KETERANGAN UNTUK ARIEF NASUTION. (03.06.98) Oleh: Lion. Keterangan ini dibuat untuk menanggapi pernyataan dari Dr.Arief Nasution MA di harian Waspada (01.06.98). Tak ada bosan-bosannya orang terus-menerus menekan WNI Keturunan Cina(WNIKC). Tidak perduli bagaimana sedang tertekannya jiwa WNIKC sekarang ini. Diteror, dijarah, dianiaya, diinjak-injak HAM-nya. Seolah-olah itu belum cukup masih saja terus ditekan. Mereka (orang-orang pribumi tertentu) bertindak dan berkata-kata seolah-olah mereka itu orang-orang suci yang berhak menghukum orang-orang pendosa, tanpa mau bercermin lebih dulu. Kalau penekanan, teror dan penganiayaan secara fisik biasa dilakukan oleh rakyat pribumi "kebanyakan." Maka penekanan dan teror secara mental lewat berbagai media dilakukan oleh sebagian pribumi yang mengaku dirinya sebagai kaum intelektual yang sayangnya cara berpikirnya jauh dari pikiran intelektual. Salah satu contohnya adalah orang yang bernama dan bergelar Dr. Arief Nasution MA. Sayangnya cara berpikirnya juga tidak arief. Pernyataan-pernyataan berbau anti Cina dari berbagai pihak itu tidak bisa dikatakan berasal dari kalangan ekonomi lemah, seperti Arief Nasution ini. Kemudian dari konglomerat Probosutedjo, Gubernur DKI Sutiyoso, Jenderal Feisal Tanjung, Gus Dur, anggota MPR Usman Lubis, Gubernur Sulsel Z.B. Palaguna (pernah berkomentar bahwa kerusuhan anti Cina di Ujung Pandang September 1997 merupakan solidaritas spontan-simpatik masyarakat) dan lain-lain. Membuktikan bahwa teori kesenjangan sosial bukan merupakan inti penyebab dari kerusuhan demi kerusuhan anti Cina seperti yang biasanya dikemukakan beberapa pakar. Seperti yang pernah saya katakan di manakah di dunia ini yang tidak ada kesenjangan sosial? Dalam satu keluarga pun ada kesenjangan sosial. Yang terpenting di sini adalah tingkat moralitas dan wawasan berpikir seseorang dalam menghadapi keberhasilan orang atau pihak lain. Dalam pikiran seseorang yang kalah dalam persaingan, atau melihat orang lain lebih sukses daripadanya timbulnya rasa cemburu mungkin merupakan sesuatu yang alamiah. Tetapi orang tersebut adalah orang yang bijaksana jika bisa menggunakan sisi positif dari rasa cemburu itu. Yakni mengakui kelebihan orang lain itu dan/atau mau belajar dari orang tersebut. Atau bertekad bersaing secara jujur untuk bisa menyamai atau melebihinya. Bukan sebaliknya, menuruti nafsu jahat dari rasa cemburu itu untuk menyudutkan, atau menjatuhkan orang tersebut dengan menghalalkan berbagai cara. Entah mengapa pula di tengah-tengah suasana seperti ini Harian Waspada begitu rajin menurunkan artikel-artikel yang berbau rasialis semacam ini. Bahkan acara seminar yang memunculkan pernyataan Arief Nasution yang rasialis ini diselenggarakan oleh Waspada. Apakah koran ini juga diam-diam sebagai media "pendukung" anti Cina? Saya tidak tahu. Karena saya belum lama menyimak koran ini. Tetapi media yang mempunyai semangat anti Cina bukannya tidak ada. Sebagai contoh mungkin bisa kita curigai majalah Forum Keadilan. Dalam sebuah surat pembaca, Redaksi Forum pernah ditanyakan mengenai hal ini. Si penulis surat pembaca bertanya, mengapa Forum setiap kali menulis artikel tentang berbagai kejahatan di mana WNIKC terlibat, atau sebagai pelakunya. Tidak cukup menulis nama pelaku saja. Tetapi selalu ada embel-embelnya: "Warga Negara Keturunan Cina." Jawaban dari Redaksi itu dimaksud sebagai keterangan saja. Sebuah jawaban yang menurut saya asal jawab saja. Sekenanya saja. Untuk apa ras pelaku ikut disebut-sebutkan? Untuk keterangan? Apa keterangan semacam itu begitu penting sampai terus diulang-ulang? Kalau memang sebagai keterangan saja, mengapa kalau WNIKC yang berprestasi tidak diembel-embel dengan kalimat: "Warga Negara Keturunan Cina" juga? Seperti yang ditanya juga dalam surat pembaca itu, yang tidak dijawab Forum. Saya juga mempunyai sebuah contoh untuk majalah Forum.
Sewaktu bank Danamon ramai-ramai terkena rush. Sempat beredar
isu bahwa pemilik bank swasta itu, Usman Admadjaja, seorang WNIKC,
melarikan diri ke luar negeri. Isu tersebut sempat santer diberitakan
di televisi. Tetapi beberapa hari kemudian di-clear-kan bahwa
tidak benar Usman melarikan diri. Saya menilai selama ini baru ada satu majalah yang bisa berpikir obyektif dalam menilai masalah SARA di Indonesia ini, yakni majalah D&R. Dalam sebuah artikel Perspektif-nya tentang kerusuhan anti Cina di Medan (D&R No. 39, Mei 1998).
Kembali kepada artikel berita Harian Waspada : Ataukah mungkin orang Indonesia itu sering berpikir tidak rasional? Coba saja, dalam kasus Mobil Timor yang kontroversial. Kok bisa-bisanya mau menantang frontal seluruh negara industri mobil yang sudah maju dan merajai dunia permobilan (Jepang, AS, dan negara-negara Eropa) di WTO. Memperindag, Tunky Ariwibowo, bahkan sempat dengan pongahnya mengatakan Indonesia punya Kartu As untuk mengalahkan mereka. Ternyata apa yang dimaksud dengan kartu As itu, adalah kartu dalam arti sebenarnya. Maksud saya dengan mudah disobek.
Arief Nasution yang katanya juga dosen di perguruan tinggi di
Malaysia, mengatakan bahwa terbukti Malaysia yang melakukan politik
minoritas itu berhasil mengangkat kaum pribumi menguasai ekonominya.
Pada tahun 1970 pemilikan perusahaan di Malaysia adalah sebagai berikut :
Memang pada tahun 1971 s.d. 1991 Malaysia sempat memberlakukan
Kebijakan Ekonomi Baru (New Economic Policy) yang rasialis, yakni
melarang warga negara Malaysia Keturunan Cina untuk berusaha di
sektor strategis semacam perbankan, jasa keuangan, telekomunikasi,
dan transportasi. Dengan kebijakan baru ini terbukti Malaysia berangsur-angsur keluar dari krisis ekonominya meninggalkan Indonesia sendirian yang semakin terpuruk. Keberhasilan Daim itu antara lain juga karena komitmennya yang begitu tinggi untuk tidak menganakemaskan pengusaha pribumi. Sekalipun itu temannya. Misalnya seorang bankir Alex Lee, dan Syed Kechik, seorang pengusaha besar dari Sabah. Daim berprinsip: "Kalau Engkau menolong mereka, maka mereka tidak pernah belajar!". Malaysia bisa maju dan bisa cepat keluar dari krisis (tanpa bantuan IMF lagi!) berkat persatuan antara sesama warga negaranya, terutama pribumi dan nonpribuminya (khususnya Keturunan Cina). Hak-hak semua warga negara, tanpa kecuali benar-benar dihormati dan sama di semua bidang. Bukan seperti di Indonesia yang elok di teori saja. Yang terpenting lagi pemerintahnya yang relatif bersih dan dipercaya rakyatnya. Seorang teman saya pernah bercerita ketika dia naik Taksi di Kuala Lumpur. Sopir taksi bertanya dia berasal dari mana. Ketika dijawab dari Indonesia, si sopir bilang betapa bodohnya orang Indonesia memusuhi orang Keturunan Cina! Pantas tidak pernah bisa maju!.
Saya sangat meragukan pernyataan Arief baru di AS dan negara-negara
Eropa juga menerapkan UU Diskriminasi terhadap ras kuning dalam
dunia usahanya. Yang rasanya lebih tepat adalah karena orang Eropa,
atau AS sendiri punya otak, punyak kemauan dan punya kemampuan
untuk bersaing dengan Keturunan Cina di sana. Sehingga mereka
bukannya mengimbangi, tetapi melebihi kemampuan Keturunan Cina
di negara mereka masing-masing. Di AS meskipun tidak sangat menonjol peranan Keturunan Cinanya tidak bisa dipandang sebelah mata. Industri komputer WANG misalnya, pemiliknya adalah Orang Cina. Ada juga Jerry Yang sebagai salah satu pendiri dan pemilik Yahoo! yang sangat dikenal penggemar internet sedunia. Ada juga Feng Hsiung Hsu sebagai pencipta Komputer Catur: Deep Blue, yang dipakai untuk melawan dan berhasil mengalahkan Garry Kasparov, Chung Jen Tan (Senior Manager dari IBM Deep Blue Development), Lee Yuan Tseh (Penerima Nobel 1996 di bidang Kimia), Steven Chu (Penerima Nobel 1997 di bidang Fisika), Chay-Lin Tien (Chancellor of the University of California di Berkeley), We Shyy (professor & Chairman of Mechanical Engineering University of Florida), dan lain-lain. Menyadari potensi pasar Hollywood pun meraih para selebritis Keturunan Cina untuk ikut membesarkan industri filmnya dan terbukti sukses besar. Sebut saja sutradara semacam John Woo, Stanley Tong, Terence Chang, dan Tsui Hark, atau aktor semacam Bruce Lee, Chow Yun-Fat (sempat menjadi cover story majalah Time), Michelle Yeoh (pasangan James Bond dalam "Tomorrow Never Dies"), Jacky Chen, Joan Chen, Jet Li, dan lain-lain. Ini 'kan namanya bukan takut "bahaya kuning", tetapi sebaliknya "memanfaatkan" potensi kuning!.
Pemerintah Muang Thai malah sempat merayu WNIKC untuk pindah ke
negaranya guna berinvestasi. Saya juga melihat ada yang tidak logis dari pernyataan Arief yang berkata bahwa Singapore juga menganut paham yang berbau rasialis semacam itu. Yakni pada komposisi pemukiman seperti yang disebut di atas. Padahal kita semua tahu mayoritas orang-orang pemerintah Singapore adalah Keturunan Cina. Juga penduduknya mayoritas keturunan Cina (75 persen). Bagaimana bisa negara ini disebut juga "takut ras kuning."?. Selain itu siapa yang bilang bahwa di Indonesia berlaku semacam ketentuan bahwa suatu pemukiman semua terdiri dari WNIKC? Sampai detik ini tidak pernah ada larangan orang pribumi untuk tinggal di pemukiman yang mayoritas WNIKC, atau sebaliknya. Semuanya itu terjadi secara spontan saja. Mengadakan kewajiban perbandingan komposisi ras dalam suatu pemukiman penduduk terlalu mengada-ada dan sangat sulit dilakukan. Masalah tempat tinggal 'kan masalah selera juga. Masa Anda mau mengatur: orang ini harus tinggal di sini, atau orang itu harus tinggal di sana. Lain halnya kalau Anda berbicara tentang perbandingan kelas rumah. Misalnya rumah mewah:menengah:sederhana. Tentang pernyataan Arief diawal tulisan bahwa keamanan pun bisa diperjualbelikan oleh WNIKC dengan aparat keamanan (yang dinilainya sebagai "bahaya kuning" -- maksudnya tentu "main beking"). Saya tidak tahu berdasar apa kesimpulan ini diambil. Yang jelas kesimpulan ini juga sebagai pernyataan yang merendahkan aparat.
Kesimpulan tersebut terlalu naif. Memangnya sudah didata berapa
orang WNIKC di Indonesia yang berperilaku seperti yang digambarkan
itu? Memangnya WNIKC pasti atau semua, atau rata-rata berperilaku
demikian? Ironis sekali seorang doktor dan Master, sekaligus dosen
dan dekan sebuah perguruan tinggi bisa berpikiran dangkal dengan
cara menggeneralisasi semacam ini.
Seorang Walikota, misalnya punya beking-beking aparat perwira.
Selain menggeneralisasi, Anda pun hanya melihat satu sisi saja.
Kenapa Anda juga tidak mengambil kesimpulan generalisasi bahwa
orang pribumi kalau menjadi aparat mentalnya bobrok (tukang beking)
seperti yang Anda katakan sendiri. Kalau jadi hakim, jaksa, polisi,
atau pejabat apa saja, orang pribumi itu suka bikin "Mafia
Peradilan", pasti menjadi tukang terima suap, tukang korupsi,
tukang manipulasi, kolusi, nepotisme, dan sebagainya? Kalau melihat
banyak penjahat pribumi, kenapa Anda tidak bilang pribumi adalah
orang-orang jahat? Orang-orang pribumi punya perilaku sebagai penjarah?
Dan sebagainya.
Saya berkali-kali berkata: Nilailah orang itu dari perbuatannya
masing-masing. Bukan dari ras, atau dari mana dia berasal!. |
Copyright © 1998 INDO CHAOS All rights reserved. |