ANTI-CINA: OBAT MUJARAB ATAU JALAN SESAT.

Politik rasial dikibarkan. Beda dengan Malaysia, kampanye ini terbentur korupsi dan nepotisme keluarga Cendana sendiri. Lebih baik naik sepeda di Jalan Thamrin, ketimbang selamanya dikuasai Cina," kata seorang aktifis muda ICMI. Tokoh yang sering disebut

sebagai intelektual muda itu, dengan berapi-api mengatakan kalau pengusaha Cina, dalam krisis ekonomi kali ini, mau pergi meninggalkan Indonesia dan membawa uangnya, biarkan saja. Ia rela bersusah-payah, misalnya naik sepeda ke kantornya di Thamrin, asalkan orang Cina diusir.

Terdengar gagah, tapi agaknya kurang meyakinkan. Mungkin itu memang sekedar slogan. Tetapi, ketika resep anti-Cina dikobarkan untuk mengatasi krisis ekonomi, bukan tak ada yang tertarik. Lihat saja demonstrasi di gedung CSIS dua hari berturut-turut, pekan lalu. Anak-anak muda itu mengusung poster bernada memusuhi golongan Cina.

"Bubarkan CSIS". "Hukum Sofyan Wanandi."

Lebih jelas, dalam selebaran yang mereka bagikan ke kantong- kantong organisasi Islam. Bunyinya antara lain: "Akhirnya menjadi jelas. Siapa biang keladi krisis ekonomi. Sofyan Wanandi dan golongannya."

Sebuah sumber menyebutkan, Eggy Sudjana, aktifis CIDES - organ ICMI yang dipimpin Habibie - aktif menggerakkan demonstrasi anti CSIS itu. CSIS dan Sofyan Wanandi, tentunya bukan sekedar lembaga dan pribadi, tetapi mereka dipilih untuk simbolisasi Cina sebagai lawan kelompok ini. Eggy mengerahkan massa HMI-MPO untuk demonstrasi itu, disamping massa KISDI dari Tangerang.

Politik anti Cina itu, dipercaya berawal dari gagasan Mayjen Prabowo, yang kurang suka dengan respon para konglomerat Cina dalam menghadapi krisis mone- ter. Khabarnya,

Prabowo pernah bertemu Sofyan Wanandi - juru bicara konglomerat Cina - untuk mengajak partisipasi dalam gerakan cinta rupiah. Sofyan, seperti dikutip banyak media massa, menolak menjual dolarnya. Ia bahkan mengatakan kepada Prabowo, "Bila Pak Harto terus maju dalam pencalonan presiden, dan Habibie Wapres dolar akan menembus angka Rp 20.000."

Prabowo, konon, terinspirasi pengalaman Malaysia, yang berhasil mengangkat pengusaha pribumi. "Prabowo mengaku belajar dari Mahatir," kata seorang pemimpin redaksi. Yang tak dipelajari Danjen Kopassus itu dari Malaysia, pertama, adalah jenis pemerintahan yang amat berbeda dengan rezim Orde Baru. Birokrasi Malaysia dikenal sangat bersih dari korupsi, sehingga politik diskriminasi yang mereka terapkan bisa berjalan konsisten. Sedangkan birokrasi Orde Baru, oleh salah seorang arsiteknya, Profesor Soemitro Djojohadikusumo, yang kebetulan ayah Prabowo, dikatakan punya tingkat kebocoran minimal 30%. Birokrasi semacam ini akan lunak menerapkan setiap kebijakan, dan membuat politik diskriminasi itu, tidak akan berhasil. Paling-paling akan menumbuhkan pengusaha Ali-Baba, seperti di masa Orla.

Kedua, politik diskriminasi itu, hanya akan mengaburkan masalah. Malaysia menerapkan diskriminasi untuk membantu pribumi, setelah kerusuhan anti Cina pada 1969 itu, didasari kenyataan: bahwa waktu itu memang tidak ada pengusaha pribumi Malaysia yang berhasil.

Saat ini di Indonesia, selain konglomerat Cina, juga telah tumbuh konglomerat istana, terutama keluarga presiden, yang asetnya diperkirakan justru melebihi kekayaan konglomerat Cina. Politik anti Cina, kalau pun berhasil, ia hanya akan memangkas konglomerat Cina sambil makin menggemukkan konglomerat pribumi yang dekat dengan keluarga Cendana.

"Nasib mayoritas pribumi tidak akan lebih baik," tutur seorang ekonom. Manuver

Habibie-Prabowo, mungkin akan mendapat sambutan dari sebagian kalangan muda. Tetapi, bila skenario mereka dijalankan, yang makin makmur adalah keluarga Cendana. Bukan rakyat keseluruhan.(*)

BACK


© 1998 INDOCHAOS TEAM ™ All Rights Reserved.