Balada Kambing Hitam Kerusuhan.
Opini Pembaca dari Kompas Senin, 1 Juni 1998
Oleh: Anton Medan
Dalam pernyataan tersebut tertera tanda tangan penulisnya.
Apakah arti dari semua itu? Nyata sekali bahwa di tengah-tengah
masyarakat kita yang majemuk ini memang benar-benar ada pihak-pihak
tertentu yang berpaham rasialis. Khususnya terhadap etnik keturunan
Cina.
Bagaimana memahami sikap tersebut? Rasanya sulit sekali. Bahkan
untuk mencoba melihatnya secara subyektif pun, sangat sulit untuk
bisa menemukan pembenarannya.
Lalu saya berpikir, apakah saya, misalnya, termasuk dalam daftar
yang harus diusir dari Indonesia seperti yang dinyatakan oleh
oknum yang menamakan dirinya sebagai demonstran anti-Cina itu?
Kulit saya kuning, mata saya sipit, dan nama asli saya Tan Hok
Liang. Tidak cukupkah itu sebagai alasan untuk menggolongkan saya
sebagai keturunan Cina, dan lalu mengusirnya dari negeri yang
saya cintai ini?
Sayang sekali saya tidak mungkin bisa bertemu langsung dengan
oknum penyebar permusuhan dan paham rasialisme tersebut. Jika
saja saya berkesempatan bertemu, pertama-tama yang ingin saya
ketahui adalah, sudah sejauh manakah ia berbuat untuk negara dan
bangsa ini. Sudahkah ia memberdayakan pengangguran, barang seorang
pun, misalnya dengan mengembangkan potensinya atau mempekerjakannya
sebagai pegawainya? Atau jangan-jangan justru dengan cara menghasut
mereka untuk melakukan penjarahan-penjarahan. Atau barangkali
ia adalah orang yang sangat lemah, yang hanya bisa menyalahkan
orang lain. Kalau tidak, ya itu tadi, ia memang benar-benar rasialis
sebagaimana Hitler dan Yahudi.
Namun sudahlah, terlalu pelik untuk coba berandai-andai soal itu.
Lebih baik tidak usah berprasangka buruk. Barangkali dengan begitu
bisa menemukan cara pandang yang lebih proporsional. Taruh kata
oknum yang menamakan dirinya seorang demonstran anti-Cina termaksud
adalah seorang reformer sejati. Oleh karena itu kita boleh menganggap
bahwa ia menghendaki adanya perubahan dalam kehidupan ini berkaitan
dengan keberadaan keturunan Cina di Indonesia.
Kalau betul begitu, berarti dia kawan kita. Barangkali dia sudah
frustrasi melihat keadaan yang selama ini. Atau bahkan lebih parah
lagi daripada frustrasi. Sebab dalam kenyataan memang banyak oknum
pengusaha keturunan Cina yang menjadi mitra sangat andal dalam
praktek-praktek kolusi dan korupsi yang sangat melukai hati nurani
setiap insan yang masih memiliki sisa rasa keadilan barang sedikit
pun.
Namun begitu, masalah rasialisme tetap tidak bisa dibenarkan.
Tidak ada seorang anak manusia pun yang bisa memilih untuk dilahirkan
sebagai anak Cina, anak Jawa, anak Batak, anak Belanda, anak setan,
anak buaya, tidak bisa. Lalu kenapa mereka harus menanggung beban
yang begitu berat?
Kita sudah lebih dari 50 tahun merdeka. Sudah banyak pengalaman
menangani persoalan-persoalan, termasuk menginventarisasi persoalan-persoalan
selama masa penjajahan, dan masa-masa jauh sebelumnya.
***
ZAMAN Sriwijaya banyak pemuda Cina yang belajar di "Indonesia",
dan tentu tidak sedikit pula yang menetap dan beranak pinak di
sini, hingga sekarang keturunannya (sudah barang tentu) bisa menyebut
dirinya sebagai pribumi. Raden Patah adalah seorang tokoh pembuat
sejarah anak Raja Majapahit Brawijaya V, ibunya Cina, dan dia
menjadi raja Islam pertama di Jawa. Tahun 1740 terjadi pemberontakan
Cina di Batavia (Jakarta) terhadap Belanda, banyak Cina dibantai
oleh Belanda, dan Cina-Cina dari Jakarta itu melarikan diri ke
Keraton Mataram di Kartasura, melanjutkan perjuangan bahu-membahu
dengan pejuang-pejuang Jawa.
Kemudian pada kurun abad selanjutnya muncul orang seperti Oei
Tiong Ham. Cina pendatang penyelundup candu yang jadi kaya-raya
dan punya pabrik gula di mana-mana serta perusahaan-perusahaan
besar lainnya, yang punya prinsip bahwa "bagaimana pun tebalnya
pintu besi tetap akan tembus oleh peluru emas." Ia jawara
dalam soal suap menyuap dan kolusi dengan pejabat-pejabat, bahkan
pejabat-pejabat Belanda yang notabene bergaji sangat tinggi dan
kaya-kaya.
Dari perjalanan yang panjang itu jelas, sebenarnya ada pokok-pokok
persoalan yang bisa dijadikan pegangan untuk penanganan lebih
lanjut.
Sebelum zaman kolonialisme, berkaitan dengan orang-orang Cina
di Indonesia tidak ada masalah. Pada zaman Belanda, pemerintah
kolonial sangat takut bila terjadi persatuan antara orang-orang
Cina dengan pribumi. Terlebih lagi bila kekuatan Cina berpadu
dengan kekuatan Islam.
Pada zaman Orde Lama - untuk sementara biarlah disebut begitu
orang-orang Cina punya partai sendiri, punya sekolah-sekolah khusus
sendiri, ada yang minta dianggap sebagai suku tersendiri, bahkan
masalah kewarganegaraan bagi mereka pun belum bisa dituntaskan
sehingga berakibat banyak orang Cina harus pergi dari Indonesia.
Kemudian pada zaman Orde Baru - untuk sementara biarlah disebut
begitu - banyak oknum yang
keturunan Cina yang memperoleh peluang leluasa untuk mempraktekkan
prinsip Oei Tiong Ham, berkomplot dengan oknum-oknum pejabat melakukan
gerakan nepotisme, kolusi dan korupsi, sehingga menimbulkan kecemburuan
sosial di mana-mana.
Lalu bagaimana pada zaman Orde Reformasi? Inilah yang harus kita
pikirkan bersama. Semangat reformasi telah menjadi daya hidup
tersendiri bagi seluruh lapisan masyarakat dan golongan di negeri
ini. Tidak terkecuali orang-orang keturunan Cina. Setahu saya,
pada umumnya mereka sama saja dengan kita, yaitu memiliki hati
nurani dan memiliki kepekaan sosial secara proporsional.
Sangat banyak yang merasa sangat canggung disebut orang Cina karena
mereka sudah merasa sebagai pribumi. Apakah mereka tidak bisa
diajak mengikuti irama reformasi? Bisa! Mereka pun selama ini
merasakan kecemburuan dengan oknum-oknum keturunan yang kita maksudkan
di atas tadi.
Jadi, untuk selanjutnya, pengembangan perekonomian harus benar-benar
berorientasi kerakyatan, sementara kesempatan seluruh bidang profesi
terbuka bagi seluruh rakyat tanpa kecuali. Dan orang yang keturunan
Cina secara fair adalah bagian tak terpisahkan dari rakyat itu,
bebas aktif dalam berbagai bidang, dan karena itu tidak boleh
mendirikan partai tersendiri.
Jadi jelas sekali, pangkal dari segala pemecahan masalah sebenarnya
adalah tegaknya aparatur yang bersih dan berwibawa.
(*Anton Medan, koordinator Keluarga Besar Pribumi Keturunan Cina.) |