Kapok Jadi Nonpri.

Opini Pembaca dari Kompas Jumat, 12 Juni 1998

Oleh Ariel Heryanto
DALAM wawancara dengan Radio BBC (4/6/ '98) Dani, seorang aktivis Mitra Perempuan, memperkirakan "ratusan" wanita mengalami perkosaan atau pelecehan seksual lain dalam kerusuhan di Jakarta 14 Mei 1998. Sebagian terbesar dari para korban ini keturunan Tionghoa. Perkosaan itu dilakukan serempak. Polanya seragam. Kesaksian itu didukung laporan terpisah dalam Kompas (5/6/'98).

Maka sulit mengatakan bahwa pemerkosa adalah massa, atau tindakan mereka bersifat spontan. Bukan kejutan jika penelitian lebih lanjut akan menyimpulkan kejahatan itu merupakan sebuah paket program yang dipersiapkan dan diko-mando oleh kelompok yang ahli dalam kekerasan dan teror. Perkosaan massal itu merupakan bagian integral dari pembakaran aset ekonomi nasional dan lebih dari seribu nyawa penjarah dalam beberapa jam saja.

Kelakuan immoral itu tak mungkin dilakukan oleh rata-rata manusia Indonesia. Moral-itas menjadi modal utama perjuangan generasi muda Indonesia menumbangkan otoriterisme Orde Baru. Tindakan immoral bulan Mei itu hanya mampu dilakukan oleh mereka yang berada jauh di bawah atau jauh di atas rata-rata manusia Indonesia.

Mengapa bungkam?

Masyarakat internasional terkesima. Yang mengherankan adalah betapa minim reaksi masyarakat Indonesia sendiri terhadap kejahatan sedahsyat itu. Beberapa individu, seniman, dan organisasi nonpemerintah sudah bergerak. Tetapi gerak mereka masih terlalu kecil dibandingkan dengan skala persoalan yang mereka lawan dan demam-reformasi belakangan.

Tahun 1995 terjadi kasus perampokan dan perkosaan terhadap keluarga Acan di Bekasi. Yang sulit dilupakan dari peristiwa itu adalah hebatnya ledakan kemarahan kelas menengah kota. Hingga saat ini belum kelihatan reaksi serupa, atau separuhnya bagi korban di Jakarta. Padahal kejahatan di Jakarta beberapa kali lipat lebih berat. Perkosaan dan pelecehan di Jakarta dilakukan secara terbuka di depan publik dan keluarga korban. Bukan di malam buta di dalam rumah tertutup seperti pengalaman keluarga Acan.

Apakah kesibukan reformasi politik dan krisis ekonomi telah menghabiskan perhatian publik? Mengapa pada masa yang sama di IKIP Medan ratusan mahasiswa dapat berdemonstrasi menuntut keadilan atas pelecehan seksual terhadap aktivis mahasiswi. Tak ada perkosaan di sana, tapi kasus kejahatan seksual tidak dipisahkan atau dikorbankan demi reformasi. Sayang mereka bungkam terhadap yang terjadi di Jakarta.

Paling sedikit ada dua kemungkinan mengapa publik bungkam. Pertama, bukan tidak ada yang marah atau bersimpati di Indonesia. Namun jenis, bentuk dan watak kebrutalan itu begitu hebat. Sampai-sampai kejadian itu tak terjangkau oleh akal sehat, bahasa dan kutukan paling berat dalam bahasa kita. Kita tertegun, batin kita koma, dan lidah menjadi kelu. Kita butuh waktu sebelum menjerit dan marah.

Kemungkinan kedua, bukan kurangnya kepedulian atau kemiskinan bahasa yang menjadi masalah. Yang menghambat adalah sejarah diskriminasi terhadap perempuan, apalagi dari kalangan etnik Tionghoa. Lebih dari 30 tahun tidak ada kebiasaan menghargai perempuan maupun etnik Tionghoa sebagai sesama warga negara yang sederajat. Demi jelasnya, kedua hipotesa itu akan dibahas satu per satu di bawah ini.

Kedalaman trauma

Kita tidak akan pernah tahu sedalam apa penderitaan ratusan korban pelecehan/perkosaan itu. Tetapi kita bisa dan harus mencoba menakar hal itu untuk dapat bersimpati. Misalnya melalui perbandingan dengan nasib sejumlah aktivis prodemokrasi yang diculik sejak Februari 1998.

Ketika belasan aktivis prodemokrasi diculik 2-3 bulan, hampir semua tokoh dan lembaga mengutuk penculikan itu. Ketika salah seorang terculik, Pius Lustrilanang, dilepaskan ia langsung menjadi simbol perjuangan melawan kelaliman. Ketika empat mahasiswa Trisakti gugur 12 Mei 1998, ucapan simpati membanjiri iklan, internet dan poster demonstran. Bendera dikibarkan setengah tiang. Mereka dinobatkan sebagai pahlawan reformasi. Ketika Mozes Gatotkaca gugur dalam demonstrasi di Yogyakarta, namanya diabadikan sebagai nama jalan. Semua itu dapat dimaklumi. Semuanya menyangkut laki-laki.

Reaksi semacam, atau sepersepuluhnya saja, tidak terdengar bagi ratusan wanita yang dilecehkan di Jakarta. Gelar kepahlawanan apa yang pantas bagi ratusan wanita yang diperkosa secara bergilir di jalan raya di siang bolong, atau ditelanjangi beramai-ramai di depan umum? Monumen macam apa yang layak didirikan bagi mereka? Berapa puluh hari bendera harus diturunkan setengah tiang? Adakah kampanye simpati yang telah atau akan membanjiri iklan dan internet?

Kita tidak mengecilkan pengorbanan Pius, keempat martir Trisakti atau Mozes Gatotkaca. Penderitaan Pius, misalnya, tidaklah ringan. Lebih dari seminggu setelah dibebaskan, Pius tak kuasa bersaksi. Ia mengalami trauma berat. Tidak semua terculik mau atau mampu bersaksi setelah dilepaskan penculiknya. Taslam Haryanto misalnya.

Berapa tahun dibutuhkan oleh ratusan wanita yang diperkosa atau dilecehkan di Jakarta Mei lalu sebelum mampu tampil di hadapan publik dan memberikan kesaksian sejarah seperti Pius? Beberapa generasi harus lewat dalam damai sebelum kesaksian itu terungkap dan gugatan diajukan oleh anak-cucu mereka? Mirip nasib para korban kejahatan seksual kolonial Jepang (ianfu) dari Perang Dunia II, atau perang Bosnia.

Mungkin kita tidak akan pernah mendengarkan kesaksian para korban teror, pembakaran, penjarahan, dan perkosaan itu dari suara orang pertama. Bukan karena sensor. Penderitaan mereka tidak terucapkan dalam bahasa milik masyarakat yang sakit. Tidak akan ada cukup

pendengar yang siap memahami kesaksian yang tersusun hanya dalam histeria, isak tangis, atau diam. Karena sebab serupa kita masih berutang mendengar kesaksian korban pembantaian sekitar sejuta warga negara di tahun 1965-1966.

Nonpri ala Orba

Politik dalam negeri Orde Baru didasarkan pada SARA, selain diskriminasi jenis kelamin. Dalam bidang ekonomi beberapa puluh (dari sekitar empat juta) orang Tionghoa mendapatkan peluang KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) secara berlimpah. Hampir semuanya pria. Belum pernah dalam sejarah Republik ini mereka sekaya seperti di zaman Orde Baru. Pada saat yang sama, di sepanjang sejarah Indonesia, belum pernah warga Tionghoa ditindas secara politik, kebudayaan dan sosial separah di masa Orde Baru.

Mungkin di seluruh dunia ini hanya di Indonesia Orde Baru ada larangan terhadap bahasa Cina, salah satu bahasa yang digunakan paling luas di dunia. Hanya di Indonesia Orde Baru, cetakan beraksara Cina termasuk barang terlarang dibawa masuk pelabuhan. Statusnya sama dengan narkotika, bahan peledak, dan pornografi.

Mungkin pula hanya di negeri ini jutaan warga Tionghoa ditekan supaya mengganti nama pribadinya, dan diberi nomor kode khusus dalam KTP.

Bukan hanya perayaan Tahun Baru Imlek dilarang. Di Semarang di awal tahun 1990-an, menjualbelikan kue-ranjang (khas dalam perayaan itu) dinyatakan terlarang oleh gubernur.

Tidaklah aneh jika terjadi normalisasi pelecehan (atau pemerasan, perampokan, atau perkosaan) warga Tionghoa dalam sebuah keributan massal.

Ada semacam heroisme. Korbannya bukan cuma pria konglomerat penikmat KKN. Bisa saja gadis berusia 10 tahun atau nenek 60 tahun dari keluarga yang hidup pas-pasan. Yang aneh, tetapi selalu ada, justru individu-individu non-Tionghoa yang memberikan perlindungan di saat kaum Tionghoa itu diserang amuk massal yang tidak pernah spontan.

Segera setelah memberikan kesaksian tentang penculikan atas dirinya di Jakarta, Pius terbang ke Eropa. "Ironis", kata seorang aktivis prodemokrasi, "untuk mendapatkan rasa aman orang Indonesia harus mencarinya di negeri orang." Ketika 5.000 warga Tionghoa melarikan diri

ke negara jiran bulan Mei lalu, mereka dicaci-maki seorang anggota MPR sebagai tidak patriotik. Sang pejabat usul agar para pelarian ini dihukum. Kesalahan mereka adalah menolak diteror, dijarah, dirampok, dibakar, atau diperkosa.

Para penculik Pius memang pengecut, walau lagaknya sok jantan. Mereka menyiksa orang yang tak berdaya, sambil menutup muka dengan topeng. Ini membuktikan penculik itu masih tahu rasa malu, takut, dan salah. Perasaan semacam itu tidak dimiliki mereka yang beramai-ramai menelanjangi dan memperkosa ratusan wanita di Jakarta Mei lalu. Atau ribuan lain yang menonton dan tak berbuat apa-apa. Sebab para korbannya adalah keturunan Tionghoa, warga yang boleh diapakan saja tanpa risiko apa-apa.

Seperti korupsi atau kolusi, rasialisme anti-Cina sudah merasuk dan melembaga dalam kehidupan sosial. Dalam berbahasa pun rasialisme itu dihayati dan diamalkan secara lumrah. Misalnya populernya istilah pribumi dan nonpribumi. Fiksi ciptaan kolonialisme Belanda ini telah dimanfaatkan secara maksimal oleh Orde Baru. Di akhir abad 20 ini sudah tidak ada lagi makhluk pribumi. Kita semua adalah nonpribumi: tengok bahasa, menu, busana, perabot rumah, atau rekreasi dan hibur-an kita. Baik struktur lembaga, cita-cita maupun istilah "Republik Indonesia" sepenuhnya bersifat nonpribumi!

Istilah lain yang bermasalah adalah "WNI keturunan Cina". Tak sedikit aktivis prodemokrasi ikut-ikutan menggunakan istilah ini. Mengapa tidak lazim dibicarakan WNI Keturunan Arab, Jerman, Jawa, Batak, atau Bali? Kadang-kadang istilah untuk minoritas Tionghoa itu di-singkat menjadi "WNI" saja, seakan-akan 200 juta minus empat juta bangsa Indonesia yang lain bukan WNI. Banyak dari kita yang belum kapok dengan bahasa rasialis Orde Baru.

Reformasi memang tidak kecil dan mudah. Tetapi dapat dimulai dari yang kecil dan sehari-hari, misalnya dalam berbahasa. Reformasi tidak hanya ditandai oleh perubahan susunan kabinet atau presiden, tetapi juga daftar larangan barang bawaan di pelabuhan, nomor KTP, atau pasar kue-ranjang.

(* Ariel Heryanto, antropolog sosial, kini dosen di The National University of Singapore untuk jurusan Southeast Asian Studies Programme).

BACK


© 1998 INDOCHAOS TEAM ™ All Rights Reserved.