Nondiskriminasi: Tantangan Dan Peluang Bung Rudy.
Opini Pembaca dari Suara Pembaruan Sabtu, 13 Juni 1998
Oleh: Hadi Satyagraha
Bung Rudy ingin menyampaikan bahwa sebagai Presiden RI adalah
menjadi kewajiban beliau untuk memberikan perlindungan dan jaminan
kepada para WNI keturunan Cina untuk tidak usah takut hidup dan
berusaha di Indonesia. Di samping alasan menghormati harkat WNI
keturunan Cina sebagai manusia (human dignity) dan alasan konstitusional,
tentu juga disadari oleh Bung Rudy - seperti juga dikatakan Prof.
Dr. Emil Salim dalam wawancara
TVRI tanggal 6 Juni malam - bahwa peran para WNI keturunan Cina
dalam perekonomian kita cukup penting.
Semua pihak menyadari benar bahwa kerusuhan Mei yang lalu bukan
saja telah menimbulkan human flight (hijrahnya WNI keturunan Cina
ke luar negeri) tetapi juga capital flight (hijrah modal) yang
harus diupayakan kembali untuk membangun perekonomian Indonesia
yang kian terpuruk sejak krisis moneter hampir setahun lamanya.
Bukan Hal Baru
Sebenarnya apa yang dikatakan Bung Rudy mengenai nondiskriminasi
bukanlah sesuatu yang baru. Pak Harto dan beberapa menteri Kabinet
Pembangunan pun dalam berbagai kesempatan pernah membuat pernyataan
serupa.
Bahkan jauh sebelum Pak Harto dan Bung Rudy menjadi ''RI 1'' di
Republik ini, semangat nondiskriminasi dan anti-SARA sudah jelas
dicanangkan para pendiri Republik ini.
Dalam UUD 1945 jelas disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai
kedudukan yang sama di hadapan hukum dan dalam pemerintahan. Tidak
dapat diragukan lagi bahwa sikap nondiskriminasi dan anti-SARA
adalah sesuatu yang dimandatkan oleh konstitusi Republik ini.
Sayangnya, selama ini amanat konstitusi mengenai nondiskriminasi
ini tidak dilaksanakan oleh para pengelola Republik kita. Diskriminasi
rasial terhadap WNI keturunan Cina adalah kenyataan sampai hari
ini. Diskriminasi terhadap WNI Cina bukan merupakan pengecualian
(the exception) tetapi sudah merupakan kebijakan pemerintah (the
rule).
Mungkin Bung Rudy tidak mengetahui bahwa diskriminasi rasial terhadap
seorang WNI keturunan Cina dimulai sejak ia dilahirkan. Bayi tersebut
harus memiliki sejumlah surat istimewa yang tidak diharuskan bagi
bayi WNI asli. Bayi WNI keturunan Cina yang lahir tanpa dosa sudah
harus memikul ''dosa turunan'' hanya karena ia walaupun bukan
atas
kemauannya sendiri -- dilahirkan dalam keluarga WNI Cina. Saya
teringat dan terkesan ketika Menteri PTIP (waktu itu) Dr. Syarief
Thayeb berbicara kepada kami para mahasiswa di KBRI Teheran tahun
1977. Beliau menyatakan bahwa diskriminasi rasial tidaklah dapat
dipertahankan (indefensible) karena tidak fair. Seorang bayi tidak
dapat memilih di keluarga apa ia ingin dilahirkan. Karena itu,
menurut beliau, bagaimana ia dapat didiskriminasi?
Pelajari berapa banyak tunas bangsa ini yang kebetulan dilahirkan
sebagai WNI keturunan Cina yang berguguran memasuki perguruan
tinggi negeri terbaik, bukan karena ketidak-mampuan akademik,
tetapi karena praktik-praktik
diskriminatif terhadap mereka. Selidiki berapa persen dari populasi
dokter WNI keturunan Cina yang tidak dapat meneruskan ke program
spesialis, karena berbagai hambatan yang tidak tampak bagaikan
glass ceiling.
Pemerintah Orde Baru telah gagal melaksanakan amanat konstitusi
dalam melaksanakan nondiskriminasi. Diskriminasi rasial terhadap
WNI keturunan justru makin ''meriah'' bila dibanding masa pemerintahan
Bung Karno. WNI keturunan Cina di era Bung Karno berpartisipasi
dalam berbagai bidang kehidupan kenegaraan: sosial-budaya, politik
dan bukan
hanya ekonomi. Dalam kabinet-kabinet Bung Karno ada WNI keturunan
Cina yang dipercayakan sebagai menteri. WNI keturunan Cina dipercayakan
mewakili berbagai partai politik dalam bidang legislatif, judikatif
maupun eksekutif, baik oleh parpol yang berwawasan kebangsaan
(seperti PNI) maupun oleh parpol yang berwawasan keagamaan.
Dalam era Orde Baru, tidak ada seorangpun WNI keturunan Cina yang
menjadi menteri dan berperan penting dalam parpol. Saya yakin
tidak adanya menteri WNI keturunan Cina dalam era Orde Baru bukan
karena ketidakmampuan mereka, tetapi karena diskriminasi terhadap
mereka. Partisipasi kemasyarakatan WNI keturunan Cina dalam era
Orde Baru dibonsai. Mereka hanya diperbolehkan bergerak leluasa
dalam bidang ekonomi. Lebih buruk lagi, sebagian (kecil) dari
mereka digunakan sebagai wahana eksploitasi kekayaan negara, untuk
kepentingan para pejabat pemerintah dan keluarga mereka lewat
praktik-praktik KKN. Sentimen anti-Cina yang marak dalam era Orde
Baru terutama disebabkan oleh kebijakan pembonsaian partisipasi
WNI keturunan Cina ini. WNI keturunan Cina menjadi target yang
jelas setiap kali ada kerusuhan sosial di negara kita.
Bukti Gamblang
Ada lagi sebuah bukti gamblang untuk memperkuat tesis bahwa kebijakan
dan praktik diskriminasi adalah realita saat ini: Undang-undang
tentang Ketenagakerjaan Tahun 1997. Untuk pertama kalinya dalam
sejarah Republik ini, dalam usianya yang ke 52, secara eksplisit
dalam dunia ketenagakerjaan diskriminasi rasial maupun diskriminasi
atas dasar lainnya seperti suku, agama, dan keyakinan politik
tidak dibenarkan dan diperlakukan sebagai tindak pidana.
Lahirnya UU tersebut tentu bukan tanpa sebab. Seperti pepatah
''ada asap tentu ada apinya''. Bahwa prinsip nondiskriminasi akhirnya
masuk dalam UU tentu karena fenomena diskriminasi dalam ketenagakerjaan,
baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat sudah
demikian parahnya. Lihat saja proporsi WNI keturunan Cina yang
jadi pegawai negeri baik sipil maupun ABRI. Berapa banyak dari
mereka yang menduduki posisi penting di berbagai BUMN dan lembaga
sipil lainnya? Kalau pun mereka diterima di Akabri dan menjadi
perwira ABRI, ada glass ceiling yang membatasi karir mereka: menurut
rumor, konon pangkat mereka maksimum kolonel saja, bagaimanapun
brilliant-nya mereka.
Sebaliknya juga harus kita akui bahwa praktik diskriminasi terhadap
WNI asli pun terjadi di berbagai perusahaan milik WNI keturunan
Cina. Tidak banyak WNI asli yang menduduki posisi puncak dalam
perusahaan tersebut, walaupun mereka fully-qualified. Kalau toh
ada, kadang-kadang fungsinya hanya sekadar window-dressing atau
door opener saja. Kelihatannya terjadi proses ''balas dendam'':
an eye for an eye. Sampai kapan lingkaran setan ini akan kita
biarkan? Sampai kita tercerai-berai seperti yang terjadi di wilayah
eks Yugoslavia?
Diskriminasi terhadap WNI keturunan Cina sudah demikian berakar
dalam sistem kemasyarakatan kita. Yang menyedihkan hati ialah
bahwa mereka yang menjalankan sistem yang diskriminatif itu pun
melakukannya tanpa rasa bersalah sama sekali. Bahkan bagi sebagian
mereka, kebijakan diskriminatif justru dilihat sebagai peluang
untuk
memperkaya diri. Sungguh ini merupakan suatu tantangan luar biasa
bagi Bung Rudy. Beliau harus mereformasi bukan hanya sistem yang
diskriminatif tetapi juga mereformasi the man behind the gun-nya
yang sudah ''kecanduan'' praktik diskriminatif.
Manfaatkan Peluang
Namun demikian tekad nondiskriminasi/anti-SARA, tekad untuk kembali
melaksanakan amanat konstitusi secara benar-benar murni dan konsekuen,
juga merupakan peluang bagi Bung Rudy. Walaupun beliau pasti tidak
akan mempunyai kesempatan menjadi presiden sama lamanya seperrti
Bung Karno dan Pak Harto, tetapi beliau mempunyai peluang untuk
menjadi negarawan besar seperti kedua pendahulunya tersebut. Kalau
Bung Karno kita kenang sebagai Proklamator dan Pak Harto sebagai
Bapak Pembangunan, kini Bung Rudy mempunyai peluang yang amat
langka untuk membuat The Habibie Legacy.
Tidak semua pemimpin negara mempunyai peluang untuk membuat legacy.
Seyogianya beliau memanfaatkan peluang ini sehingga bergenerasi
kemudian, jauh setelah beliau menghadap ilahi, bangsa ini akan
mengenangnya sebagai Bapak Nondiskriminasi. Ia dapat mewariskan
The Habibie Legacy yang amat luhur dan positif bagi proses nation-building
bangsa yang tentu dicintainya ini. Anak-cucu Bung Rudy dapat berbangga
mempunyai leluhur yang mampu membuat sesuatu yang luhur dan monumental
bagi bangsa Indonesia. Kalau Amerika mempunyai Abraham Lincoln
- presiden Amerika ke-16 yang dikenang sebagai Great Emancipator
karena menghapuskan perbudakan di Amerika, mengapa kita tidak
dapat mempunyai Bung Rudy sebagai Bapak Non-Diskriminasi? Peluang
beliau menurut saya amat viable karena kondisi saat ini memang
amat kondusif.
Masyarakat ingin reformasi total termasuk reformasi dari diskriminasi
menjadi nondiskriminasi. Walaupun tidak sedikit
pula saudara kita yang WNI asli yang tidak menghendaki diskriminasi.
Para tokoh ''vokal'' dan tokoh reformasi baik yang berwawasan
kebangsaan maupun yang berwawasan keagamaan selama ini sudah menyuarakan
keprihatinan mereka terhadap praktik diskriminatif dan akibatnya
yang disintegratif dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Juga jangan
dilupakan bahwa the silent majority para WNI asli, yang walaupun
tidak banyak bersuara tetapi juga
bersimpati kepada WNI keturunan Cina yang harus mengalami diskriminasi
di negara sendiri. Di samping dukungan gerakan reformasi di dalam
negeri, Bung Rudy pun pasti akan mendapat dukungan dari pihak
luar negeri yang prihatin melihat maraknya berbagai praktik diskriminasi,
termasuk diskriminasi rasial terhadap WNI keturunan Cina.
Menlu Australia Alexander Downing secara eksplisit pernah berkali-kali
meminta perhatian pemerintah kita untuk memperhatikan aspek diskriminasi
rasial ini. Diskriminasi di mana pun dan atas dasar apapun adalah
sesuatu yang harus dikutuk (condemned) karena hal itu merupakan
pengingkaran martabat manusia sebagai karya agung ilahi.
Diskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan kita di Indonesia
sudah demikian mendalam (rampant). Diskriminasi bahkan mungkin
sudah menjadi budaya karena diskriminasi bukan saja merupakan
pola-tindak tetapi juga sudah merupakan pola-pikir dan pola-sikap
sebagian masyarakat kita. Tentu kita harus percaya kepada Bung
Rudy bahwa beliau tidak main-main dan tidak bohong ketika menyatakan
tidak akan mentoleransi diskriminasi dalam segala
manifestasinya. Walaupun kita yakin perjuangan beliau tidaklah
mudah, namun kita juga yakin seperti kata orang bijak when there
is a will, there is a way. Masalahnya tentu berpulang kepada Bung
Rudy sendiri: does Bung Rudy have the will?***
Penulis adalah dosen Program MBA-IPMI Institut Pengembangan Manajemen
Indonesia Jakarta. |