Kapok Jadi Nonpri.
Opini Pembaca dari Kompas Jumat, 12 Juni 1998
Oleh Ariel Heryanto
Maka sulit mengatakan bahwa pemerkosa adalah massa, atau tindakan
mereka bersifat spontan. Bukan kejutan jika penelitian lebih lanjut
akan menyimpulkan kejahatan itu merupakan sebuah paket program
yang dipersiapkan dan diko-mando oleh kelompok yang ahli dalam
kekerasan dan teror. Perkosaan massal itu merupakan bagian integral
dari pembakaran aset ekonomi nasional dan lebih dari seribu nyawa
penjarah dalam beberapa jam saja.
Kelakuan immoral itu tak mungkin dilakukan oleh rata-rata manusia
Indonesia. Moral-itas menjadi modal utama perjuangan generasi
muda Indonesia menumbangkan otoriterisme Orde Baru. Tindakan immoral
bulan Mei itu hanya mampu dilakukan oleh mereka yang berada jauh
di bawah atau jauh di atas rata-rata manusia Indonesia.
Mengapa bungkam?
Masyarakat internasional terkesima. Yang mengherankan adalah betapa
minim reaksi masyarakat Indonesia sendiri terhadap kejahatan sedahsyat
itu. Beberapa individu, seniman, dan organisasi nonpemerintah
sudah bergerak. Tetapi gerak mereka masih terlalu kecil dibandingkan
dengan skala persoalan yang mereka lawan dan demam-reformasi belakangan.
Tahun 1995 terjadi kasus perampokan dan perkosaan terhadap keluarga
Acan di Bekasi. Yang sulit dilupakan dari peristiwa itu adalah
hebatnya ledakan kemarahan kelas menengah kota. Hingga saat ini
belum kelihatan reaksi serupa, atau separuhnya bagi korban di
Jakarta. Padahal kejahatan di Jakarta beberapa kali lipat lebih
berat. Perkosaan dan pelecehan di Jakarta dilakukan secara terbuka
di depan publik dan keluarga korban. Bukan di malam buta di dalam
rumah tertutup seperti pengalaman keluarga Acan.
Apakah kesibukan reformasi politik dan krisis ekonomi telah menghabiskan
perhatian publik? Mengapa pada masa yang sama di IKIP Medan ratusan
mahasiswa dapat berdemonstrasi menuntut keadilan atas pelecehan
seksual terhadap aktivis mahasiswi. Tak ada perkosaan di sana,
tapi kasus kejahatan seksual tidak dipisahkan atau dikorbankan
demi reformasi. Sayang mereka bungkam terhadap yang terjadi di
Jakarta.
Paling sedikit ada dua kemungkinan mengapa publik bungkam. Pertama,
bukan tidak ada yang marah atau bersimpati di Indonesia. Namun
jenis, bentuk dan watak kebrutalan itu begitu hebat. Sampai-sampai
kejadian itu tak terjangkau oleh akal sehat, bahasa dan kutukan
paling berat dalam bahasa kita. Kita tertegun, batin kita koma,
dan lidah menjadi kelu. Kita butuh waktu sebelum menjerit dan
marah.
Kemungkinan kedua, bukan kurangnya kepedulian atau kemiskinan
bahasa yang menjadi masalah. Yang menghambat adalah sejarah diskriminasi
terhadap perempuan, apalagi dari kalangan etnik Tionghoa. Lebih
dari 30 tahun tidak ada kebiasaan menghargai perempuan maupun
etnik Tionghoa sebagai sesama warga negara yang sederajat. Demi
jelasnya, kedua hipotesa itu akan dibahas satu per satu di bawah
ini.
Kedalaman trauma
Kita tidak akan pernah tahu sedalam apa penderitaan ratusan korban
pelecehan/perkosaan itu. Tetapi kita bisa dan harus mencoba menakar
hal itu untuk dapat bersimpati. Misalnya melalui perbandingan
dengan nasib sejumlah aktivis prodemokrasi yang diculik sejak
Februari 1998.
Ketika belasan aktivis prodemokrasi diculik 2-3 bulan, hampir
semua tokoh dan lembaga mengutuk penculikan itu. Ketika salah
seorang terculik, Pius Lustrilanang, dilepaskan ia langsung menjadi
simbol perjuangan melawan kelaliman. Ketika empat mahasiswa Trisakti
gugur 12 Mei 1998, ucapan simpati membanjiri iklan, internet dan
poster demonstran. Bendera dikibarkan setengah tiang. Mereka dinobatkan
sebagai pahlawan reformasi. Ketika Mozes Gatotkaca gugur dalam
demonstrasi di Yogyakarta, namanya diabadikan sebagai nama jalan.
Semua itu dapat dimaklumi. Semuanya menyangkut laki-laki.
Reaksi semacam, atau sepersepuluhnya saja, tidak terdengar bagi
ratusan wanita yang dilecehkan di Jakarta. Gelar kepahlawanan
apa yang pantas bagi ratusan wanita yang diperkosa secara bergilir
di jalan raya di siang bolong, atau ditelanjangi beramai-ramai
di depan umum? Monumen macam apa yang layak didirikan bagi mereka?
Berapa puluh hari bendera harus diturunkan setengah tiang? Adakah
kampanye simpati yang telah atau akan membanjiri iklan dan internet?
Kita tidak mengecilkan pengorbanan Pius, keempat martir Trisakti
atau Mozes Gatotkaca. Penderitaan Pius, misalnya, tidaklah ringan.
Lebih dari seminggu setelah dibebaskan, Pius tak kuasa bersaksi.
Ia mengalami trauma berat. Tidak semua terculik mau atau mampu
bersaksi setelah dilepaskan penculiknya. Taslam Haryanto misalnya.
Berapa tahun dibutuhkan oleh ratusan wanita yang diperkosa atau
dilecehkan di Jakarta Mei lalu sebelum mampu tampil di hadapan
publik dan memberikan kesaksian sejarah seperti Pius? Beberapa
generasi harus lewat dalam damai sebelum kesaksian itu terungkap
dan gugatan diajukan oleh anak-cucu mereka? Mirip nasib para korban
kejahatan seksual kolonial Jepang (ianfu) dari Perang Dunia II,
atau perang Bosnia.
Mungkin kita tidak akan pernah mendengarkan kesaksian para korban
teror, pembakaran, penjarahan, dan perkosaan itu dari suara orang
pertama. Bukan karena sensor. Penderitaan mereka tidak terucapkan
dalam bahasa milik masyarakat yang sakit. Tidak akan ada cukup
pendengar yang siap memahami kesaksian yang tersusun hanya dalam
histeria, isak tangis, atau diam. Karena sebab serupa kita masih
berutang mendengar kesaksian korban pembantaian sekitar sejuta
warga negara di tahun 1965-1966.
Nonpri ala Orba
Politik dalam negeri Orde Baru didasarkan pada SARA, selain diskriminasi
jenis kelamin. Dalam bidang ekonomi beberapa puluh (dari sekitar
empat juta) orang Tionghoa mendapatkan peluang KKN (korupsi, kolusi,
nepotisme) secara berlimpah. Hampir semuanya pria. Belum pernah
dalam sejarah Republik ini mereka sekaya seperti di zaman Orde
Baru. Pada saat yang sama, di sepanjang sejarah Indonesia, belum
pernah warga Tionghoa ditindas secara politik, kebudayaan dan
sosial separah di masa Orde Baru.
Mungkin di seluruh dunia ini hanya di Indonesia Orde Baru ada
larangan terhadap bahasa Cina, salah satu bahasa yang digunakan
paling luas di dunia. Hanya di Indonesia Orde Baru, cetakan beraksara
Cina termasuk barang terlarang dibawa masuk pelabuhan. Statusnya
sama dengan narkotika, bahan peledak, dan pornografi.
Mungkin pula hanya di negeri ini jutaan warga Tionghoa ditekan
supaya mengganti nama pribadinya, dan diberi nomor kode khusus
dalam KTP.
Bukan hanya perayaan Tahun Baru Imlek dilarang. Di Semarang di
awal tahun 1990-an, menjualbelikan kue-ranjang (khas dalam perayaan
itu) dinyatakan terlarang oleh gubernur.
Tidaklah aneh jika terjadi normalisasi pelecehan (atau pemerasan,
perampokan, atau perkosaan) warga Tionghoa dalam sebuah keributan
massal.
Ada semacam heroisme. Korbannya bukan cuma pria konglomerat penikmat
KKN. Bisa saja gadis berusia 10 tahun atau nenek 60 tahun dari
keluarga yang hidup pas-pasan. Yang aneh, tetapi selalu ada, justru
individu-individu non-Tionghoa yang memberikan perlindungan di
saat kaum Tionghoa itu diserang amuk massal yang tidak pernah
spontan.
Segera setelah memberikan kesaksian tentang penculikan atas dirinya
di Jakarta, Pius terbang ke Eropa. "Ironis", kata seorang
aktivis prodemokrasi, "untuk mendapatkan rasa aman orang
Indonesia harus mencarinya di negeri orang." Ketika 5.000
warga Tionghoa melarikan diri
ke negara jiran bulan Mei lalu, mereka dicaci-maki seorang anggota
MPR sebagai tidak patriotik. Sang pejabat usul agar para pelarian
ini dihukum. Kesalahan mereka adalah menolak diteror, dijarah,
dirampok, dibakar, atau diperkosa.
Para penculik Pius memang pengecut, walau lagaknya sok jantan.
Mereka menyiksa orang yang tak berdaya, sambil menutup muka dengan
topeng. Ini membuktikan penculik itu masih tahu rasa malu, takut,
dan salah. Perasaan semacam itu tidak dimiliki mereka yang beramai-ramai
menelanjangi dan memperkosa ratusan wanita di Jakarta Mei lalu.
Atau ribuan lain yang menonton dan tak berbuat apa-apa. Sebab
para korbannya adalah keturunan Tionghoa, warga yang boleh diapakan
saja tanpa risiko apa-apa.
Seperti korupsi atau kolusi, rasialisme anti-Cina sudah merasuk
dan melembaga dalam kehidupan sosial. Dalam berbahasa pun rasialisme
itu dihayati dan diamalkan secara lumrah. Misalnya populernya
istilah pribumi dan nonpribumi. Fiksi ciptaan kolonialisme Belanda
ini telah dimanfaatkan secara maksimal oleh Orde Baru. Di akhir
abad 20 ini sudah tidak ada lagi makhluk pribumi. Kita semua adalah
nonpribumi: tengok bahasa, menu, busana, perabot rumah, atau rekreasi
dan hibur-an kita. Baik struktur lembaga, cita-cita maupun istilah
"Republik Indonesia" sepenuhnya bersifat nonpribumi!
Istilah lain yang bermasalah adalah "WNI keturunan Cina".
Tak sedikit aktivis prodemokrasi ikut-ikutan menggunakan istilah
ini. Mengapa tidak lazim dibicarakan WNI Keturunan Arab, Jerman,
Jawa, Batak, atau Bali? Kadang-kadang istilah untuk minoritas
Tionghoa itu di-singkat menjadi "WNI" saja, seakan-akan
200 juta minus empat juta bangsa Indonesia yang lain bukan WNI.
Banyak dari kita yang belum kapok dengan bahasa rasialis Orde
Baru.
Reformasi memang tidak kecil dan mudah. Tetapi dapat dimulai dari
yang kecil dan sehari-hari, misalnya dalam berbahasa. Reformasi
tidak hanya ditandai oleh perubahan susunan kabinet atau presiden,
tetapi juga daftar larangan barang bawaan di pelabuhan, nomor
KTP, atau pasar kue-ranjang.
(* Ariel Heryanto, antropolog sosial, kini dosen di The National
University of Singapore untuk jurusan Southeast Asian Studies
Programme). |