ETNIS TIONGHOA dan HAK WARGA NEGARA MENDIRIKAN PARTAI. Bagain Kedua/Habis (12.06.98) Oleh: Lion.
Tidak ketinggalan Kwik Kwan Gie pun ikut-ikutan berkomentar sinis :
"Saya tidak mengerti apa maunya mereka itu !." ("Media
Indonesia," 8 Juni 1998).
Kalau tokoh-tokoh masyarakat sendiri yang seharusnya berpikiran
bijak saja sudah mengrespon negatis-sinis begitu, bagaimana dengan
masyarakat bawah yang selama ini sudah "terdidik" untuk
selalu bersikap Anti Cina itu ?.
Di sini seolah-olah mereka yang tidak setuju itu hendak berkata
bahwa WNIKC tidak mempunyai hak untuk berorganisasi. Apalagi mendirikan
partai politik.
Bandingkan saja dengan Malaysia yang tidak punya "Pancasila,"
di mana adanya partai-partai Tionghoa merupakan sesuatu yang sangat
wajar. Seperti Malaysian Chinese Association (MAP), partai etnis
Cina yang berkoalisi dengan partai pimpinan PM Mahatir Muhammad
(UMNO). Atau Democratic Action Party (DAP) pimpinan Liem Kiet
Siang yang adalah partai etnis Cina yang beroposisi kepada pemerintah.
Tetapi bukan berarti saya juga tidak setuju kalau ada WNIKC yang
mendirikan partai politik seperti Parpindo, Parti, atau PBTI di
atas. Saya setuju dan mendukung. Karena memang itu adalah hak
mereka sebagai warga negara, sebagaimana hak warga negara lainnya.
Yang saya kurang setuju adalah adanya embel-embel "Tionghoa"
tersebut. Bukan karena haram hukumnya penggunaan nama tersebut,
tetapi karena -- seperti yang katakan di atas -- kondisi politik
Indonesia yang belum siap menerima itu. Adalah lebih baik jika
nama partai itu tidak menyertai nama Tionghoa di dalamnya. Misalnya
Partai Reformasi Indonesia.
Orang-orang itu (yang berkomentar sinis) selain sebenarnya memang
pada dasarnya sudah anti Cina (apapun yang terjadi), juga ada
yang kesannya mau mengambil jarak (bukan bersikap obyektif) dengan
WNIKC dan berdiri di barisan mayoritas. Agar selalu selamat. Atau
menjadi "pahlawan" kaum mayoritas.
Saya tidak bisa mengerti orang sekelas Kwik Kwan Gie bisa memberi
komentar semacam itu pula ("Tidak habis mengerti apa maunya
mereka itu!"). Tentu saja maunya mereka adalah melaksanakan
haknya sebagai warga negara yang selama ini selalu ditekan dari
berbagai pihak. Bukankah Kwik sendiri juga pernah berkata bahwa
etnis Tionghoa di Indonesia terlalu dibatasi ruang-geraknya sebatas
di bidang bisnis saja? Apakah iklim seperti ini mau tetap dipertahankan?
Jadi apakah orang-orang Tionghoa itu sebaiknya tetap tidak diperkenankan
untuk menjalankan hak politiknya? Dengan konsekuensi selalu dicap
tidak mau berpartisipasi dalam dunia sosial-politik, atau cuma
tahu dagang, ansionalis, dan simbol-simbol negatif lainnya ?, Sangat
tidak fair!.
Kalau belum apa-apa sudah apriori, menaruh serba curiga seperti
ini ya susah. Bagaimana atau kapan baru bisa kita memulai upaya
nyata -- bukan sebatas terori atau retorika saja -- dari pengakuan
persamaan hak-hak WNIKC dalam negara ini ?.
"Kaum Tionghoa adalah korban kebijakan politik SARA yang
selama ini dipelihara Orde Baru untuk mempertahankan hubungan
pengusaha keturunan dengan para birokrat maupun penguasa militer.
Buktinya warga Tionghoa kurang diterima di bidang-bidang lain,
sehingga hanya bisa berdagang. Situasi demikian membuat keturunan
Tionghoa mengucilkan diri di daerah pemukiman tertentu, dan tidak
peduli kepada kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu perjuangan
Parti adalah menyadarkan saudara-saudara yang masih begitu."
"Ketika terjadi kerusuhan, masyarakat Tionghoa menjadi kambing
hitam, dan menjadi sasaran amarah massa yang rasialis. Akibatnya
banyak yang lari keluar negeri."
Dalam deklarasi yang dibaca para pendiri Parti, juga berisi latar
belakang berdirinya Parti yang bukan sektarian dan tidak eksklusif.
"Warga Negara Indonesia Keturunan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari bangsa Indonesia. Karena itu kami mempunyai hak
politik yang sama. WNI Keturunan Tionghoa telah berjuang bahu-membahu
bersama dalam memperjuangkan, mendirikan, dan mempertahankan kemerdekaan.
Jadi tidak ada unsur eksklusif dari kami."
Selanjutnya juga dikatakan, Parti berdiri dengan tujuan mengurangi
kesenjangan pembangunan Indonesia yang dihasilkan pemerintah Orde
Baru. Melalui Parti, mereka bermaksud melakukan reformasi atas
praktek kesenjangan sosial antargolongan, serta menghapuskan berbagai
pandangan rasialis yang masih hidup dalam masyarakat terhadap
kelompok masyarakat Tionghoa. Parti yang berasaskan Pancasila
ini juga bertujuan untuk lebih mengenalkan wawasan kebangsaan
kepada masyarakat keturunan Tionghoa atas hak dan kewajibannya
sebagai warga negara.
Ketika D&R bertanya apakah Parti sudah siap ikut Pemilu. Dijawab,
"Ikut Pemilu itu bukan tujuan utama. Yang lebih penting melalui
partai ini kami dapat lebih berpartisipasi." Parti akan menjadi
partai yang terbuka. Artinya, semua warga negara Indonesia boleh
menjadi anggota partai, tidak harus Tionghoa.
Setelah itu, mengapa kita tidak mau memberi kesempatan bagi mereka ?,
Mereka belum apa-apa sudah apriori, curiga, bersikap sinis dan anti?.
Harian "Kompas" malah merespon positif itikad tersebut.
Dalam "Tajuk Rencana"-nya, 10 Juni 1998, antara lain Harian
itu menulis : |
Copyright © 1998 INDO CHAOS All rights reserved. |