ETNIS TIONGHOA dan HAK WARGA NEGARA MENDIRIKAN PARTAI.
Bagian Pertama (12.06.98) Oleh: Lion.

Saya merasa sangat prihatin dengan adanya respon yang begitu sinis terhadap pendirian partai politik yang didirikan oleh etnis Tionghoa Indonesia beberapa waktu lalu.

Seperti kita ketahui setelah memasuki era reformasi beberapa etnis Tionghoa-Indonesia yang selama ini selalu saja menjadi sasaran amuk massa, sebagai bola mainan orang-orang tertentu, tidak mau ketinggalan untuk menggunakan haknya sebagai warga negara untuk mendirikan partai politik. Ada dua partai politik dari etnis Tionghoa ini, yakni Partai Pembauran Indonesia (Parpindo) dengan tokoh-tokohnya antara lain pengusaha Yusuf Hamka, Junus Yahya, Budi Santoso, Ramli Salim, Dr. Juniar Zainuddin, dr. Dih Liang, dan H. Verawaty Fajrin (tokoh bulu tangkis Indonesia). Partai ini juga menempatkan beberapa tokoh pribumi sebagai Dewan Penasehat, antara lain Dahlan Iskan, tokoh pers Indonesia dari Jawa Pos Grup. Kemudian disusul dengan Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (Parti) dengan tokoh-tokohnya antara lain Lius Sungkharisma, Gunawan Tjahjadi, Ponijan, dan Cecep Adi Saputra.

Belakangan, tanggal 11 Juni baru-baru ini berdiri pula partai ketiga, yakni Partai Bhineka Tunggal Ika (PBTI) dengan pendirinya Oe Nang Pin, I Fung, Yang Thai Sung, dan Lie Kaoy Sien yang mempunyai program jangka pendek menuntut diselenggarakan Sidang Istimewa MPR secepat mungkin dan berupaya adanya pengadilan bagi para konglomerat yang terlibat dalam praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (koncoisme).

Gagasan dan pendirian partai-partai ini adalah bagian dan wujud dari pelaksanaan demokrasi dan hak warga negara sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.
Bukankah WNIKC adalah bagian dari Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak asasi yang sama dengan rakyat Indonesia manapun di negeri ini? Adakah UU yang melarang WNIKC untuk mendirikan sebuah partai politik? Tentu saja tidak ada. Kenapa kemudian ada orang yang tiba-tiba mencak-mencak. Bahkan terkesan "memaki" mereka? Sesuatu yang sangat ironis dan kontras dengan semangat reformasi yang sedang ramai-ramainya dikumandangkan di Indonesia.

Misalnya respon yang sangat sinis dari Direktur Lembaga Bantuan Hukum Patria Justisia, H.Y. Soesilo, SH. Dia berkomentar bernada mengancam di depan para wartawan: "Kalau partai Tionghoa itu diizinkan untuk berdiri saya akan mendirikan Partai Anti Cina. Ini 'kan ajakan ber-SARA-ria! Saya akan mengajak masyarakat dari kalangan bawah untuk ikut. Ini bukan langkah yang populer, tetapi saya yakin mereka pasti sangat tertarik !."

Selanjutnya Soesilo juga berkata, kalau orang-orang Cina itu merasa dirinya terancam, mereka harus ikut aturan kita! Orang minoritas harus bergabung dengan mayoritas, harus berperilaku seperti orang Indonesia, baik agamanya, bahasanya, maupun perilakunya. "Saya sangat tidak setuju dengan niat Amien Rais agar kita melindungi mereka. Justru mereka yang harus hidup bersama-sama kita, ikut melebur dalam masyarakat, siskamling, ngomong sesuai dengan daerahnya. Jangan pakai bahasa Cina !, Kalau mau berpolitik gabung saja dengan partai politik yang sudah ada. Jangan mengkontak-kontakkan diri !."

Respon dari Soesilo ini saya curiga berdasarkan persepsi dari seseorang yang memang sudah "dari sononya" tidak-suka Cina. Yang hendak ber-SARA-ria sebenarnya siapa? WNIKC yang hendak mengimplementasikan hak asasinya sebagai warga negara, ataukah Saudara Soesilo yang punya tekad kalau sampai partai-partai itu jadi berdiri mau mendirikan Partai Anti Cina-nya ?.

Komentarnya: "Kalau sampai partai Tionghoa itu didirikan, saya akan mendirikan Partai Anti Cina dengan mengajak masyarakat bawah ..." Jelas membawa kesan demikian. Emosional. Bukankah kita juga tahu bahwa selama ini kebanyakan Anti Cina memang datang dari masyarakat bawah itu. Ini bukannya mengdewasakan wawasan masyarakat tersebut, tetapi kok malah seolah-olah meng-support semangat anti-Cina, diajak bergabung untuk "berkelahi."

Ironisnya komentar sinis ini datang dari seorang yang berlatar belakang hukum, yang seharusnya tahu dan bisa menerima, atau bahkan memperjuangkan adanya persamaan hak warga negara. Termasuk persamaan hak berpolitik sebagaimana dijamin UUD 1945.

Demikian pula komentarnya yang mengatakan bahwa minoritas harus selalu ikut mayoritas, harus ikut siskamling, tidak boleh pakai bahasa Cina, beragama sesuai dengan "kita". Kalau mau berpolitik harus bergabung dengan partai politik yang sudah ada, dan sebagainya jelas-jelas merupakan kalimat-kalimat yang tidak menghormati HAM. Dalam hal ini HAM dari WNIKC.

Di lain pihak berkoar-koar sampai suara serak menuntut penegakan HAM, tetapi giliran yang berhubungan dengan etnis Tionghoa, tiba-tiba melecehkan HAM.
Apa alasannya minoritas harus ikut mayoritas ?, Mayoritas yang mana ?, Apakah termasuk juga minoritas suku Dayak di Kalimantan, harus meninggalkan adat-istiadatnya dan ikut mayoritas Orang Jawa ? Atau minoritas suku Badui di Kalimantan, dan suku minoritas di Irian Jaya ?, Harus melepaskan adat-istiadatnya dan ikut mayoritas Jawa ?.
Agama mana yang dimaksud dengan agama Indonesia? Islam ?, Kristen ?, Tidak ada satu pun agama "asli" Indonesia di sini. Islam dari Arab, dan Kristen dari Israel yang disebarluaskan orang-orang Barat di sini.
Lagipula apa hak setiap manusia untuk mengatur keyakinan agama setiap orang? Apa hak Anda untuk memaksa seseorang untuk beragama, atau harus beragama ini dan itu? Agama adalah hubungan pribadi setiap individu manusia dengan Maha Pencipta. Manusia mana pun tidak mempunyai hak untuk mengatur. Bahkan orang yang memilih tidak beragama, atau atheis pun merupakan hak asasinya selama dia tidak mengganggu orang lain, atau umum. Jangan berlagak menjadi Tuhan dunia !.

Apakah hanya karena minoritas maka golongan warga negara tertentu tidak mempunyai hak yang sama dengan warga negara lain ?, Harus nunut saja mayoritas, apa pun yang terjadi ?.
Kenapa etnis Cina tidak boleh berprinsip sendiri, tidak boleh mendirikan partai sendiri, tetapi harus ikut partai politik lain ?, Inikan sama saja dengan pengkebirian hak untuk berorganisasi, hak untuk beraspirasi, dan hak untuk berpendapat (sendiri). Jadi apakah etnis Tionghoa itu harus selalu menjadi bebek ?, Tidak boleh punya pendapat sendiri? Nunut saja orang/pihak lain ?, Ini merupakan suatu bentuk pengekangan kebebasan berpikir dan berpendapat.

Harus ikut siskamling ?, Saya mau tanya kepada Saudara Soesilo itu, apakah dia sendiri selalu ikut siskamling ?, Kita harus realistis. Bagaimana mungkin, seorang pengusaha, atau karyawan. Pokoknya orang yang sudah bekerja. Masih diwajibkan ikut siskamling ?, Lalu pukul berapa dia harus bangun pagi untuk bekerja, atau ke kantor ?.

Tidak boleh pakai bahasa Cina ?, Kenapa ?, Apakah ada ketentuan hukum yang menyangkut HAM. Misalnya Declaration of Human Rights PBB yang mengtolerir adanya larangan dari etnis tertentu untuk menggunakan bahasanya ?, Apakah ini bisa dipertanggungjawabkan oleh siapa saja yang mengaku pro, penegak, dan pejuang HAM ?, Ingat HAM itu sifatnya universal. Jangan pakai lagi alasan-alasan bodoh dan absurd dari rezim Orde Baru Soeharto. Misalnya HAM Indonesia berbeda dengan negara-negara lain.

Tentang penggunaan bahasa Cina ini, seperti yang pernah saya singgung di media INDONESIA-L, walaupun ini merupakan bagian dari HAM, tetapi kaum etnis Tionghoa memang terpaksa harus bersikap realistis terhadap lingkungan yang masih belum bisa secara umum menerima ini. Terhadap lingkungan yang masih terus menekan (under pressure) HAM WNIKC. Maka walaupun pada prinsipnya WNIKC berhak menggunakan bahasanya sendiri -- sebagaimana juga suku Jawa, Batak, dan sebagainya -- tetapi mengingat kondisi yang seperti ini, mau tak mau harus bisa "mengalah," menahan dan membatasi diri dalam berkomunikasi dengan bahasanya sendiri. Jadi tidak berdasarkan alasan yang dikemukakan oleh Saudara Soesilo yang terkesan rasis itu.

Saya tidak mengerti dengan maksud ucapannya yang tidak setuju dengan Amien Rais bahwa WNIKC harus dilindungi. Tentu saja yang dimaksud Amien Rais bukan melindungi dalam arti menjadi semacam body-guard (kalau sampai Saudara Soesilo berkesimpulan demikian; aduh, betapa naifnya!), tetapi yang dimaksud adalah menghormati dan menghargai HAM dari WNIKC itu. Seperti yang pernah diucap oleh Amien Rais: "Kita harus sadar dan mengerti bahwa WNIKC juga adalah manusia biasa ciptaan Tuhan seperti kita juga. Mereka mempunyai perasaan untuk tertekan, trauma, takut. Mereka juga bisa sedih, menangis ...."

Kalau sampai ada pihak-pihak tertentu yang menyerang WNIKC, terutama secara fisik, adalah kewajiban setiap orang untuk mencegah atau melindunginya semampunya. Apalagi ABRI. Tentu saja ini tidak berlaku hanya untuk WNIKC, tetapi manusia dengan latar belakang apapun kalau diserang, memang kewajiban setiap orang untuk mencegah dan melindungi semampunya. Hanya saja fokus pembicaraannya adalah WNIKC, maka penekanannya kepada mereka. Ini adalah sesuatu yang sangat wajar apabila kita masih mau mengaku sebagai manusia yang mempunyai hati nurani.***


BACK


Copyright © 1998 INDO CHAOS All rights reserved.