REFORMASI TOTAL JUGA BUAT ETNIS TIONGHOA. Bagian Pertama (21.06.98) Oleh: Lion.
Saya baru selesai membaca tulisan Siauw Tiong Djin dengan judul:
"Reformasi -- Penyelesaian Minoritas Tionghoa." Berikut
ini tanggapan saya atas tulisan tersebut.
"Reformasi Total" sebuah semboyan yang saat ini seolah-olah
telah menjadi sebuah ikon dari perjuangan rakyat Indonesia menuju
suatu negara yang dicita-citakan: demokratif, praktek politik
yang relatif bersih bebas dari rekayasa-rekayasa kotor, penerapan
hukum secara adil, konsisten dan konsekuen, persamaan hak di antara
warga negara, penghormatan dan pelaksanaan penegakan HAM yang
sungguh-sungguh, dan seterusnya.
Tanpa menyentuh sisi ini perjuangan reformasi total belum sempurna.
Mereka yang hendak mempertahankan sikon seperti sekarang ini (etnis
Tinghoa yang selalu menjadi korban), atau mengabaikan upaya-upaya
reformasi di bidang ini tidak bisa dikatakan sebagai pejuang reformasi
yang baik. Sebab mengabaikan sisi ini, yang berarti juga mengabaikan
perjuangan HAM etnis Tionghoa dalam kerangka sebagai bagian dari
integrasi bangsa ini merupakan cacat dalam penegakan hukum, keadilan
dan demokrasi yang sering didengung-dengungkan itu; Reformasinya
adalah reformasi minus HAM etnis Tionghoa. Maka tidak layak disebut
sebagai "Reformasi Total." Malahan yang bersangkutan
dapat dicap sebagai rasis. Hal yang berbahaya bagi kelangsungan persatuan
dan pembangunan bangsa.
Tak dapat dipungkiri oleh siapapun bahwa etnis Tionghoa di Indonesia
memegang peranan penting pula dalam sejarah dan eksistenti negara
Republik Indonesia sebagaimana telah digambarkan oleh Bapak Siauw
Tiong Djin di dalam tulisannya tersebut.
Adalah tak bisa dimengerti ada pandangan sementara orang yang
menuding etnis Tionghoa yang melakukan eksodus itu sebagai sesuatu
yang anasionalis. Padahal semua sudah tahu betapa dalam kerusuhan-kerusuhan
tersebut etnis Tionghoa itu telah diserang oleh massa perusuh,
tidak hanya di toko/tempat usahanya, tetapi sampai ke rumah-rumah
pribadi !.
Dilihat dari faktor-faktor dan fenomena-fenomena seperti inilah
maka semakin dirasa sangat penting reformasi total harus pula
segera merambah etnis Tionghoa-Indonesia tersebut. Ini bukan berarti
bahwa jika keberadaan etnis Tionghoa, atau minoritas lainnya kurang
mempengaruhi perekonomian Indonesia, lalu mendapat perlakuan-perlakuan
yang tidak manusiawi seperti sekarang ini, boleh saja diabaikan.
Tidak demikian. Bagaimana pun apa yang disebut penegakan HAM tidak
memandang bulu apakah dia itu minoritas ataukah mayoritas. Hanya
saja berangkat dari faktor dan fenomena di atas maka reformasi
total eksistensi etnis Tionghoa di Indonesia tidak bisa ditunda-tunda
dengan alasan apapun juga. kecuali jika bangsa ini memang bangsa
yang rasis.
Siauw Tiong Djin menyatakan bahwa turunnya Soeharto merupakan
awal dari perjuangan reformasi total tersebut. Termasuk di dalamnya
tentu perjuangan, pengakuan dan perbaikan terhadap eksistensi
dan hubungan etnis Tionghoa dengan warga negara lain.
Mengapa turunnya Soeharto merupakan awal dari perjuangan reformasi
tersebut? Karena seperti yang telah kita baca dalam tulisan Siauw
Tiong Djin itu adalah karena selama ini Soehartolah yang telah
menjalankan praktek politik adu dombanya antara etnis Tionghoa
dengan pribumi "meneruskan" atau "belajar"
dari kesuksesasan kolonial Belanda demi mempertahankan dan mengamankan
status quo-nya. Dengan politik SARA-nya ini maka jika terjadi
sesuatu yang seharusnya dia yang mempertanggungjawabkannya, maka
etnis ini bisa disodorkan kepada rakyat yang marah untuk dijadikan
obyek sasaran, sedangkan dia sendiri tetap aman.
Tetap kelihatan bersih. Prakteknya itu semakin kelihatan
pada masa-masa krisis ini, di mana kita lihat politik kambing
hitam yang ditujukan kepada etnis Tionghoa agar semua kesalahan
akibat krisis itu ditimpakan kepada etnis Tionghoa sebagai penyebabnya.
Jika kita melihat pemerintahan macam bagaimana yang mengganti
Soeharto jelas perasaan ragu akan menghinggapi kita. Presiden
Habibie yang sekarang ini berkuasa tidak lain dari produk rezim
Soeharto. Bahkan Habibie selama sekitar 20 tahun lebih adalah
bagian dari rezim tersebut, yang tentu saja secara langsung, maupun
tidak langsung tahu atau bahkan ikut terlibat dalam praktek politik
SARA tersebut. Misalnya dengan didirikan ICMI dengan ketuanya
Habibie, yang lebih banyak digunakan sebagai alat politik SARA
rezim Soeharto tersebut. Sebelum Soeharto menjabat sebagai presiden
pun antara keluarganya dan keluarga Soeharto sudah sangat akrab.
Dalam sebuah tulisannya, George J. Aditjondro, mengatakan bahwa
Habibie adalah murid "SGS" (Super Genius Soeharto")
yang pintar. Atau bahkan lebih pintar daripada gurunya. Seperti
bunyi peri bahasa, guru kencing berdiri, murid kencing berlari
("GAJ:KKN Habibie #6", "Apa Kabar", Sabtu,
20 Juni 1998). Kata "pintar" yang dipakai oleh GAJ dalam
konteks tersebut mungkin lebih tepat diganti dengan "licik."
Tetapi bukankah sekarang ini Presiden Habibie sudah menaruh perhatian
yang cukup besar kepada etnis Tionghoa? Misalnya dalam bincang-bincangnya
dengan orang-orang pers baru-baru ini dia mengatakan bahwa pemerintah
mengakui persamaan hak antara etnis Tionghoa dengan pribumi. Juga
dia menyempatkan diri mengunjungi langsung lokasi dan korban kerusuhan
di Glodok. Kemudian pula tekad pemerintah yang katanya akan menandatangani
traktat tentang anti penyiksaan dan anti diskriminasi.
Sekarang masih terlalu dini untuk menilai semua tindakan Habibie
yang berkaitan dengan etnis Tionghoa itu. Mengingat latar belakang
Habibie yang seperti saya singgung di atas, dan juga dulu pernah
secara terang-terangan mengatakan ketidaksukaannya kalau etnis
Tionghoa terus menguasai perekonomian Indonesia (sesuatu yang
kebenarannya masih perlu diperdebatkan). Bahkan diawal pengangkatannya
sebagai Wakil Presiden tempo hari, baru sekitar dua hari dia berkata
kepada pers bahwa dia akan berupaya menekan semaksimal mungkin
peranan etnis Tionghoa di bidang bisnis, dan mengistimewakan pribumi.
Kita juga pernah mendengar atau membaca beberapa tokoh ICMI di
bawah pimpinan Habibie melontarkan kata-kata bernada sangat sinis
dan merendahkan etnis Tionghoa. Misalnya ada yang mengatakan dia
rela pergi ke kantornya di Jalan Thamrin memakai sepeda pancal
dan bercelana kolor asalkan Cina-Cina keluar dari Indonesia. Lain
lagi mengatakan bahwa Cina-Cina itu cuma mau enaknya saja. Meraihkan
kekayaan di negeri ini, tetapi ketika tiba masa krisis, tidak
mau membantu pemerintah (komentarnya diberikan dalam kerangka
"Gerakan Cinta Rupiah" yang munfik itu). Atas komentar-komentar
seperti ini Habibie sedikitpun tak menegur mereka.
Lalu kenapa tiba-tiba Habibie sekarang begitu berubah ?.
Oleh karena itu mau tak mau dia harus berani berubah sikap dengan
ikut merangkul dan mengakui persamaan hak etnis Tionghoa itu.
Jadi boleh dikatakan bahwa di sini etnis Tionghoa kembali dijadikan
bola mainan politik Habibie untuk mempebaiki citra dan mempertahankan
eksistensinya di dunia internasional, dan demi terjadinya perbaikan
ekonomi nasional. Dia terpaksa mengakui eksistensi etnis Tionghoa
tersebut sekarang, karena tanpa itu iklim politik bisa semakin
panas yang turut menghancurkan perekonomian nasional yang merupakan
fandasi dari pengakuan atas kepimpinannya.
Terjadinya kerusuhan maha besar dan maha biadab di Jakarta baru-baru
ini yang diikuti dengan eksodus etnis Tionghoa, juga membuat IMF
dan lembaga-lembaga keuangan internasional lain berpikir berulang
kali untuk memberi bantuan dananya kepada Indonesia. Peristiwa
yang semakin memperkokoh negeri ini sebagai negeri yang berisiko
tinggi bagi investor asing membuat negara-negara donor dan
lembaga-lembaga keuangan merasa sangat riskan untuk mengucur dananya
kepada Indonesia. Investor asing, terutama dari Singapore, Taiwan,
Korea, Jepang, RRT dan Hongkong yang secara fisik tidak bisa atau
sangat sulit dibedakan dengan etnis Tionghoa-Indonesia tentu saja
ketakutan untuk melakukan investasi di Indonesia sekalipun pemerintah
sudah entah berapa kali mengatakan memberi jaminan keamanannya yang
ternyata tak terbukti pula entah berapa kali (kerusuhan demi kerusuhan tetap
terjadi).
Kondisi seperti ini tentu saja semakin memperburuk perekonomian
Indonesia yang sudah depresi ini. Sebab sangat jelas saat ini
Indonesia sangat, sangat membutuhkan sekali devisa dari investor-investor
asing tersebut. Apalagi dunia pariwisata sebagai salah satu penyumbang
devisa terbesar pun anjlok sangat tajam. Bila ini terus berlarut-larut
Indonesia pun akan terjerumus ke dalam jurang "kiamat ekonomi."
Pemerintahan Habibie pun akan bisa dihakimi massa rakyat.
Pada waktu dia berbicara di hadapan insan pers nasional belum
lama ini tentang etnis Tionghoa, Habibie antara lain berkata bahwa
bagi dirinya warga negara keturunan dan pribumi adalah sama. "Kalau
ada Warga Negara Keturunan yang sangat memperhatikan dan memperjuangkan
nasib bangsa ini bagi saya dia adalah pribumi. Sebaliknya apabila
seorang pribumi tidak memperhatikan dan memperjuangkan nasib bangsa ini
dia bukan pribumi (warga negara keturunan)." Kata Habibie,
yang mendapat banyak pujian.
Bagi saya jika kita mau memperhatikan lebih dalam dalam kalimatnya
ini sebenarnya masih terkandung semangat "tidak suka Warga
Negara Keturunan" yang tersamar atau tersembunyi. Kenapa
saya berkata begini ?.
"Kalau ada Warga Negara Keturunan yang sangat memperhatikan
dan memperjuangkan nasib bangsa ini bagi saya dia adalah _pribumi_.
Sebaliknya apabila seorang pribumi tidak memperhatikan dan memperjuangkan
nasib bangsa ini dia _bukan pribumi._" (Warga Negara Keturunan).
Makna kalimat ini bisa ditafsirkan secara logika bisa mempunyai
makna bahwa yang disebut Warga Negara Keturunan selalu anasionalis.
Sedangkan pribumi selalu nasionalis. Jadi orang yang berperilaku
baik (nasionalis) disebut pribumi, dan yang berperilaku tidak
baik (anasionalis) disebut Warga Negara Keturunan (Cina).
Digantinya Jaksa Agung Soedjono Chanafiah Atmonegoro secara mendadak
kepada Andi Muhammad Ghalib juga mempunyai indikasi keraguan atas
itikad baik Habibie tersebut. Seperti kita ketahui mantan Jaksa
Agung Soedjono tersebut diganti secara mendadak ketika dia mulai
gencar menyelidiki harta kekayaan mantan presiden Soeharto.
Lagipula pernahkah sampai detik ini kita mendengar adanya pernyataan
penyesalan, belangsungkawa, dan permintaan maaf langsung dari
mulut Habibie kepada korban-korban etnis Tionghoa dalam kerusuhan-kerusuhan
itu? Satu kalipun tidak pernah! Selain yang sudah disebutkan di
atas, tidak ada lagi yang lain.
Mungkinkah kerusuhan maha dahsyat dan tak berperikemanusiaan merupakan
bagian dari politik SARA Habibie cs sendiri untuk menjatuhkan
Soeharto? Ibaratnya murid yang menggunakan senjata yang diajarkan
gurunya untuk membunuh gurunya sendiri. Saya tidak menuduh, tetapi
kemungkinan itu bisa saja terjadi. Sekali lagi mengingat latar
belakang Habibie sebagaimana disebutkan di atas. Bukankah Habibie
sendiri pernah berkata bahwa Soeharto adalah maha gurunya yang
paling baik ?!.
Jadi seperti yang dikatakan oleh Siauw Tiong Djin dalam tulisannya
tersebut, bahwa pelaksanaan dari reformasi tersebut diperlukan
adanya komitmen, determination, dedikasi dan kesadaran penuh dari
semua pihak, termasuk pemerintah. Masalahnya adalah apakah pemerintahan
Habibie benar-benar mempunyai semuanya itu? Bukan karena tujuan
politik semata, yakni agar kepentingan politiknya dan eksistensinya
sebagai presiden tetap aman dan terjamin, seperti saya singgung
di atas? Dengan perkataan lain dalam hal ini komitmen, determination,
dedikasi, dan kesadaran untuk melakukan reformasi terhadap perlakuan
etnis Tionghoa-Indonesia selama ini tidak ada pada pemerintahan
Habibie. Yang ada adalah reformasi dengan politik "ada udang
di balik batu."*** |
Copyright © 1998 INDO CHAOS All rights reserved. |