospeksi diri. Sedangkan narasi TVRI mengharapkan kepada etnis Tionghoa agar etnis Tionghoa (WNIKC) kalau punya banyak uang jangan mendirikan rumah-rumah yang (terlampau) mewah, agar mau membaur, dan seterusnya.

Komentar-komentar dan narasi yang dibawakan oleh pembawa acara TVRI tersebut jelas hanya melihat satu sisi saja. Yaitu sisi negatif dari etnis Tionghoa. Seolah-olah semua kerusuhan anti Cina itu pangkal persoalan, atau penyebab utamanya hanya dari kalangan Tionghoa sendiri. Komentar-komentar seperti itu secara tak langsung telah memberikan pembenaran aksi-aksi kerusuhan anti Cina tersebut. Mirip dengan komentar yang pernah dibuat oleh konglomerat pribumi, Probosutedjo, yang katanya merasa terharu melihat aksi-aksi penjarahan. Dan bahwa para perusuh itu hanya mengambil apa yang selama ini menjadi haknya. Komentar-komentar tersebut bisa dianggap memberi angin kepada para perusuh itu. Maka jangan heran kalau kemudian hari kelak akan muncul lagi kerusuhan anti Cina, karena -- pikir para perusuh itu -- bukankah yang salah itu etnis Tionghoa itu sendiri.

Padahal kita sama tahu bahwa pangkal persoalan ini tak lepas dari politik SARA yang selama puluhan tahun dipraktekkan Soeharto mewarisi politik serupa dari pemerintahan kolonial dulu.
Bahkan dalam perkembangan terakhir di mana Soeharto menunjukkan Yohanes Yacob sebagai pengacaranya bisa jadi merupakan kelangsungan praktek politik SARA Soeharto sebagaimana disinggung di atas. Latar belakang Yohanes Yacob memang masih belum begitu jelas, tetapi yang sudah diketahui adalah ayahnya termasuk WNIKC, yang bernama Yusuf Cong asal Flores.

Bisa jadi Soeharto akan mengarah "serangan kebencian" rakyat selama ini kepadanya dan yang terus-menerus mempersoalkan harta kekayaannya ke arah etnis Tionghoa (?) yang bernama Yohanes Yacob itu. Diharapkan rakyat akan berpikir bahwa ini kok ada Cina lagi membela Soeharto. Maka citra etnis Tionghoa pun akan bertambah negatif karena membela orang yang tidak disukai rakyatnya. "Serangan" langsung kepadanya akan berganti kepada Yohanes Yacob pribadi. Tanpa sadar Yohanes Yacob telah menyediakan dirinya sebagai bumper Soeharto.

Kesenjangan sosial boleh jadi sebagai bagian dari pemicu kerusuhan anti Cina. Tetapi bagi saya yang jauh lebih penting daripada semua itu adalah iman dan moralitas bagi setiap individu manusia. Manusia yang bermoral tinggi tidak akan merasa cemburu atas kesuksesan orang lain atau etnis tertentu kemudian melakukan aksi-aksi kerusuhan, melainkan mempunyai rasa toleran terhadap kesuksesan orang lain. Di manakah di dunia ini yang tidak ada kesenjangan sosial? Hanya di Indonesia yang karena ada kesenjangan sosial kemudian memicu kerusuhan SARA! Karena apa? Karena memang pada dasarnya bangsa ini mempunyai sifat-sifat yang rasis.

Mengapa hanya menyuruh etnis Tionghoa yang melakukan instrospkesi ?, Sedangkan dari pihak perusuh sama sekali tidak disinggung untuk memperbaiki moralnya, untuk melakukan instrospeksi juga ?, Saya kira mereka semua perlu menginstrospeksi diri, melakukan perenungan dengan Yang Maha Kuasa, termasuk para pemberi komentar semacam Tarmizi Tahir itu.

Apakah dapat dibenarkan atas nama kesenjangan sosial kalau saya merusak milik orang lain, atau melakukan penganiayaan, bahkan pemerkosaan dan pembunuhan terhadap orang lain hanya karena orang lain itu orang kaya yang bisa membeli rumah miliaran rupiah dan mobil mewah beberapa buah, sedangkan saya sendiri hanya bisa mengontrak sebuah rumah sederhana ?.

Komentar-komentar satu sisi semacam ini, juga seolah-olah mengajar rakyat untuk main hakim sendiri. Di mana bilamana mereka menganggap seseorang atau pihak lain bersalah/merugikan mereka, mereka akan melakukan aksi kerusakan/pembakaran.
Jika sikon seperti ini terus berlangsung, apa yang disebut perjuangan reformasi total khususnya terhadap etnis Tionghoa tak akan tercapai. Hanya sebatas utopia.

Dalam upaya terjadinya kesatuan antara etnis Tionghoa (WNIKC) dengan kaum pribumi, saya tidak setuju dengan program dari Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa) pimpinan Sindhunata, sebagaimana disinggung dalam tulisan Siauw Tiong Djin itu. Yakni program yang berwujud asimilasi dengan cara ganti nama, dan menikah. Bahkan ada juga yang menambah dengan agar etnis Tionghoa masuk agam Islam, sebagai agama mayoritas pribumi.

Ganti nama dalam rangka asimilasi adalah sesuatu yang absurd dan munafik. Apa gunanya ganti nama kalau kelakuan tidak diubah ?, Apa gunanya ganti nama, tetapi diembel-embel dengan pemberian kode pada KTP, atau syarat-syarat tertentu pada nama yang baru itu. Seperti keharusan mencatumkan nama fam di depan nama Indonesianya. Bukan itu semua hanya kamuflase? Buktinya saat ini boleh dikatakan hampir 100 persen WNIKC telah mengganti namanya, atau bahkan anak generasi sekarang sudah tidak mempunyai nama Tionghoanya. Tetapi apa hasilnya? Kerusuhan demi kerusuhan terus berlangsung. Bahkan frekwensinya secara kuantitatif, maupun kualitatif meningkat tajam.

Demikian pula pada pernikahan. Kata orang jodoh ada di tangan Tuhan. Jodoh adalah urusan emosi dan "selera" antara individu-individu yang berlainan jenis. Tidak bisa dipaksa-paksakan begitu saja atas nama asimilasi. Kesannya kok seperti mau melakukan praktek persilangan seperti pada -- maaf -- hewan saja. Seolah-olah kok bertujuan mau menghapuskan etnis Tionghoa dengan praktek persilangan itu.

Apalagi agama. Agama adalah urusan manusia individu dengan Tuhan. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang boleh mengatur-ngatur orang lain untuk masuk agama tertentu. Apalagi masuk agama dengan tujuan apa yang disebut asimilasi itu. Masalah religius kok dipakai untuk tujuan duniawi. Seolah-olah agama hanya sebagai alat saja. Unsur kepercayaan dan ikatan individu dengan Tuhannya mau diabaikan begitu saja.

Orang Kristen, misalnya, yang percaya Yesus Kristus adalah Tuhan. Apakah demi alasan duniawi (asimilasi) itu dia dipaksa untuk meninggalkan kepercayaannya itu untuk masuk agama lain yang tidak percaya Yesus sebagai Tuhannya ?.

Lagipula apa dasar patokan bahwa Islam sebagai landasan terjadinya asimilasi itu ?, Bagaimana dengan agama-agama lain, seperti Katholik dan Protestan yang juga banyak dianut orang pribumi. Apakah eksistensi agama-agama tersebut tidak diakui sebagai milik bangsa ini juga ?.

Program asimilasi LPKB yang pada pokoknya juga berkehendak agar etnis Tionghoa meninggalkan bahasa dan kebudayaannya sangat tidak bisa diterima. Apabila Anda sudah mengakui etnis Tionghoa sebagai bagian dari rakyat Indonesia mengapa Anda hendak mengebiri hak-hak asasinya untuk menggunakan bahasanya sendiri, maupun menjalankan kebudayaannya sendiri? Ini merupakan bentuk lain dari pelanggaran HAM. Apakah ini tidak bertentangan dengan Declaration of Human Rights dari PBB, maupun Pancasila dan UUD 1945 ?.

Saya lebih setuju dengan program integrasi yang pernah dilontarkan oleh Baperki pimpinan Siauw Giok Thjan, bahwa etnis Tionghoa harus bisa diterima sebagai bagian dari bangsa Indonesia dengan segala konsekuensinya, tanpa meninggalkan ciri Tionghoanya. Yang terpenting adalah kepribadian dan perilaku dalam praktek kehidupan sehari-hari. Ganti nama, pernikahan, pindah agama hanya merupakan kemunafikan. Hanya ganti baju, tanpa mengubah dalamnya, yaitu kepribadian dan perilaku, merupakan sesuatu yang sia-sia.

Yang terpenting di sini adalah komitmen dari etnis Tionghoa sendiri untuk bersikap nasionalis terhadap negara ini. Bukan suatu sikap berpura-pura agar bisa selamat dan aman saja. Misalnya sikap sementara etnis Tionghoa dalam mengsikapi keadaan sekarang ini. Di toko-toko, maupun rumah-rumahnya, semua ramai-ramai mencantumkan tulisan-tulisan :
"Pro Reformasi", "Turut Berduka Cita atas Tewasnya Mahasiswa Usakti", "Pro Reformasi Total," dan sebagainya. Atau ramai-ramai menaikkan bendera setengah tiang (atas tewasnya mahasiswa Usakti) hanya supaya jangan terkena lemparan batu. Buktinya ada beberapa rumah yang lama sekali setelah kejadian tersebut masih membiarkan bendera setengah tiang itu di depan rumahnya sampai dimakan kotor.

Tetapi meskipun demikian jangan buru-buru menuding "perbuatan" tersebut hanya dimonopoli oleh etnis Tionghoa. Saya juga melihat di hal yang sama pada beberapa pemukiman penduduk yang manyoritas pribumi. Sampai sekitar sebulan di depan rumah-rumah mereka juga dibiarkan bendera setengah tiang itu terus menggantung. Mungkin malas untuk menurunkannya. Bahkan sampai hari ini (Sabtu, 20 Juni 1998) saya melihat ada satu rumah yang masih membiarkan bendera setengah tiang itu di depan rumahnya! Entah itu milik etnis Tionghoa, ataukah pribumi.

Hanya saja seperti lazimnya di negeri ini hal-hal yang bersifat "negatif" dari etnis Tionghoa selalu dijadikan sorotan dan sasaran utama. Yang dinilai hampir selalu dari satu sisi, di mana kalau pun ada pribumi yang melakukan hal yang sama hal itu diabaikan. Yang dilihat hanya etnis Tionghoa yang melakukan itu, lalu dijadikan sasaran makian bertubi-tubi.

Semoga semangat reformasi total itu benar-benar bisa merambah sampai masalah-masalah etnis Tionghoa di negara ini. Sekian.****


BACK


Copyright © 1998 INDO CHAOS All rights reserved.