Pembauran, Peleburan, dan Parti.

Opini Pembaca dari Media Indonesia Kamis, 18 Juni 1998

Oleh Pandita Iwan Setiawan, Pandita Buddha Dharma Indonesia
MASALAH keturunan Cina kembali mengemuka seiring dengan meletusnya masalah kerusuhan tanggal 13-14 Mei yang lalu.

Peristiwa berdarah yang diwarnai penjarahan, bahkan perkosaan ini menjadi masalah bagi hubungan warga pribumi dan keturunan Cina, karena banyak warga keturunan Cina yang menjadi korban. Bagai hantu yang terus membayangi, atau bom waktu yang bisa meledak kapan saja, masalah warga keturunan Cina terus muncul dan semakin rumit ketika dihubungkan dengan krisis ekonomi maupun politik yang melanda negeri kita. Banyak pihak yang menilai warga keturunan Cina mendapatkan ''paket spesial'' dari pemerintah dalam bidang politik maupun ekonomi, sehingga bisa hidup lebih makmur dibandingkan warga lainnya.

Perbincangan menjadi bertambah seru dengan terbentuknya Partai Reformasi Indonesia (Parti) oleh sekelompok warga keturunan.

Tujuan pendirian Partai tersebut mungkin agar suara warga keturunan bisa lebih didengar oleh pemerintah, sehingga tidak melulu jadi sasaran yang disalahkan setiap kali terjadi kerusuhan massa. Namun banyak pihak menilai pendirian partai tersebut sebagai tindakan yang tidak ada gunanya buat kebaikan warga keturunan di Indonesia. Bahkan justru memperkuat pagar, memperdalam jurang antara pribumi dan warga keturunan Cina.

Dari sisi yang berbeda, saya justru menilai peristiwa kerusuhan dan pendirian partai ini tidak dapat dilepaskan dari pola hidup, kebiasaan maupun kebudayaan yang dibangun oleh kelompok warga keturunan Cina. Tanpa maksud menyalahkan sepenuhnya pada warga keturunan Cina, namun sesuai hukum karma, tidak satu pun kejadian di dunia ini yang tidak mempunyai sebab yang dibuat dari diri kita sendiri. Begitu juga peristiwa kerusuhan serta penjarahan yang melanda warga keturunan, tidak terlepas dari perilaku warga keturunan Cina itu sendiri.

Hingga kini masih ada warga keturunan yang mempunyai pola hidup, kebiasaan hingga kebudayaan yang sangat eksklusif seperti menghindar dari dunia lain dengan tinggal bersama dalam pecinan dan mendidik anak-anaknya untuk tidak mengambil bidang lain untuk pengembangan diri, selain ekonomi. Belum lagi penggunaan bahasa Cina dalam keseharian, merayakan hari raya Cina maupun menanamkan modal ke Cina. Lebih dalam dari itu semua, masalahnya masih ada warga negara keturunan yang gagap, tidak mampu secara tegas berkata, ''Indonesia adalah tanah airku, aku lahir, hidup, menikah, mencari nafkah serta berkarya hingga mati pun untuk Indonesia.'' Alat ukurnya, bisa dilihat dari banyaknya warga keturunan yang mengungsi keluar negeri di saat negeri ini dirundung duka.

Pada lapis masyarakat tertentu pembauran warga keturunan dengan pribumi dalam konteks komunikasi sosial, tidak banyak membawa masalah --terutama pada generasi yang tidak ikut menikmati perlakuan istimewa dari kaum Belanda maupun mengecap sekolah khusus Cina tempo doeloe. Kalangan ini lebih bebas dan tidak terlalu terbeban oleh berbagai stigma satu sama lain, seperti 'Cina yang pelit' atau 'pribumi yang malas'. Kedua belah pihak telah dapat memahami, menghargai hingga hidup akrab dalam satu lingkungan. Hal ini terbukti dari pengakuan sejumlah warga keturunan yang mendapat banyak bantuan maupun perlindungan dari tetangganya, ketika peristiwa kerusuhan dan penjarahan tersebut terjadi. Coba tanyakan pada Kwik Kian Gie maupun Christianto Wibisono, pasti mereka tidak merasa perlu kabur keluar negeri agar merasa aman, walau Indonesia sedang rusuh.

Tindakan sukarela

Namun, tampaknya program pembauran yang selama ini diandalkan pemerintah, tidak cukup lagi mengatasi masalah yang timbul antara warga keturunan Cina dengan pribumi. Yang dibutuhkan saat ini bukan pembauran dalam arti warga keturunan Cina dan pribumi bisa hidup berdampingan dengan tenang, akrab bahkan saling dukung membangun lingkungan. Namun lebih dari itu, warga keturunan Cina sudah saatnya meleburkan diri dalam alam Indonesia. Maksudnya, warga keturunan bukan cuma dapat menyatu dengan masyarakat Indonesia tapi 'menjadi' masyarakat Indonesia, lengkap dengan segala tata cara, pola pikir, kebiasaan hidup hingga kebudayaan. Atau secara sederhana dapat diartikan sebagai tindakan sukarela dari warga keturunan Cina untuk meninggalkan tata cara, pola pikir maupun kebiasaan hidup hingga budaya Cina, mulai yang sifatnya 'kulit' seperti merayakan hari-hari raya Cina, penggunaan bahasa Cina untuk pergaulan, hingga kebiasaan kaum 'huakiao' yang cenderung 'siap lari' setiap kali ada gejolak yang mengguncang negeri ini. Meninggalkan kebiasaan, berarti mengubah budaya yang tujuannya bukan sekadar memiliki identitas baru, tapi menjadi manusia baru yang bersedia menjalankan hidup dan mati, sepenuhnya untuk tanah air Indonesia. Memang ini bukan tawaran yang mudah diterima, tapi justru obat yang manjur, dan biasanya pahit.

Sewaktu kecil di sekolah, saya belajar tentang betapa Pangeran Diponegoro sangat perkasa, bahkan sakti dalam berjuang mengusir penjajah. Namun setiba di rumah, saya bertemu dengan lingkungan pergaulan teman-teman warga keturunan yang masih sangat rajin merayakan hari raya Cina, menggunakan bahasa Cina dalam aktivitas sehari-hari, tinggal di daerah pecinaan dengan orang tua yang bekerja sebagai pedagang. Bahkan orang tua teman saya pernah berkata, ''biar bagaimanapun kamu adalah orang Cina.'' Entah dalam konteks apa kalimat itu terlontar, yang pasti saya merasa menemukan pola hidup, kebiasaan sehari-hari dalam bentuk upacara, keramaian pada hari raya, yang tidak saya temukan relevansinya dengan bumi Indonesia. Sebut saja perayaan tahun baru Imlek. Sebagai orang yang tinggal di Indonesia, buat apa ikut merayakan Imlek, yang dikenal sebagai Tahun baru Cina?

Daripada terus dipusingkan dengan 'dua kepribadian', sebelum menjadi Sybil yang punya sembilan kepribadian, maka saya putuskan untuk meninggalkan itu semua dan sungguh-sungguh belajar menerapkan pola hidup, kebiasaan hingga kebudayaan Indonesia.

Apalagi sebagai pandita umat agama bukan cuma warga keturunan tapi juga pribumi.

Memegang terus pola hidup, kebiasaan hingga budaya Cina, tidak lagi berguna, karena bukan cuma nilai-nilainya yang mungkin sudah banyak bergeser tapi juga mempertahankannya hanya akan membuat kita terasa menjadi manusia yang menjejakkan kakinya di dua alam: di Indonesia dan di Tiongkok. Jika warga keturunan ingin diakui sebagai warga negara Indonesia, tanpa embel-embel warga keturunan atau nonpri, maka dari dalam diri harus menerapkan pola hidup, kebiasaan maupun budaya Indonesia. Bukan hanya menyesuaikan, tapi menerapkan. Bukan membaur, tapi melebur. Jika ada istilah forget Paris, maka warga keturunan harus forget Tiongkok!

Berbagi media massa memuat tulisan dari sejumlah tokoh yang menyarankan sebaiknya di buang saja istilah warga negara keturunan Cina, diganti dengan warga negara Indonesia, sama dengan yang lainnya. Namun menurut pendapat saya, mengganti istilah tidak menjamin seseorang otomatis menjadi warga negara Indonesia. Seorang anak dalam sebuah keluarga besar pun, jika ia mempunyai cara hidup, aturan, maupun kebiasaan yang beda dengan anggota keluarga lainnya, jangan salahkan siapa-siapa jika kemudian ia dijuluki 'anak angkat'. Identitas kebangsaan akan tumbuh dari dalam jiwa, bukan sekadar pemberian di atas kertas.

Peleburan ini juga dapat dilihat sebagai ajakan untuk meninggalkan segala kebiasaan lama yang dibawa atau diwariskan 'tanah leluhur' untuk melebur menjadi satu dalam warga Indonesia. Karena, hanya dengan cara ini ia benar-benar menjadi warga (keluarga) dari masyarakat, menjadi bagian yang ikut sakit ketika anggota keluarga lain terluka dan bersama-sama bahu-membahu menyembuhkan luka serta membagi suka. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, sehingga mempunyai jiwa yang luas dan lapang untuk dapat menerima siapa saja yang mau menjadi bagian dari bangsa ini. Tidak ada lagi istilah warga negara keturunan Cina, yang ada adalah warga negara Indonesia.***(Z-1/Q-1)

BACK


© 1998 INDOCHAOS TEAM ™ All Rights Reserved.