Balada Kambing Hitam Kerusuhan.

Opini Pembaca dari Kompas Senin, 1 Juni 1998

Oleh: Anton Medan
BEBERAPA hari sebelum terjadi kerusuhan di Jakarta 13 dan 14 Mei 1998, di sebuah meja tukang dagang yang sedang tidak terpakai di stasiun kereta api Pasarminggu, terselip sebuah kertas putih sebesar kartu nama, dan bertuliskan: "Jika perjuangan mahasiswa ingin direstui, usirlah Cina dari negeri ini - Demonstrasi Anti Cina."

Dalam pernyataan tersebut tertera tanda tangan penulisnya.

Apakah arti dari semua itu? Nyata sekali bahwa di tengah-tengah masyarakat kita yang majemuk ini memang benar-benar ada pihak-pihak tertentu yang berpaham rasialis. Khususnya terhadap etnik keturunan Cina.

Bagaimana memahami sikap tersebut? Rasanya sulit sekali. Bahkan untuk mencoba melihatnya secara subyektif pun, sangat sulit untuk bisa menemukan pembenarannya.

Lalu saya berpikir, apakah saya, misalnya, termasuk dalam daftar yang harus diusir dari Indonesia seperti yang dinyatakan oleh oknum yang menamakan dirinya sebagai demonstran anti-Cina itu? Kulit saya kuning, mata saya sipit, dan nama asli saya Tan Hok Liang. Tidak cukupkah itu sebagai alasan untuk menggolongkan saya sebagai keturunan Cina, dan lalu mengusirnya dari negeri yang saya cintai ini?

Sayang sekali saya tidak mungkin bisa bertemu langsung dengan oknum penyebar permusuhan dan paham rasialisme tersebut. Jika saja saya berkesempatan bertemu, pertama-tama yang ingin saya ketahui adalah, sudah sejauh manakah ia berbuat untuk negara dan bangsa ini. Sudahkah ia memberdayakan pengangguran, barang seorang pun, misalnya dengan mengembangkan potensinya atau mempekerjakannya sebagai pegawainya? Atau jangan-jangan justru dengan cara menghasut mereka untuk melakukan penjarahan-penjarahan. Atau barangkali ia adalah orang yang sangat lemah, yang hanya bisa menyalahkan orang lain. Kalau tidak, ya itu tadi, ia memang benar-benar rasialis sebagaimana Hitler dan Yahudi.

Namun sudahlah, terlalu pelik untuk coba berandai-andai soal itu. Lebih baik tidak usah berprasangka buruk. Barangkali dengan begitu bisa menemukan cara pandang yang lebih proporsional. Taruh kata oknum yang menamakan dirinya seorang demonstran anti-Cina termaksud adalah seorang reformer sejati. Oleh karena itu kita boleh menganggap bahwa ia menghendaki adanya perubahan dalam kehidupan ini berkaitan dengan keberadaan keturunan Cina di Indonesia.

Kalau betul begitu, berarti dia kawan kita. Barangkali dia sudah frustrasi melihat keadaan yang selama ini. Atau bahkan lebih parah lagi daripada frustrasi. Sebab dalam kenyataan memang banyak oknum pengusaha keturunan Cina yang menjadi mitra sangat andal dalam praktek-praktek kolusi dan korupsi yang sangat melukai hati nurani setiap insan yang masih memiliki sisa rasa keadilan barang sedikit pun.

Namun begitu, masalah rasialisme tetap tidak bisa dibenarkan. Tidak ada seorang anak manusia pun yang bisa memilih untuk dilahirkan sebagai anak Cina, anak Jawa, anak Batak, anak Belanda, anak setan, anak buaya, tidak bisa. Lalu kenapa mereka harus menanggung beban yang begitu berat?

Kita sudah lebih dari 50 tahun merdeka. Sudah banyak pengalaman menangani persoalan-persoalan, termasuk menginventarisasi persoalan-persoalan selama masa penjajahan, dan masa-masa jauh sebelumnya.

***

ZAMAN Sriwijaya banyak pemuda Cina yang belajar di "Indonesia", dan tentu tidak sedikit pula yang menetap dan beranak pinak di sini, hingga sekarang keturunannya (sudah barang tentu) bisa menyebut dirinya sebagai pribumi. Raden Patah adalah seorang tokoh pembuat sejarah anak Raja Majapahit Brawijaya V, ibunya Cina, dan dia menjadi raja Islam pertama di Jawa. Tahun 1740 terjadi pemberontakan Cina di Batavia (Jakarta) terhadap Belanda, banyak Cina dibantai oleh Belanda, dan Cina-Cina dari Jakarta itu melarikan diri ke Keraton Mataram di Kartasura, melanjutkan perjuangan bahu-membahu dengan pejuang-pejuang Jawa.

Kemudian pada kurun abad selanjutnya muncul orang seperti Oei Tiong Ham. Cina pendatang penyelundup candu yang jadi kaya-raya dan punya pabrik gula di mana-mana serta perusahaan-perusahaan besar lainnya, yang punya prinsip bahwa "bagaimana pun tebalnya pintu besi tetap akan tembus oleh peluru emas." Ia jawara dalam soal suap menyuap dan kolusi dengan pejabat-pejabat, bahkan pejabat-pejabat Belanda yang notabene bergaji sangat tinggi dan kaya-kaya.

Dari perjalanan yang panjang itu jelas, sebenarnya ada pokok-pokok persoalan yang bisa dijadikan pegangan untuk penanganan lebih lanjut.

Sebelum zaman kolonialisme, berkaitan dengan orang-orang Cina di Indonesia tidak ada masalah. Pada zaman Belanda, pemerintah kolonial sangat takut bila terjadi persatuan antara orang-orang Cina dengan pribumi. Terlebih lagi bila kekuatan Cina berpadu dengan kekuatan Islam.

Pada zaman Orde Lama - untuk sementara biarlah disebut begitu orang-orang Cina punya partai sendiri, punya sekolah-sekolah khusus sendiri, ada yang minta dianggap sebagai suku tersendiri, bahkan masalah kewarganegaraan bagi mereka pun belum bisa dituntaskan sehingga berakibat banyak orang Cina harus pergi dari Indonesia. Kemudian pada zaman Orde Baru - untuk sementara biarlah disebut begitu - banyak oknum yang

keturunan Cina yang memperoleh peluang leluasa untuk mempraktekkan prinsip Oei Tiong Ham, berkomplot dengan oknum-oknum pejabat melakukan gerakan nepotisme, kolusi dan korupsi, sehingga menimbulkan kecemburuan sosial di mana-mana.

Lalu bagaimana pada zaman Orde Reformasi? Inilah yang harus kita pikirkan bersama. Semangat reformasi telah menjadi daya hidup tersendiri bagi seluruh lapisan masyarakat dan golongan di negeri ini. Tidak terkecuali orang-orang keturunan Cina. Setahu saya, pada umumnya mereka sama saja dengan kita, yaitu memiliki hati nurani dan memiliki kepekaan sosial secara proporsional.

Sangat banyak yang merasa sangat canggung disebut orang Cina karena mereka sudah merasa sebagai pribumi. Apakah mereka tidak bisa diajak mengikuti irama reformasi? Bisa! Mereka pun selama ini merasakan kecemburuan dengan oknum-oknum keturunan yang kita maksudkan di atas tadi.

Jadi, untuk selanjutnya, pengembangan perekonomian harus benar-benar berorientasi kerakyatan, sementara kesempatan seluruh bidang profesi terbuka bagi seluruh rakyat tanpa kecuali. Dan orang yang keturunan Cina secara fair adalah bagian tak terpisahkan dari rakyat itu, bebas aktif dalam berbagai bidang, dan karena itu tidak boleh mendirikan partai tersendiri.

Jadi jelas sekali, pangkal dari segala pemecahan masalah sebenarnya adalah tegaknya aparatur yang bersih dan berwibawa.

(*Anton Medan, koordinator Keluarga Besar Pribumi Keturunan Cina.)

BACK


© 1998 INDOCHAOS TEAM ™ All Rights Reserved.