Reformasi - Penyelesaian Masalah Minoritas Tionghoa.
Oleh: Siauw Tiong Djin
Para pejuang Reformasi dari semula menuntut terlaksananya Reformasi
Total, yang mempunyai arti yang sangat luas. Yang dimaksud dengan
Reformasi Total tidak bisa tidak berarti perombakan sistim yang
strukturil, dari yang tidak baik menjadi baik, dari yang baik
menjadi lebih baik.
Perombakan perombakan yang bersifat strukturil ini baru bisa berhasil
bilamana para pejuang Reformasi di Indonesia mempunyai kesungguhan
(commitment), ketekad bulatan (determination), dedikasi penuh
dan kesadaran penuh akan apa yang harus dirombak, apa yang harus
dipertahankan dan apa yang harus diperbaiki.
Dari sekian banyaknya sistim pemerintahan dan undang undang yang
harus dirombak atau diganti ini, terdapat pula berbagai sistem
pemerintahan, undang undang, peraturan peraturan pemerintah serta
kebijaksanaan dari berbagai pimpinan pemerintah maupun organisasi
politik yang berhubungan dengan masalah minoritas, khususnya dengan
golongan Tionghoa yang sebagian besar sudah bergenerasi hidup
di Indonesia.
Penyelesaian masalah minoritas Tionghoa merupakan bagian penting
dari Reformasi Total. Mengapa? Karena berlangsungnya tindakan
tindakan rasialistis dalam berbagai bidang, apalagi adanya ledakan
ledakan rasialis, baik yang terorganisir maupun yang spontan,
yang dengan keji merenggut jiwa, harta dan kehormatan golongan
Tionghoa, akan senantiasa menimbulkan perpecahan dalam tubuh masyarakat
Indonesia. Tindakan tindakan yang diskriminatif juga menimbulkan
pemborosan pemborosan yang menghambat pembangunan negara dan menyuburkan
korupsi, kolusi dan nepotisme.
Perpecahan dan pemborosan demikian akan senantiasa menghambat
pembangunan ekonomi nasional yang menjadi dasar dari kemakmuran
bersama. Adanya tindakan tindakan rasialistis juga dengan sendirinya
merusak prestasi Indonesia sebagai negara hukum yang mengindahkan
hak azazi manusia.
Tanpa adanya penyelesaian masalah minoritas yang bijaksana dan
yang diterima dan didukung oleh semua golongan di tanah air, Reformasi
apapun tidak akan bersifat Total.
Makalah ini ditulis untuk menuangkan bahan bahan pikiran yang
bisa digunakan dalam mempertimbangkan bentuk Reformasi yang bisa
dicapai sehingga Indonesia yang kita cintai ini berkembang menjadi
negara yang bebas dari rasialisme dan golongan minoritas Tionghoa-nya
terintegrasi/terbaur di dalam tubuh bangsa Indonesia. Dengan demikian,
Reformasi Total ini betul betul menjadi jembatan emas dalam tercapainya
suatu masyarakat yang adil dan makmur seperti yang diidam idami
oleh setiap pejuang Reformasi.
Asal Usul Rasialisme di Indonesia
Apa sebenarnya yang menyebabkan rasialisme itu "subur"
dan kian meraja lela di Indonesia? Rasialisme sebenarnya adalah
warisan dari kolonialisme. Penjajah Belanda menjalankan politik
Divide and Rule untuk mempertahankan sistim penjajahannya di Indonesia,
yang berlangsung selama 350 tahun. Oleh Belanda, golongan Tionghoa
selalu dijadikan perisai dalam menghadapi kemarahan rakyat. Selalu
ditimbulkan kesan bahwa golongan Tionghoa itu di"lindungi"
dan di"anak-emas"kan olehnya. Bagaimana kenyataannya?
Orang Tionghoa sudah berada di Indonesia sejak abad ke 7. Pada
waktu Belanda tiba di Indonesia, pada abad ke 16, penduduk peranakan
Tionghoa di Indonesia sudah memainkan peranan penting dalam apa
yang sekarang dinamakan International Trade, karena mereka menjadi
tulung punggung perdagangan antar Tiongkok-Indonesia dan India-Indonesia
serta tempat tempat lainnya. Di dalam negeri, mereka-pun memegang
peranan penting dalam jaringan distribusi, sehingga hasil bumi
rakyat di pedalaman bisa masuk ke kota kota, dan barang barang
dari kota bisa masuk ke pedalaman. Pada jaman itu, golongan Tionghoa
dan golongan "pribumi" hidup bersama dengan harmonis.
Mereka saling bantu membantu
dan tidak ada "racial prejudice".
Walaupun sebagian dari penduduk Tionnghoa di Jawa itu berdagang,
sebagian besar dari mereka hdidup sebagai tukang tukang kayu,
pembuat perabotan, pedagang eceran dan pemilik sertai pegawai
restoran. Di luar Jawa seperti Sumatra dan Kalimantan, sebagian
besar dari penduduk Tionghoa hidup sebagai buruh pertambangan
dan perkebunan milik Belanda.
Belanda memerlukan jaringan dagang yang sudah diciptakan oleh
penduduk Tionghoa ini sehingga pada mulanya terjalinlah hubungan
dagang di antar kedua golongan ini. Para pedagang Tionghoa yang
besar dan berjasa bagi Belanda, diberi titel Letnan, Kapten dan
Mayor. Dengan berkembangnya ekonomi penjajahan dan lebih besarnya
persaingan antara pedagang pedagang raksasa Tionghoa dan tokoh
tokoh VOC-Belanda, Belanda mengambil kebijaksanaan yang mendiskriminasikan
golongan Tionghoa. Keluarlah peraturan peraturan yang dinamakan
Pass dan Zoning system, yang berlangsung dari tahun 1863 sampai
1930-an. Orang orang Tionghoa dipaksa untuk tinggal di daerah
daerah yang hanya dihuni oleh
golongannya, sehinggal timbullah Pecinan di kota kota pulau Jawa,
semacam ghetoes-nya orang Yahudi di Eropa. Orang orang Tionghoa
juga dilarang berkeluaran dari daerahnya. Mereka harus memiliki
surat jalan dan hanya boleh keluar ke tempat tempat kerjanya.
Baru setelah golongan Tionghoa bangkit melawannya di awal abad
20, pemerintah Belanda mulai menghentikan pass dan zoning system
ini.
Masyarakat Indonesia lalu dikotak kotakkan oleh Belanda. Orang
Tionghoa dipisahkan dari masyarakat "pribumi". Status
hukumnya dibedakan.
Mereka hanya boleh masuk sekolah sekolah khusus untuk Tionghoa.
Golongan Tionghoa dikambing hitamkan. Kemiskinan rakyat sebagai
akibat dari sistim penjajahan disalahkan pada golongan Tionghoa.
Mereka sering dihasut untuk dibenci dan membenci golongan mayoritas-nya.
Proses pengotakan yang berlangsung beratus tahun dengan sendirinya
menimbulkan adanya "dinding pemisah" yang tebal antara
golongan Tionghoa dan golongan mayoritas Indonesia. Hasutan hasutan
yang sering dilakukan oleh Belanda dengan sendirinya menimbulkan
adanya benih benih rasialisme dalam tubuh ke dua golongan ini.
Benih benih rasialisme inilah yang menjadi dasar dari adanya ledakan
ledakan rasialisme pada masa revolusi (1945-1949). Belanda, yang
ingin kembali menjadi penjajah selalu menggunakan golongan Tionghoa
sebagai alat untuk ememcah belah dan juga sebagai alasan untuk
merusak martabat Republik Indonesia yang masih muda di mata dunia.
Sejarah telah membuktikan bahwa Belanda seringkali mengorganisir
orang orang kriminil dari penjara penjara di daerah kekuasaannya
untuk dibawa ke daerah dareah yang dikuasai oleh Republik Indonesia,
untuk mengacau, merampok dan membakar daerah daerah yang dihuni
oleh golongan Tionghoa.
Kekacauan keacauan itu lalu "dipadamkan" oleh pasukan
Belanda, dengan menembak para penjahat kriminil yang memimpin
kekacauan dan pengrusakan. Timbullah kesan bahwa Belanda "melindungi"
Tionghoa dan Tionghoa adalah "sekutu" Belanda. Inilah
yang menyebabkan golongan Tionghoa selalu dijadikan sasaran dari
kemarahan kemarahan rakyat di daerah daerah Republik, sehingga
timbul exodus pengungsi Tionghoa menuju daerah daerah yang dikuasai
oleh Belanda. Ledakan ledakan rasialis ini sering digunakan oleh
Belanda untuk mempengaruhi opini dunia bahwa Republik Indonesia
tidak mampu menjaga keamanan dalam negerinya sendiri.
Untuk meredakan dan mengatasai urusan minoritas, pemerintah Sjahrir
memerlukan adanya menteri Tionghoa di dalamnya. Tan Po Goan diangkat
menjadi menteri pada tahun 1946. Pada waktu Perdana Menteri Sjahrir
diganti oleh Amir Sjarifudin, Siauw Giok Tjhan menggantikan Tan
Po Goan sebagai menteri urusan minoritas. Baik Tan Po Goan maupun
Siauw Giok Tjhan menghadapi kesulitan dalam meyakinkan sebagian
besar golongan
Tionghoa untuk tetap mendukung Republik Indonesia. Pada umumnya,
sebagai akibat dari ledakan ledakan rasialis yang menelan jiwa,
harta dan kehormatannya, mereka lebih condong mendukung Tiongkok
atau Belanda.
Setelah kemerdekaan terkonsolidasi pada tahun 1949-1950, rasa
kuatir mereka akan keselamatannya mulai berkurang dan tokoh tokoh
Tionghoa yang aktif berkecimpung dalam dunia politik mulai berhasil
meyakinkan mereka bahwa bagi mereka tidak ada jalan lain selain
menganggap Indonesia itu tanah airnya.
Perkembangan politik pada phase berikutnya ternyata tidak menolong
timbulnya keharmonisan hidup antara golongan Tionghoa dan golongan
mayoritas Indonesia. Massa Demokrasi Parlementer (1950-1959) ternyata
diwarnai dengan kekacauan politik yang menyebabkan seringnya terjadi
pergantian kabinet.
Pergantian kabinet ini menyebabkan timbulnya suatu kelas elite
politikus yang mewakili partai partai politik yang berjumlah tinggi
pada masa itu.
Sebagai pimpinan partai partai politik, mereka juga harus berusaha
mengumpulkan dana untuk keberlangsungan hidup partai partainya.
Di samping itu, timbulnya kelas elite politikus ini mendorong
adanya keinginan untuk memperkaya dirinya masing masing. Timbullah
keinginan untuk mengambil alhi kekuatan ekonomi domestik yang
berada di tangan pedagang Tionghoa. Prioritas politik bukan didasarkan
atas keinginan untuk melikwidasi ekonomi kolonial, dalam pengertian
mengambil alih perusahaan perusahaan milik multi-nasional Belanda,
melainkan ditujukan untuk mengambil alih usaha usaha yang sudah
berpuluh tahun berada di tangan pedagang Tionghoa.
Keluarlah peraturan peraturan yang bersifat diskriminatif dari
menteri menteri ekonomi dalam berbagai kabninet. Dimulai dengan
Djuanda pada tahun 50-51, lalu Sumitro pada tahun 52-53 dan kemudian
Iskaq pada tahun 53-54. Peraturan peraturan ini membatasai ruang
lingkup usaha pedagang Tionghoa dalam dunia transportasi (bus
dan truk), export dan import, penggilingan padi dan lain lain
bidang. PP-10 yang dikeluarkan pada tahun 59, melarang orang Tionghoa
asing untuk berdagang dan tinggal di daerah pedalaman sehingga
timbullah exodus yang berjumlah lebih dari 100,000 orang Tionghoa
menuju ke Tiongkok (1959-1960).
Usaha usaha untuk mengambil alih peranan yang dimainkan olehg
golongan Tionghoa ini juga mendorong beberapa pimpinan partai
partai politik yang dipelopori oleh Sunario,PNI (Menteri Luar
Negeri -1953-1955) untuk memperkecil jumlah warga negera keturunan
Tionghoa, sehingga perarturan peraturan yang melarang orang asing
berdagang bisa mengakibatkan banyaknya orang Tionghoa tidak bisa
lagi berdagang. Timbullah kebingungan, karena banyak orang Tionghoa
yang sudah menjadi WNI karena UU Kewarganegaraan 1946 dan Perjanjian
KMB 49, mau dijadikan warga negara asing. Usaha ini berhasil dibatalkan
di DPR atas perlawanan gigih dari para anggota parlemen Tionghoa
yang dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan.
Pada jaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965), banyak peraturan peraturan
yang bersifat rasialistis dihapuskan. Kedudukan golongan Tionghoa
secara politis menjadi lebih baik karena dekatnya Sukarno dengan
pemerintah RRT. Ledakan ledakan rasialis memang ada, tetapi pemerintah
selalu siap untuk mengutuk dan menumpasnya. GBHN MPRS pada tahun
65 menjamin dikembangkannya modal domestik milik pedagang Tionghoa
demi pembangunan ekonomi negara.
Tetapi "honey-moon" antara golongan Tionghoa dan Sukarno
putus dengan peristiwa G30S dan tampilnya kekuasaan Suharto pada
akhir tahun 65.
Secara sistimatis Suharto menyamakan Tionghoa dengan RRT, sehingga
golongan Tionghoa dipersekusi pada awal kekuasaannya. Dengan berkuasanya
Suharto dan dimulainya Orde Baru, terminologi Cina, yang mengandung
penghinaan, diresmikan pada tahun 66 untuk menciptakan inferiority
complex pada golongan Tionghoa. Sekolah sekolah Tionghoa ditutup.
Penggunaan bahasa Tionghoa secara resmi dilarang. Secara sistimatis
dilangsungkan pemaksaan ganti nama massal. Peraturan peraturan
diskriminatis dikeluarkan secara terang terangan. Ledakan ledakan
anti Tionghoa sering terjadi.
Suharto menggunakan taktik Divide and Rule yang dipakai oleh Belanda.
Kesan sering ditimbulkan bahwa Tionghoa adalah sekutu Suharto.
Kemiskinan disalahkan pada golongan Tionghoa. Hasutan hasutan
atas golongan Tionghoa dijalankan oleh pimpinan pemerintahan dan
ABRI.
Ledakan ledakan rasialisme pada umumnya dimulai dengan adanya
"provocateur", orang orang Suharto, yang membakar massa
untuk menjarah, merampok, memperkosa, membunuh dan merusak harta
milik Tionghoa. Setelah kekacauan timbul, pemerintah Suharto mengambil
tindakan yang memberi gambaran bahwa ia "melindungi"
golongan Tionghoa.
Dalam bulan bulan terakhir kekuasaannya, terlihat adanya gerakan
gerakan anti Tionghoa yang diorganisasi. Pada tanggal 13 dan 14
Mei yang lalu, truk truk yang mengangkut orang orang yang berperawakan
tegap, dengan potongan rambut pendek dan sepatu boot militer bermunculan
di daerah daerah yang dihuni oleh golongan Tionghoa. Mereka inilah
yang mengajak massa untuk menyerbu perumahan, toko toko milik
Tionghoa untuk dirusak, dirampok dan dibakar. Mereka inilah yang
mengajak sebagian dari massa untuk dengan keji memperkosa ratusan
wanita Tionghoa, bahkan membunuhnya.
Dalam dua hari itu, 40 kompleks pertokoan besar, 4100 toko dan
kantor dan 1200 perumahan dirusak. 2000 orang diperkirakan meninggal.
Gerakan ini jelas terorganisasi, karena pihak pihak yang berkewajiban
ternyata berpeluk tangan dan tidak segera datang meredakan suasana.
Jeritan dari ribuan korban diabaikan. Baru setelah korban berjatuhan
dan harta rusak, pasukan pasukan datang menentramkan suasana.
Penangkapan penangkapan terhadap yang bertanggung jawab memang
mulai dilaksanakan, tetapi hanya terbatas pada kelompok orang
yang menerima perintah. Pemberi perintah atau instruksinya sampai
sekarang masih belum dituntut di hadapan pengadilan.
Secara ringkas bisalah disimpulkan bahwa rasialisme itu adalah
warisan kolonial yang diteruskan oleh para pimpinan partai politik
di jaman masa demokrasi parlementer (50-59) dan kemudian diperhebat
oleh Suharto dalam masa Orde Barunya. Dalam masa Orde Baru-nya
Suharo, benih benih rasialisme ini memang di "kembang biak-an"
sehingga ujung tombak kemarahan rakyat selalu ditujukan ke golongan
Tionghoa.
Bagaimana benih benih rasialisme ini dilenyapkan? Diperlukan suatu
usaha kongkrit yang nyata dan efektif dalam tiga bidang utama.
Pertama partisipasi dalam bidang politik sehingga ada wakil wakil
golongan Tionghoa mempunyai kemampuan dalam menciptakan UU yang
menentang rasialisme atau menghilangkan UU serta peraturan peraturan
yang bersifat rasialistis. Kedua, Golongan Tionghoa harus aktif
berpartisipasi dalam menciptakan kemakmuran bersama dengan menyalurkan
semua funds dan resources serta pengalaman dan keakhliannya pada
kegiatan kegiatan yang menguntungkan Indonesia secara keseluruhan.
Ketiga, golongan Tionghoa harus mempunyai tekad dan kesungguhan
dalam mengintegrasikan dirinya ke dalam tubuh bangsa Indonesia,
sehingga aspirasi rakyat juga menjadi aspirasi golongan Tionghoa.
Pengintegrasian atau pembauran ini harus bersifat penghayatan
aspirasi, bukan dalam bentuk biologis dan penujukan sikap yang
semu.
Usaha yang akan memberi jalan keluar ini harus diupayakan dan
dimulai secara berbarengan karena ketiga-tiganya saling berhubungan
dan bergantungan.
1. Partisipasi dalam bidang politik
Kemampuan untuk mempengaruhi adanya berbagai undang undang, peraturan
peraturan serta kebijaksanaan yang menciptakan suasana yang ideal
untuk persatuan dan kesatuan bangsa, suasana dan lingkungan yang
bersih dari rasialisme, golongan Tionghoa harus mempunyai wakil
wakil yang efektif di dalam instansi intansi pemerintah dan organisasi
organisasi politik. Ini berarti pastisipasi dalam bidang politik.
Golongan Tionghoa di Indonesia memang mempunyai streotype yang
merugikannya. Mereka dianggap sebagai golongan yang bersifat eksklusif,
oportunistis, serakah, pelit, maunya untung dan enak saja, akhli
dalam menyogok dll. Walaupun ada segelintir orang Tionghoa yang
memiliki karakter negatif ini, sebagian besar dari mereka tidak
demikian. Ada pula yang terjun dalam bidang politik dan berjasa
dalam memperjuangkan kemerdekaan dan membangun Indonesia.
Orang orang Tionghoa sudah berkecimpung dalam bidang polityik
sejak awal abad ke 20. Di jaman penjajahan Belanda, ada tiga aliran
dalam golongan Tionghoa. Aliran yang berkiblat ke Tiongkok, diwakili
oleh kelompok Sin Po. Yang berkiblat ke Belanda, diwakili oleh
Chung Hua Hui, yang dipimpin oleh orang orang yang berpendidikan
Belanda dan yang berasal dari keluarga kaya raya. Yang menganggap
Indonesia adalah tanah airnya dan mendukung perjuangan mencapai
kemerdekaan diwakili oleh Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Dari
ketiga aliran ini, tokoh tokoh PTI-lah yang aktif dalam persiapan
kemerdekaan dan turut mempertahankan kemerdekaan Indonesia di
jaman revolusi (1945-1949). Diantaranya
Tan Ling Djie, Tjoa Sik Ien dan Siauw Giok Tjhan.
Pada masa Demokrasi parlementer (1950-1959), terdapat juga tokoh
tokoh Tionghoa yang aktif dalam parlemen. Salah satu yang paling
aktif dan cukup berpengaruh adalah Siauw Giok Tjhan. Dikatakan
cukup berpengaruh, karena dia memimpin suatu fraksi yang dinamakan
Nasional Progresif yang beranggotakan partai partai kecil (Murba,
PRN, PIR, Acoma, SKI, PERMAI dan Baperki) dan anggota non-partai
seperti Moh. Yamin dan Iwa Kusumasumantri. Dengan bantuan fraksi
ini dan beberapa anggota parlemen Tionghoa lainnya Yap Tjwan Bing,
Tjoa Sie Hwie dan Tony Wen dari PNI, Tan Po Goan dari PSI, Tjung
Ting Yan dari Partai Katolik, banyak UU atau peraturan peraturan
yang bersifat rasialistis bisa dibatalkan atau di ubah isinya
sehingga dampaknya untuk golongan Tionghoa menjadi tidak besar.
Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Baperki yang dipimpin
oleh Siauw Giok Tjhan menjadi semakin dekat dengan Sukarno dan
dengan demikian, seperti yang digambarkan di atas, banyak UU dan
peraturan, bahkan GBHN (Garis Besar Haluan Negara) MPRS yang bersifat
anti rasialis. Celakanya, hasil hasil yang dapat dikatakan gemilang
ini, harus dibayar dengan kehancuran Baperki total ketika polarisasi
politik berubah pada tahun 65. Baperki yang berada di posiosi
Sukarno dengan sendirinya berdiri di kamp Sukarno/PKI, sehingga
dihantam oleh kekuatan sayap kanan yang didukung oleh militer
pada akhir tahun 65.
Pengalaman Baperki menunjukkan bahwa harus ada suatu wadah yang
bisa menampung aspirasi golongan Tionghoa dan memperjuangkannya
di dalam lembaga lembaga legislatif dan eksekutif tertinggi sehingga
kedudukan golongan Tionghoa bisa dilindungi dalam batas batas
yang berhubungan dengan kepentingan nasional. Hilangnya Baperki
dari permukaan politik, lepas dari persepsi akan garis politiknya,
ternyata menghasilkan dampak dampak negatif.
Dalam jaman Orde Baru yang tidak mengenal proses demokratis, golongan
Tionghoa tidak lagi memiliki wadah dan pelindung politik yang
efektif.
Dekatnya beberapa tokoh Tionghoa dengan pemerintah seperti Lem
Bian Kie dan Liem Bian Koen melalui CSIS-nya ternyata tidak bisa
mencegah keluarnya dan dilaksanakannya berbagai UU dan peraturan
yang bersifat rasialistis. Ada juga beberapa konglomerat Tionghoa
yang dekat dengan rejim Suharto, seperti Liem Sioe Liong dan Bob
Hassan, tetapi mereka lebih mementingkan kesuksesan usaha dagangnya
daripada memperdulikan nasib golongan Tionghoa. Celakanya, mereka
inilah yang menimbulkan persepsi bahwa Tionghoa dan Suharto itu
merupakan suatu aliansi terkutuk yang bertanggung jawab akan kemiskinan
di Indonesia.
Dengan hilangnya proses demokrasi dalam arti sesungguhnya, golongan
Tionghoa juga tidak lagi memiliki sarana untuk melampiaskan rasa
ketidak puasannya. Tokoh tokoh seperti Arief Budiman dan Kwik
Kian Gie hanya bisa mencanangkan pandangan pandangan kritisnya
di luar sistim pemerintahan sehingga tidak menghasilkan adanya
perombakan atau pembatalan UU atau peraturan peraturan yang di"ciptakan"
oleh pemerintah Suharto.
Setelah Suharto turun, proses realisasi demokrasi mulai berjalan.
Kesempatan ini harus digunakan oleh golongan Tionghoa untuk turut
berpartisipasi di dalamnya. Timbullah pertanyaan, jalan apa yang
harus ditempuh? Mendirikan wadah yang khusus memperjuangkan nasib
golongan Tionghoa?
Atau menerjunkan diri ke dalam organisasi organisasi nasional
sambil berusaha mempengaruhi penentuan policy dari organisasi
organisasi ini.
Berdasarkan pengamatan sejarah dapatlah disimpulkan bahwa penyelesaian
masalah minotitas tidak bisa dilepas dari penyelesaian masalah
nasional. Dengan demikian, memang tidak mungkin golongan Tionghoa
bisa memperjuangakn aspirasinya tanpa didukung oleh tokoh tokoh
nasional.
Untuk itu, organisasi organisai yang bertujuan menyelesaikan masalah
minoritas, harus menurut sertakan orang orang dari golongan mayoritas
untuk turut memperjuangkan tujuannya.
Organisasi organisasi yang baru baru ini terbentuk di Indonesia,
Partai Reformasi Tionghoa Indonesia dan Partai Pembauran Indonesia,
harus mempunyai program yang memprioritaskan penyelesaian masalah
nasional, yaitu reformasi sistim pemerintahan yang menciptakan
suasana dan lingkungan yang memungkinkan berlangsungnya integrasi
atau pembauran yang wajar sehingga tidak ada lagi pengertian pribumi
dan non-pribumi.
Pimpinan kedua organisasi ini dan organisasi organisai yang memperjuangkan
hapusnya rasialisme dari Indonesia, harus mempunyai visi nasional
dengan pengertian penyelesaian masalah minoritas adalah bagian
dari reformasi total.
Kunci dari keberhasilan ini adalah terrealisasinya sistim yang
demokratis, yang memungkinkan semua pandangan dan kebutuhan dari
setiap golongan di jadikan dasar dari keluarnya dan dilaksanakannya
berbagai macam UU dan peraturan. Untuk itu, wakil wakil golongan
Tionghoa harus aktif berpartisipasi dalam lapisan lapisan tertinggi
di bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif. Perlu dijamin keluarnya
dan dilaksanakannya UU anti
rasialisme sehingga tidak ada lagi perbedaan yang dilakukan melulu
berdasarkan latar belakang ras di semua bidang, terutama dalam
bidang pemberian kredit, ijin ijin perdagangan, pendidikan dan
hukum. Dalam hal kewarganegaraan, perlu dicapai pelaksanaan dari
satu pengertian bahwa hanya ada satu macam Warga Negara Indonesia,
sehingga tidak ada lagi penggunaan istilah Pribumi dan non pribumi
atau WNI keturunan.
Dalam melaksanakan cita cita ini, para pemimpin golongan Tionghoa
harus senantiasa sadar bahwa tindak tanduknya bisa menimbulkan
persepsi umum pada golongan yang diwakilinya. Untuk itu pengalaman
pahit Baperki di jaman pra Orde Baru dan pengalaman para konglomerat
Tionghoa dalam jaman Orde Baru, harus selalu diamati.
2. Partisipasi Dalam Pembangunan Ekonomi Nasional
Salah satu dampak negatif dari munculnya konglomerat konglomerat
kelas kakap seperti Liem Sioe Liong dan Bob Hassan adalah persepsi
masyarakat akan terlibatnya golongan Tionghoa dalam proses KKN.
Yang disayangkan, pada umumnya konglomerat konglomerat kelas kakap
Tionghoa ini menggunakan hubungan dagang yang didasari KKN itu
untuk turut "memeras" rakyat Indonesia. Sehingga timbullah
kesan bahwa Tionghoa dan rezim Suharto beraliansi dalam menguras
kekayaan negara. Kesan ini harus dirubah, karena sebagian besar
dari golongan Tionghoa mempunyai nasib yang sama dengan rakyat
terbanyak, sama sama menjadi korban dari keserakahan tokoh tokoh
rezim Suharto dan konco konco-nya.
Perlu juga dilempangkan kesalahan persepsi dari sementara orang
yang menyatakan bahwa 70% dari ekonomi Indonesia berada di tangan
golongan Tionghoa. Sampai sekarang belum ada data yang bisa membuktikan
teori ini. Teori seperti ini jelas salah. Logikanya mudah untuk
dipahami.
Modal modal raksasa yang berada di tangan perusahaan perusahaan
multinasional seperti Shell, caltex, bank bank besar milik pemerintah
dan luar negeri serta operator operator luar negeri yang menguasai
berbagai infrastruktur besar di Indonesia, merupakan kekuatan
kekuatan yang jauh lebih besar daripada kekuatan ekonomi yang
dipegang oleh para pedagang Tionghoa. Perlu diingat, yang mencapai
tingkat konglomerat jumlahnya sedikit
sekali. Sebagian besar dari orang Tionghoa yang berdagang merupakan
pedagang kelas kecil. Jumlah terbesar dari golongan Tionghoa adalah
buruh dan petani miskin.
Bilamana dikatakan bahwa sebagian besar dari retail business berada
di tangan Tionghoa, itu lebih masuk diakal. Tetapi retail business
tidak bisa dikatakan faktor yang terbesar dalam dunia ekonomi
Indonesia.
Seperti diuraikan di atas, orang Tionghoa sudah lama berkecimpung
dalam bidang usaha yang berhubungan dengan distribusi, ketrampilan,
retail dan service. Dengan demikian mereka mempunyai keahlian,
pengalaman dan infrastruktur usaha yang tidak bisa dengan mudah
diganti oleh kekuatan lain.
Lain dari pada kapital dan keuntungan perusahaan perusahaan multi-nasional
yang pada umumnya ditarik keluar dari Indonesia, kapital dan keuntungan
dari usaha perusahaan perusahaan domestik Tionghoa, lebih banyak
berputar di Indonesia. Dengan demikian keberhasilan mereka, menambah
juga kemampuan ekonomi Indonesia untuk berkembang.
Pemerintah seharusnya menjamin hadirnya dan bertambahnya jumlah
perusahaan perusahaan semacam ini tanpa memperdulikan keturunan
ras dari para pemilik dan pengelolanya. Untuk ini, kepercayaan
dari para pedagang Tionghoa akan kestabilan politik dan ekonomi,
serta kesungguhan pemerintah dalam melaksanakan program ekonomi
nasional, harus dipulihkan secepatnya.
Sebaliknya dari pihak golongan Tionghoa juga diperlukan adanya
kesungguhan dan dedikasi untuk mempercepat pembangunan ekonomi
nasional.
Usaha dalam bidang pembangunan, industri dalam negeri yang bersifat
padat karya, pengembangan teknologi melalui research and development
dalam negeri, pendidikan teknologi dan training dan penggunaan
serta pengolahan hasil bumi Indonesia, harus menjadi priotitas
daripada program investment.
Ini tentu dilakukan tanpa mengurangi kegiatan dalam bidang bidang
yang tetap menguntungkan dan menghasilkan dipertingginya GNP (Gross
National Product).
Sebagian dari keuntungan yang diperoleh seyogyanya dipergunakan
untuk mempercepat dicapainya kemakmuran yang merata. Pembangunan
sekolah sekolah, rumah rumah sakit, pengembangan indsutri di daera
daerah pedalaman perlu mendapat prioritas dari penyaluran keuntungan
keuntungan dari usaha domestik ini.
Dengan demikian, timbullah situasi di mana masyarakat luas akan
merasakan ruginya mereka kalau usaha usaha yang dilakukan itu
mengalami kemunduran. Ini akan menjamin berkurangnya ledakan ledakan
rasialis yang ditujukan ke usaha usaha milik golongan Tionghoa,
karena kerugian dari pengrusakan pengrusakan dan pemborosan pemborosan
itu akan secara langsung dirasakan oleh masyarakat luas.
3. Mengintegrasikan dan membaurkan diri dalam tubuh bangsa Indonesia
Istilah integrasi dan asimilasi pernah dijadikan suatu perdebatan
sengit dan prinsipil di dalam jaman Demokrasi Terpimpin.
LPKB (Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa) yang dipimpin oleh K. Sindhunata
mengeluarkan konsep assimilasi sebagai jalan keluar dari masalah
minoritas Tionghoa. Bagi LPKB, assimilasi berarti golongan Tionghoa
tidak lagi mempunyai eksistensi sosial dan kultural sebagai golongan
yang terpisah dari tubuh masyarakat Indonesia. Assimilasi ini
dapat dicapai bilamana orang Tionghoa mengganti nama Tionghoanya
dengan nama Indonesia, menikah dengan orang Indonesia "asli"
atau "pribumi" dan menanggalkan semua kebiasaan dan
kebudayaan Tionghoa dari kehidupan sehari harinya. Walalupun LPKB
tidak menganjurkan adanya asimilasi secara paksa, tetapi bagi
mereka, orang warag negara keturunan Tionghoa yang baik semestinya
mengikuti anjuran assimilasi ini.
Jalan asimilasi, menurut LPKB, akan menjamin diterimanya golongan
Tionghoa oleh golongan "asli" atau pribumi.
Di lain pihak, Baperki yang dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan, menganjurkan
jalan integrasi. Bagi Baperki, golongan Tionghoa di Indonesia
seharusnya diterima sebagai salah satu suku dari bangsa Indonesia.
Dengan demikian, orangh Tionghoa bisa menjadi patriot Indonesia
tanpa harus menanggalkan ciri ciri etnis Tionghoanya dan bisa
tetap mempertahankan ke-Tionghoaannya. Yang penting adalah praktek
hidup sehari harinya merupakan manifestasi dari keinginan untuk
berbakti pada kepentingan rakyat Indonesia .
Bagi Baperki, urusan nama, urusan perkawinan serta adat istiadat
adalah urusan pribadi yang tidak bisa dijadikan ukuran dari rasa
cinta seseorang pada tanah airnya. Penggantian nama dan kawin
campuran, menurut Baperki tidak akan menjamin lenyapnya rasialisme
dari Indonesia.
Kedua dua teori itu memang memerlukan test dan analisa yang komprehensip.
LPKB dalam jaman Orde Baru berhasil mendorong adanya pergantian
nama secara massal. Sebagian besar dari orang Tionghoa di Indonesia
sekarang memiliki nama yang tidak mengandung
ke-Tionghoa-an. Kawin campuran pun secara statistik bertambah.
Orang Tionghoa juga telah selama 30 tahunan dipaksa untuk menghentikan
berlangsungnya kebiasaan kebiasaan Tionghoa, sampai sampai, merayakan
tahun baru imlek secara terang terangan-pun dilarang. Tetapi "terapi"
ini ternyata tidak menghilangkan rasialisme. Ledakan ledakan rasialisme
tetap meraja lela dan korban korbannya masih terus bergelimpangan.
Pemerintah tetap menjalankan kebijaksanaan yang menyakiti hati
orang Tionghoa, karena hak azazi manusia dasar tetap di injak
injak secara sewenang wenang.
"Terapi" integrasi masih belum mengalami ujian jangka
panjang, karena memang dalam jaman Orde Baru, keadaan dan suasana
tidak memungkinkan untuk orang Tionghoa mengintegrasikan dirinya
dalam tubuh bangsa Indonesia secara wajar. Selama masih berlaku
praktek praktek diskriminasi rasial, keinginan untuk berintegrasi
secara wajar dengan sednirinya tidak ada atau kecil. Akan tetapi
cukup banyak contoh yang menunjukkan bahwa orang orang Tionghoa,
seperti Arief Budiman dan Kwik Kian Gie yang bersedia hidup dalam
kalangan rakyat dan bersikap bijak dalam kehidupan sehari harinya,
diterima oleh masyarakat luas sebagai orang Indonesia sejati.
Nama atau bentuk raut mukanya sebagai ciri ciri biologis-etnis
(yang tidak mungkin bisa hilang sama sekali) ternyata tidak menjadi
ukuran atas kesungguhannya membela kepentingan negara Indonesia.
Ini membuktikan bahwa kalau ada keinginan untuk menintegrasikan
dirinya ke dalam masyarakat Indonesia luas, persoalan nama dan
latar belakang etnis menjadi hal yang tidak berarti. Orang tentunya
jauh lebih menghargai Kwik Kian Gie yang mempunyai ciri khas Tionghoa
daripada Bob Hassan yang mempunyai gaya "pribumi" dan
yang juga sudah masuk Islam. Bob Hassan akan tetap diingat dalam
sejarah sebagai penyelundup besar yang serakah dan partner dekat
Suharto.
Dalam belasan tahun belakangan ini, kata assimilasi dan integrasi
tidak lagi dimasalahkan. Terminologi yang sering diutarakan adalah
Pembauran.
Kata pembauran dalam hal ini mempunyai konteks yang lebih luas
daripada assimilasi, karena membaur tidak mengandung konotasi
"menghilangkan ciri ciri etnis". Membaur bisa berarti
mengasosiasi dirinya dengan masyarakat luas, meleburkan dirinya
dalam masyarakat luas dan bisa juga bersedia untuk dicampur aduk
dalam tubuh masyarakat luas.
Yang penting dalam menginterpretasi definisi ini adalah adanya
pengertian bahwa pertama, berlangsungnya proses membaur itu harus
bersifat wajar, natural - tanpa paksaan. Yang kedua, dan yang
tidak kalah pentingnya, definisi membaur itu tidak mutlak berarti
pembauran biologis. "Perkawinan" yang dianjurkan adalah
"perkawinan" sosial, perkawinan antara golongan minoritas
Tionghoa dengan golongan mayoritas Indonesia untuk membangun "Rumah
Tangga Indonesia" yang harmonis. Perkawinan yang harmonis
tidak bisa didasarkan atas hilangnya identitas dari salah satu
partner perkawinan. Yang harus dijalin adalah sifat toleransi
dan kesungguhan dalam menciptakan keharmonisan hubungan. Adanya
perkawinan campuran antara orang Tionghoa dengan orang Minang
misalnya adalah urusan dan hak pribadi yang tidak bisa dan tidak
boleh dicampuri oleh organisasi maupun pemerintah.
Dengan demikian, keinginan untuk membaur bisa dimanifestasikan
dalam tindakan wajar yang menentang ke-eksklusifan, bersatu dengan
berbagai golongan etnis lainnya, menmganggap dirinya bagian dari
mayoritas, menjadikan aspirasi golongan mayoritas sebagai aspirasi
dirinya sendiri dan kesemuanya ini dilakukan tanpa harus menanggalkan
ke Tionghoa-annya.
Perlu diingat bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk
yang Bhineka Tunggal Ika. Setiap kebudayaan dari semua golongan
etnis yang ada merupakan sumbangan positif dalam memperkaya kebudayaan
nasional.
Diharap kesadaran yang mulai timbul di kalangan golongan yang
dinamakan "pribumi", yang mulai menginginkan adanya
pertunjukan pertunjukan barongsai dan Liang Liong dalam acara
acara umum seperti yang terjadi di Cirebon beberapa minggu yang
lalu, akan menjalar secara wajar di seluruh Indonesia, karena
ini akan mempercepat proses pembauran yang wajar yang menghilangkan
adanya prasangka rasial (racial prejudice) di Indonesia. |