Pembauran, Peleburan, dan Parti.
Opini Pembaca dari Media Indonesia Kamis, 18 Juni 1998
Oleh Pandita Iwan Setiawan, Pandita Buddha Dharma Indonesia
Peristiwa berdarah yang diwarnai penjarahan, bahkan perkosaan
ini menjadi masalah bagi hubungan warga pribumi dan keturunan
Cina, karena banyak warga keturunan Cina yang menjadi korban.
Bagai hantu yang terus membayangi, atau bom waktu yang bisa meledak
kapan saja, masalah warga keturunan Cina terus muncul dan semakin
rumit ketika dihubungkan dengan krisis ekonomi maupun politik
yang melanda negeri kita. Banyak pihak yang menilai warga keturunan
Cina mendapatkan ''paket spesial'' dari pemerintah dalam bidang
politik maupun ekonomi, sehingga bisa hidup lebih makmur dibandingkan
warga lainnya.
Perbincangan menjadi bertambah seru dengan terbentuknya Partai
Reformasi Indonesia (Parti) oleh sekelompok warga keturunan.
Tujuan pendirian Partai tersebut mungkin agar suara warga keturunan
bisa lebih didengar oleh pemerintah, sehingga tidak melulu jadi
sasaran yang disalahkan setiap kali terjadi kerusuhan massa. Namun
banyak pihak menilai pendirian partai tersebut sebagai tindakan
yang tidak ada gunanya buat kebaikan warga keturunan di Indonesia.
Bahkan justru memperkuat pagar, memperdalam jurang antara pribumi
dan warga keturunan Cina.
Dari sisi yang berbeda, saya justru menilai peristiwa kerusuhan
dan pendirian partai ini tidak dapat dilepaskan dari pola hidup,
kebiasaan maupun kebudayaan yang dibangun oleh kelompok warga
keturunan Cina. Tanpa maksud menyalahkan sepenuhnya pada warga
keturunan Cina, namun sesuai hukum karma, tidak satu pun kejadian
di dunia ini yang tidak mempunyai sebab yang dibuat dari diri
kita sendiri. Begitu juga peristiwa kerusuhan serta penjarahan
yang melanda warga keturunan, tidak terlepas dari perilaku warga
keturunan Cina itu sendiri.
Hingga kini masih ada warga keturunan yang mempunyai pola hidup,
kebiasaan hingga kebudayaan yang sangat eksklusif seperti menghindar
dari dunia lain dengan tinggal bersama dalam pecinan dan mendidik
anak-anaknya untuk tidak mengambil bidang lain untuk pengembangan
diri, selain ekonomi. Belum lagi penggunaan bahasa Cina dalam
keseharian, merayakan hari raya Cina maupun menanamkan modal ke
Cina. Lebih dalam dari itu semua, masalahnya masih ada warga negara
keturunan yang gagap, tidak mampu secara tegas berkata, ''Indonesia
adalah tanah airku, aku lahir, hidup, menikah, mencari nafkah
serta berkarya hingga mati pun untuk Indonesia.'' Alat ukurnya,
bisa dilihat dari banyaknya warga keturunan yang mengungsi keluar
negeri di saat negeri ini dirundung duka.
Pada lapis masyarakat tertentu pembauran warga keturunan dengan
pribumi dalam konteks komunikasi sosial, tidak banyak membawa
masalah --terutama pada generasi yang tidak ikut menikmati perlakuan
istimewa dari kaum Belanda maupun mengecap sekolah khusus Cina
tempo doeloe. Kalangan ini lebih bebas dan tidak terlalu terbeban
oleh berbagai stigma satu sama lain, seperti 'Cina yang pelit'
atau 'pribumi yang malas'. Kedua belah pihak telah dapat memahami,
menghargai hingga hidup akrab dalam satu lingkungan. Hal ini terbukti
dari pengakuan sejumlah warga keturunan yang mendapat banyak bantuan
maupun perlindungan dari tetangganya, ketika peristiwa kerusuhan
dan penjarahan tersebut terjadi. Coba tanyakan pada Kwik Kian
Gie maupun Christianto Wibisono, pasti mereka tidak merasa perlu
kabur keluar negeri agar merasa aman, walau Indonesia sedang rusuh.
Tindakan sukarela
Namun, tampaknya program pembauran yang selama ini diandalkan
pemerintah, tidak cukup lagi mengatasi masalah yang timbul antara
warga keturunan Cina dengan pribumi. Yang dibutuhkan saat ini
bukan pembauran dalam arti warga keturunan Cina dan pribumi bisa
hidup berdampingan dengan tenang, akrab bahkan saling dukung membangun
lingkungan. Namun lebih dari itu, warga keturunan Cina sudah saatnya
meleburkan diri dalam alam Indonesia. Maksudnya, warga keturunan
bukan cuma dapat menyatu dengan masyarakat Indonesia tapi 'menjadi'
masyarakat Indonesia, lengkap dengan segala tata cara, pola pikir,
kebiasaan hidup hingga kebudayaan. Atau secara sederhana dapat
diartikan sebagai tindakan sukarela dari warga keturunan Cina
untuk meninggalkan tata cara, pola pikir maupun kebiasaan hidup
hingga budaya Cina, mulai yang sifatnya 'kulit' seperti merayakan
hari-hari raya Cina, penggunaan bahasa Cina untuk pergaulan, hingga
kebiasaan kaum 'huakiao' yang cenderung 'siap lari' setiap kali
ada gejolak yang mengguncang negeri ini. Meninggalkan kebiasaan,
berarti mengubah budaya yang tujuannya bukan sekadar memiliki
identitas baru, tapi menjadi manusia baru yang bersedia menjalankan
hidup dan mati, sepenuhnya untuk tanah air Indonesia. Memang ini
bukan tawaran yang mudah diterima, tapi justru obat yang manjur,
dan biasanya pahit.
Sewaktu kecil di sekolah, saya belajar tentang betapa Pangeran
Diponegoro sangat perkasa, bahkan sakti dalam berjuang mengusir
penjajah. Namun setiba di rumah, saya bertemu dengan lingkungan
pergaulan teman-teman warga keturunan yang masih sangat rajin
merayakan hari raya Cina, menggunakan bahasa Cina dalam aktivitas
sehari-hari, tinggal di daerah pecinaan dengan orang tua yang
bekerja sebagai pedagang. Bahkan orang tua teman saya pernah berkata,
''biar bagaimanapun kamu adalah orang Cina.'' Entah dalam konteks
apa kalimat itu terlontar, yang pasti saya merasa menemukan pola
hidup, kebiasaan sehari-hari dalam bentuk upacara, keramaian pada
hari raya, yang tidak saya temukan relevansinya dengan bumi Indonesia.
Sebut saja perayaan tahun baru Imlek. Sebagai orang yang tinggal
di Indonesia, buat apa ikut merayakan Imlek, yang dikenal sebagai
Tahun baru Cina?
Daripada terus dipusingkan dengan 'dua kepribadian', sebelum menjadi
Sybil yang punya sembilan kepribadian, maka saya putuskan untuk
meninggalkan itu semua dan sungguh-sungguh belajar menerapkan
pola hidup, kebiasaan hingga kebudayaan Indonesia.
Apalagi sebagai pandita umat agama bukan cuma warga keturunan
tapi juga pribumi.
Memegang terus pola hidup, kebiasaan hingga budaya Cina, tidak
lagi berguna, karena bukan cuma nilai-nilainya yang mungkin sudah
banyak bergeser tapi juga mempertahankannya hanya akan membuat
kita terasa menjadi manusia yang menjejakkan kakinya di dua alam:
di Indonesia dan di Tiongkok. Jika warga keturunan ingin diakui
sebagai warga negara Indonesia, tanpa embel-embel warga keturunan
atau nonpri, maka dari dalam diri harus menerapkan pola hidup,
kebiasaan maupun budaya Indonesia. Bukan hanya menyesuaikan, tapi
menerapkan. Bukan membaur, tapi melebur. Jika ada istilah forget
Paris, maka warga keturunan harus forget Tiongkok!
Berbagi media massa memuat tulisan dari sejumlah tokoh yang menyarankan
sebaiknya di buang saja istilah warga negara keturunan Cina, diganti
dengan warga negara Indonesia, sama dengan yang lainnya. Namun
menurut pendapat saya, mengganti istilah tidak menjamin seseorang
otomatis menjadi warga negara Indonesia. Seorang anak dalam sebuah
keluarga besar pun, jika ia mempunyai cara hidup, aturan, maupun
kebiasaan yang beda dengan anggota keluarga lainnya, jangan salahkan
siapa-siapa jika kemudian ia dijuluki 'anak angkat'. Identitas
kebangsaan akan tumbuh dari dalam jiwa, bukan sekadar pemberian
di atas kertas.
Peleburan ini juga dapat dilihat sebagai ajakan untuk meninggalkan
segala kebiasaan lama yang dibawa atau diwariskan 'tanah leluhur'
untuk melebur menjadi satu dalam warga Indonesia. Karena, hanya
dengan cara ini ia benar-benar menjadi warga (keluarga) dari masyarakat,
menjadi bagian yang ikut sakit ketika anggota keluarga lain terluka
dan bersama-sama bahu-membahu menyembuhkan luka serta membagi
suka. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, sehingga mempunyai
jiwa yang luas dan lapang untuk dapat menerima siapa saja yang
mau menjadi bagian dari bangsa ini. Tidak ada lagi istilah warga
negara keturunan Cina, yang ada adalah warga negara Indonesia.***(Z-1/Q-1) |