ETNIS TIONGHOA dan HAK WARGA NEGARA MENDIRIKAN PARTAI.
Bagain Kedua/Habis (12.06.98) Oleh: Lion.

Tidak ketinggalan Kwik Kwan Gie pun ikut-ikutan berkomentar sinis : "Saya tidak mengerti apa maunya mereka itu !." ("Media Indonesia," 8 Juni 1998).

Kalau tokoh-tokoh masyarakat sendiri yang seharusnya berpikiran bijak saja sudah mengrespon negatis-sinis begitu, bagaimana dengan masyarakat bawah yang selama ini sudah "terdidik" untuk selalu bersikap Anti Cina itu ?.

Di sini seolah-olah mereka yang tidak setuju itu hendak berkata bahwa WNIKC tidak mempunyai hak untuk berorganisasi. Apalagi mendirikan partai politik.
Tidak tahu diuntung !, Ketentuan dan jaminan dalam UUD 1945 seolah-olah tidak berlaku bagi WNIKC.
Orang-orang itu boleh-boleh saja tidak setuju. Itu juga merupakan hak asasi mereka. Tetapi pantaskah dengan memberi komentar-komentar yang begitu sinis dan memojokkan kepada etnis Tionghoa di Indonesia yang selalu tak berdaya dan menjadi warga kelas dua di negara ini. Ketika mereka hendak bangkit menggunakan haknya sebagai warga negara kok responnya seperti ini ?,
Saya sendiri pada prinsipnya juga kurang setuju kalau sebuah partai itu memakai embel-embel "Tionghoa," seperti Parti. Bukan apa-apa. Tetapi karena memang kondisi di negeri yang sudah 52 tahun lebih merdeka ini, rakyatnya masih belum terdidik untuk bersikap dewasa menerima adanya persamaan hak WNIKC dengan warga negara lainnya. Terpaksa harus realistis !.

Bandingkan saja dengan Malaysia yang tidak punya "Pancasila," di mana adanya partai-partai Tionghoa merupakan sesuatu yang sangat wajar. Seperti Malaysian Chinese Association (MAP), partai etnis Cina yang berkoalisi dengan partai pimpinan PM Mahatir Muhammad (UMNO). Atau Democratic Action Party (DAP) pimpinan Liem Kiet Siang yang adalah partai etnis Cina yang beroposisi kepada pemerintah.

Tetapi bukan berarti saya juga tidak setuju kalau ada WNIKC yang mendirikan partai politik seperti Parpindo, Parti, atau PBTI di atas. Saya setuju dan mendukung. Karena memang itu adalah hak mereka sebagai warga negara, sebagaimana hak warga negara lainnya. Yang saya kurang setuju adalah adanya embel-embel "Tionghoa" tersebut. Bukan karena haram hukumnya penggunaan nama tersebut, tetapi karena -- seperti yang katakan di atas -- kondisi politik Indonesia yang belum siap menerima itu. Adalah lebih baik jika nama partai itu tidak menyertai nama Tionghoa di dalamnya. Misalnya Partai Reformasi Indonesia.
Terhadap penggunaan nama "Tionghoa" ini pun sebenarnya, Lius Sungkharisma, salah satu pencetus Parti, mempunyai alasan sebagaimana yang dituturkan kepada majalah D&R No. 43, 13 Juni 1998: "Ini untuk membuktikan bahwa kami merupakan bagian yang sah dari bangsa ini. Kalau pakai nama lain, itu pura-pura. Lebih jujur mengaku Tionghoa, tapi pemikirannya untuk bangsa dan negara Indonesia."
Boleh jadi argumen Lius ini benar. Tetapi untuk mempertahankannya mungkin memerlukan perjuangan yang lebih berat, mengingat perspektif negatif masyarakat umum selama ini terhadap semua yang berbau Tionghoa. Kalau tidak mau senasib dengan Baperki, yang akhirnya bubar (saya akan coba bahas di bawah nanti).

Orang-orang itu (yang berkomentar sinis) selain sebenarnya memang pada dasarnya sudah anti Cina (apapun yang terjadi), juga ada yang kesannya mau mengambil jarak (bukan bersikap obyektif) dengan WNIKC dan berdiri di barisan mayoritas. Agar selalu selamat. Atau menjadi "pahlawan" kaum mayoritas.
Kalau alasannya bisa memecahbelah bangsa. Lalu mengapa mereka tidak mempunyai komentar sinis juga terhadap adanya (upaya-upaya) pendirian partai politik baru yang berdasarkan agama Islam, misalnya ?, Tentu saja mereka tidak berani. Mereka hanya berani berhadapan (konfrontasi), menepuk dada, sinis dengan pihak yang lemah.

Saya tidak bisa mengerti orang sekelas Kwik Kwan Gie bisa memberi komentar semacam itu pula ("Tidak habis mengerti apa maunya mereka itu!"). Tentu saja maunya mereka adalah melaksanakan haknya sebagai warga negara yang selama ini selalu ditekan dari berbagai pihak. Bukankah Kwik sendiri juga pernah berkata bahwa etnis Tionghoa di Indonesia terlalu dibatasi ruang-geraknya sebatas di bidang bisnis saja? Apakah iklim seperti ini mau tetap dipertahankan? Jadi apakah orang-orang Tionghoa itu sebaiknya tetap tidak diperkenankan untuk menjalankan hak politiknya? Dengan konsekuensi selalu dicap tidak mau berpartisipasi dalam dunia sosial-politik, atau cuma tahu dagang, ansionalis, dan simbol-simbol negatif lainnya ?, Sangat tidak fair!.
Kwik juga mempertanyakan itikad di balik rencana pendirian partai tersebut. "Saya justru heran dan bingung, mengapa mendirikan partai dengan latar belakang etnis. Ini bagi saya, tidak masuk akal dan akan membangkitkan kembali sentimen kesukuan," tegasnya.

Kalau belum apa-apa sudah apriori, menaruh serba curiga seperti ini ya susah. Bagaimana atau kapan baru bisa kita memulai upaya nyata -- bukan sebatas terori atau retorika saja -- dari pengakuan persamaan hak-hak WNIKC dalam negara ini ?.
Marilah kita coba tidak apriori dengan membaca tujuan pendirian partai-partai oleh etnis Tionghoa itu. Misalnya Lius Sungkharisma dengan Parti-nya. Kepada majalah D&R dia berkata: "Masyarakat keturunan Tionghoa sekarang tidak perlu takut selama tinggal di Indonesia, sebab mereka sudah punya partai sendiri yang akan memperjuangkan dihilangkannya kesenjangan antara pri dan nonpri.

"Kaum Tionghoa adalah korban kebijakan politik SARA yang selama ini dipelihara Orde Baru untuk mempertahankan hubungan pengusaha keturunan dengan para birokrat maupun penguasa militer. Buktinya warga Tionghoa kurang diterima di bidang-bidang lain, sehingga hanya bisa berdagang. Situasi demikian membuat keturunan Tionghoa mengucilkan diri di daerah pemukiman tertentu, dan tidak peduli kepada kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu perjuangan Parti adalah menyadarkan saudara-saudara yang masih begitu."

"Ketika terjadi kerusuhan, masyarakat Tionghoa menjadi kambing hitam, dan menjadi sasaran amarah massa yang rasialis. Akibatnya banyak yang lari keluar negeri."

Dalam deklarasi yang dibaca para pendiri Parti, juga berisi latar belakang berdirinya Parti yang bukan sektarian dan tidak eksklusif. "Warga Negara Indonesia Keturunan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia. Karena itu kami mempunyai hak politik yang sama. WNI Keturunan Tionghoa telah berjuang bahu-membahu bersama dalam memperjuangkan, mendirikan, dan mempertahankan kemerdekaan. Jadi tidak ada unsur eksklusif dari kami."

Selanjutnya juga dikatakan, Parti berdiri dengan tujuan mengurangi kesenjangan pembangunan Indonesia yang dihasilkan pemerintah Orde Baru. Melalui Parti, mereka bermaksud melakukan reformasi atas praktek kesenjangan sosial antargolongan, serta menghapuskan berbagai pandangan rasialis yang masih hidup dalam masyarakat terhadap kelompok masyarakat Tionghoa. Parti yang berasaskan Pancasila ini juga bertujuan untuk lebih mengenalkan wawasan kebangsaan kepada masyarakat keturunan Tionghoa atas hak dan kewajibannya sebagai warga negara.

Ketika D&R bertanya apakah Parti sudah siap ikut Pemilu. Dijawab, "Ikut Pemilu itu bukan tujuan utama. Yang lebih penting melalui partai ini kami dapat lebih berpartisipasi." Parti akan menjadi partai yang terbuka. Artinya, semua warga negara Indonesia boleh menjadi anggota partai, tidak harus Tionghoa.
Lius berkata: "Penerimaan terhadap kami adalah ujian bagi demokrasi Pancasila ...."

Setelah itu, mengapa kita tidak mau memberi kesempatan bagi mereka ?, Mereka belum apa-apa sudah apriori, curiga, bersikap sinis dan anti?.
Kalau memang Kwik yang juga adalah WNIKC, atau yang lain tidak setuju dengan itikad tersebut, ya sudah itu juga haknya. Mengapa harus memberi komentar yang demikian sinis dan memojokkan. Seolah-seolah merekalah yang paling berhak dan demokrasi ada di tangan mereka semata.

Harian "Kompas" malah merespon positif itikad tersebut. Dalam "Tajuk Rencana"-nya, 10 Juni 1998, antara lain Harian itu menulis :
"Merupakan hal yang positif, manakala masyarakat keturunan sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warganegara Indonesia dan akan mewujudkan kesadaran itu dalam partisipasi politik. Itulah jalan yang konstruktif, baik untuk membela kepentingannya yang sah maupun untuk menunjukkan bahwa mereka sama dengan warganegara Indonesia lainnya, peduli dan bertanggung jawab secara menyeluruh terhadap nasib bangsa."***


BACK


Copyright © 1998 INDO CHAOS All rights reserved.