Refleksi Akhir Tahun 1998
January 01, 1999

Solidaritas Nusa Bangsa

Tinjauan Umum

Tahun 1998 adalah tahun krisis. Tahun ini diwarnai dengan berbagai gejolak ekonomi-sosial-politik yang melahirkan beberapa peristiwa yang paling penting dalam sejarah negeri ini. Peristiwa-peristiwa yang tidak pernah terbayang akan terjadi bahkan setahun sebelumnya.

Krisis ekonomi yang sebelumnya tidak terbayangkan akan terjadi di negeri ini telah menghan-curkan semua jargon-jargon “pembangunan” yang didengung-dengungkan oleh pemerintahan Orde Baru. Krisis ini demikian parah sehingga sampai akhir tahun 1998 inipun krisis belum lagi berakhir. Krisis ini, sekalipun disangkal mati-matian oleh pihak pemerintah, jelas menunjukkan betapa keropos-nya struktur ekonomi yang dibangun oleh Suharto bersama dengan para kroninya –baik yang sipil maupun yang militer.

Krisis ekonomi yang berkepanjangan ini pada akhirnya melahirkan satu krisis politik. Tentu, krisis di sini bukan dalam arti yang melulu negatif. Krisis ini justru lahir sebagai resistensi terhadap si-kap keras kepala pemerintah yang tetap tidak mau berubah, bahkan setelah semua argumennya ten-tang asal mula krisis ini dipatahkan oleh kenyataan-kenyataan. Bahkan, krisis politik ini diperparah dengan sikap arogan dari pemerintah sendiri yang pada gilirannya melahirkan tindakan-tindakan rep-resif yang luar biasa. Penculikan aktivis pro-demokrasi, pemukulan terhadap aksi-aksi mahasiswa, pembunuhan empat mahasiswa Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998, bahkan memuncak pada pem-bantaian 12 mahasiswa dan pemuda di Semanggi akibat penolakan para mahasiswa dan pemuda ter-hadap Sidang Istimewa 1998. Kita akhirnya harus mengakui bahwa kombinasi tekanan antara krisis ekonomi, aksi-aksi ma-hasiswa yang terus datang bergelombang, dan ditambah lagi dengan amuk-massa di berbagai tempat – yang merupakan produk Orde Baru - telah memaksa Suharto untuk meletakkan jabatannya sebagai presiden. Langkah ini terpaksa diambilnya sebagai satu konsesi untuk menahan sejenak laju tuntutan perubahan yang semakin lama semakin keras.

Segera setelah menduduki kursi kepresidenan, Habibie mengeluarkan banyak janji-janji ten-tang perubahan. Beberapa yang cukup penting adalah janji untuk sesegera mungkin menghapuskan berbagai peraturan dan perundang-undangan yang bersifat represif dari jaman kekuasaan Suharto, seperti: UU Anti Subversif, UU yang mengebiri kebebasan pers, kelima UU Politik, dan pembebasan tapol/napol. Pun, janji pemerintah untuk sesegera mungkin meratifikasi konvensi PBB tahun 1966 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras, dan membentuk UU Anti Diskriminasi Ras.

Namun, sampai hari ini, baru sedikit sekali dari janji itu yang terpenuhi. Kabinet yang dibentu-knya segera setelah menjadi presidenpun terdiri dari banyak orang-orang lama, yang telah melakukan banyak kesalahan struktural semasa Suharto memerintah. Berbagai sistem perundangan represif yang dijanjikannya untuk dicabutpun masih berlaku efektif, sekalipun tidak (jarang) dipergunakan lagi.

Janji Habibie untuk segera memulihkan kondisi ekonomi juga belum dapat dipenuhinya. Harga-harga tetap melambung tinggi. Kelumpuhan ekonomi yang, sesungguhnya, justru diperparah oleh kesetujuan Habibie untuk menerima program restrukturisasi IMF yang berakibat banyak buruh harus di-PHK dari perusahaannya.

Hal ini mengakibatkan aktivitas resistensi berlangsung terus. Masih ada pula masalah men-genai legitimasi Habibie untuk menggantikan Suharto sebagai presiden. Kedua hal inilah yang mem-buat resistensi gerakan mahasiswa tetap menggelora. Sekalipun skalanya tidak seluas (nasional) seperti yang terjadi menjelang bulan Mei 1998, aksi-aksi mahasiswa di Jakarta justru semakin marak. Apa yang terjadi pada tanggal 9-14 November 1998 telah menunjukkan beberapa kualitas baru dalam sejarah resistensi rakyat Indonesia terhadap otoriterianisme Orde Baru. Sebuah estimasi menyatakan bahwa 800 ribu sampai 1 juta orang tumpah di jalan untuk memprotes pelaksanaan Sidang Istimewa MPR. Satu tindakan represif dipilih oleh pemerintahan Habibie untuk menghadang laju aspirasi massa itu yaitu dengan menjatuhkan kembali martir-martir pengharum tanah negeri ini.

Satu hal yang sangat mencolok terjadi sepanjang tahun 1998 ini adalah demikian banyaknya kasus kerusuhan yang diwarnai sentimen diskriminasi, terutama yang menyangkut SARA. Kerusuhan 13-15 Mei, misalnya, yang sampai sekarang masih diliputi kabut tebal penuh misteri. Begitu juga kerusuhan di Medan, Solo, Bagan Siapi-api, Kebumen, yang semuanya sarat dengan sentimen SARA. Belakangan, malah terjadi kerusuhan-kerusuhan yang skalanya lebih kecil tapi terjadi di berbagai tem-pat yang lebih luas, dimulai dari Ketapang, Kupang, Jawa Barat, Bekasi, Aceh, dan baru-baru ini Poso yang bersimbah darah, dan banyak lagi yang sulit dideteksi. Kami sangat perihatin bahwa hal-hal ini perlu terjadi.

Tinjauan Khusus

Sebagai lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang penghapusan diskriminasi ra-sial, terjadinya kerusuhan-kerusuhan yang bernuansa rasial jelas merupakan keprihatinan kami yang terutama.

Kerusuhan-kerusuhan ini sangat merugikan karena menjadikan suatu masyarakat mencabik dirinya sendiri melalui konflik-konflik horisontal. Kalau saja kita ambil kerusuhan 13-14 Mei sebagai representasi yang paling memungkinkan dari berbagai kerusuhan yang terjadi sepanjang tahun 1998, kita akan sangat prihatin. Sekalipun kerusuhan ras di bulan Mei itu diarahkan kepada etnis Tionghoa, akan tetapi korban akibat kerusuhan itu tidak hanya memakan warga etnis Tionghoa melainkan juga warga dari etnis lainnya, yang nota bene Kaum Miskin Kota. Belum lagi trauma psikologis yang diderita masyarakat yang dengan semena-mena diberi cap “perusuh.” Satu cap yang sangat menyakitkan. Melihat kerusakan yang demikian besar yang dapat ditimbulkan oleh kerusuhan, mencegah terjadinya kerusuhan adalah salah satu kerja besar yang mendesak untuk dilakukan oleh segenap kekuatan yang berpihak pada rakyat.

Bagi kami, kejadian-kejadian itu adalah tanda yang nyata dari kemunduran yang dialami bangsa ini dari segi sosial-budaya dan politik. Kami telah mengidentifikasi lima faktor yang terutama memicu terjadinya kerusuhan-kerusuhan itu.

1. Terbiasanya rakyat dengan politik kekerasan yang telah berlangsung selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru. Ketika awal berdirinya, Suharto telah melakukan pertunjukan kekerasan yang luar biasa, yang menghabiskan nyawa dari sekurangnya lima ratus ribu rakyat Indonesia. Sejak itu, segala sektor rakyat telah mengalami sasaran kekerasan Orde Baru. Kaum komunis, Islam, nasionalis radikal, Sukarnois, Kristen, buruh, tani, mahasiswa, wartawan, kaum miskin kota, semua telah melalui pengalaman itu. Dari Aceh di ujung barat sampai Irian di ujung timur, seluruhnya telah merasakan tindakan kekerasan yang justru dilakukan oleh aparat keamanan itu sendiri. Melihat rentang waktu, jangkauan wilayah dan ragam sektor rakyat yang mengalami kekera-san itu, kita boleh mengambil kesimpulan bahwa kekerasan telah menjadi sesuatu yang terlem-baga dalam sistem politik kita. Demikian ekstensifnya kekerasan berlangsung di negeri ini, kita tak dapat lagi memikulkan kesalahan kepada “oknum-oknum” belaka. Sekurang-kurangnya, kita dapat menyatakan bahwa selama ini tidak pernah ada political will dari pihak pemerintah untuk menghentikan praktek-praktek kekerasan ini. Demikian terbiasanya rakyat melihat dan mengalami kekerasan menumbuhkan perspektif yang salah bahwa kekerasan adalah cara yang wajar untuk menyelesaikan masalah.

Tindakan kekerasan dalam politik ini merupakan akibat langsung dari terlibatnya pemegang senjata dalam politik. Watak senjata, yang memang merupakan alat untuk melakukan kekerasan, menular kepada pemegangnya. Perdebatan, yang merupakan hal yang wajar di bawah suasana yang demokratis, tidak akan berlangsung ketika salah satu pihak yang berdebat menggunakan senjata. Cara yang beradab untuk menyelesaikan masalah tidak akan pernah terwujud ketika senjata masih terlibat dalam pengambilan keputusan-keputusan terpenting di negeri ini.

2. Minimnya (bahkan tiadanya) pendidikan politik yang diterima oleh rakyat yang berakibat rakyat tidak memahami cara-cara berdemokrasi yang sepatutnya. Pendidikan politik sangat perlu, terutama, untuk membuat rakyat memahami cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah. Pendidikan politik inilah kunci untuk mematahkan budaya kekera-san yang dominan dalam masyarakat kita.

Justru pendidikan politik inilah yang tidak berlangsung selama tigapuluh dua tahun kekuasaan Orde Baru. Partai politik, yang merupakan alat paling efektif untuk melakukan pendidikan politik bagi rakyat, dibonsai sehingga tinggal menjadi pajangan yang indah tapi tidak berguna.

Ketika rakyat tidak memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk memecahkan masalahnya, mereka akan bersandar pada satu-satunya jalan yang mereka tahu. Dan jalan yang paling akrab dalam khasanah pengalaman mereka adalah jalan kekerasan. Kekerasan politik sudah menjadi budaya di masyarakat kita, yang lahir dari dominasi watak dari sistem politik yang tertutup dan anti demokrasi.

3. Tiadanya kepastian hukum di negeri ini yang mengakibatkan rakyat terbiasa dengan tinda-kan-tindakan yang melawan hukum. Rakyat sudah banyak melihat berbagai tindakan yang melawan hukum justru dilakukan oleh pejabat yang seharusnya merupakan teladan dalam penegakan hukum. Persoalan kolusi dalam sistem pengadilan kita sudah merupakan rahasia umum. Dari kasus Edi Tansil yang bernuansa ekonomi sampai berbagai kasus persidangan politik, rakyat melihat berbagai rekayasa untuk membengkokkan nilai-nilai kebenaran dengan menggunakan proses hukum.

Kondisi kepastian hukum yang kronis seperti ini membiasakan rakyat pada tindakan-tindakan pelanggaran hukum. Ini mengajarkan kepada rakyat bahwa hukum dapat dimanipulasi, dibeng-kokkan, atau dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Supermasi hukum sulit menjadi suatu kenyataan di dalam praktek kenegaraan dan kemasyarakatan. Supermasi hukum tampaknya hanya menjadi slogan-slogan indah di dalam buku pelajaran atau di ruang sekolah. Tiadanya kepastian hukum di negeri ini tentu menjadikan rakyat sadar bahwa hukum menjadi alat penguasa yang hanya menguntungkan kalangan penguasa ataupun pengusaha yang dekat dengan kekua-saan. Implikasi praktisnya, rakyat menjadi resisten dengan hukum yang ditawarkan oleh pemerin-tah, dan cenderung melawan hukum. Tindakan melawan hukum ini merupakan bentuk apresiasi politik rakyat terhadap pemerintah.

4. Terjadinya krisis ekonomi dan ketimpangan sosial yang berkepanjangan, yang menye-babkan rakyat terperosok dalam keputusasaan dan sikap mau mengambil jalan pintas da-lam mengatasi masalahnya. Pemerintahan Orde Baru selalu membanggakan peningkatan GNP Indonesia dari sekitar $55 di pertengahan tahun 60-an menjadi sekitar $600 di pertengahan 90-an. Namun, peningkatan pendapatan rata-rata perkapita ini menjadi tidak berarti ketika kita tahu bahwa hal itu tidak diikuti oleh peningkatan pemerataan pendapatan tersebut. Satu kenyataan yang menyesakkan ketika kita tahu bahwa 20 juta rakyat kita masih hidup di bawah garis kemiskinan (mengacu pada data BPS, sebelum krisis ekonomi 1997). Dan prediksi data penduduk di bawah garis kemiskinan meningkat hingga dua kali lipat: 40 juta jiwa. Ketimpan-gan yang luar biasa ini, ditambah dengan pameran kemewahan yang dilakukan oleh kaum berada, telah menimbulkan keputus-asaan sosial yang kronis. Tidak heran bila kita melihat berita di koran bahwa ada orang tua yang bunuh diri karena tidak sanggup lagi untuk memberi makan anaknya. Begitu juga dengan seorang ibu pingsan karena sudah tiga hari tidak menyentuh nasi. Rakyat yang putus asa akan mudah terpancing untuk mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan per-soalannya.

5. Hilangnya kontrol politik rakyat terhadap keputusan-keputusan ekonomi-politik-sosial-budaya yang diambil oleh pemerintah. Terbiasanya rakyat dengan budaya kekerasan, kegagalan rakyat memahami jalan keluar dari masalah-masalah yang dihadapinya, ketiadaan kepastian hukum, kemiskinan yang parah,dan sistem hukum dan politik yang rasis ini telah menghapuskan kemampuan rakyat untuk melakukan kontrol terhadap pemerintahnya.

Ketika kontrol rakyat terhadap pemerintah tidak terjadi, penyimpangan adalah hal yang patut diharapkan. Perwujudan kontrol rakyat terhadap pemerintah, jelas terlihat di dalam partisipasi poli-tik rakyat dalam menyalurkan aspirasi politiknya, baik melalui DPR maupun melalui partai-partai yang ada. Bila menilik pada kondisi DPR dan Partai-partai kita, keduanya cukup memprihatinkan. Sekalipun banyak partai berkembang biak, tidaklah memberikan jaminan bahwa sistem politik kita sudah demokrastis, mengingat masih belum dicabutnya lima paket UU Politik di ngeri ini.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di negeri ini hampir selalu diwarnai oleh konflik SARA, baik itu kental maupun tidak. Kami melihat bahwa penyebab hal ini adalah diberlakukannya sistem politik yang mengandung diskriminasi, terutama diskriminasi rasial, oleh pemerintah yang tercermin dalam struktur perundang-undangannya.

Para antropolog telah bersepakat bahwa keputusan politik yang diskiriminatif secara rasial ti-daklah terjadi semasa kerajaan-kerajaan Nusantara tempo dulu. Keputusan-keputusan politik dan peraturan-peraturan yang rasis baru muncul setelah berkuasanya pemerintahan kolonial Belanda. Arah politik yang rasis ini sangat diperlukan oleh pemerintahan kolonial untuk menyimpangkan pemiki-ran rakyat negeri jajahan ketika rakyat berusaha mencari sebab ketertindasannya. Diciptakan dan di-bangunnya satu sistem masyarakat dengan perbedaan-perbedaan untuk mengarahkan potensi konflik vertikal (antara pihak penindas dengan pihak tertindas) agar berubah ke konflik horisontal. Selama rakyat negeri jajahan sibuk saling bercakaran, para penjajah akan menikmati hasil jarahannya dengan nyaman. Ternyata, arah politik yang rasis ini diberlakukan juga oleh Orde Baru. Demikian Suharto naik ke tampuk kekuasaan, beberapa dekrit dan keputusan presiden yang diskriminatif terhadap etnis Tionghoa diberlakukan efektif. Beberapa peraturan lain, yang dikeluarkan para menteri atau Pangkop-kamtib menambah panjang daftar peraturan yang rasis di negeri ini.

Diberlakukannya peraturan-peraturan itu menciptakan pandangan yang keliru pada etnis lain yang tinggal di negeri ini bahwa etnis Tionghoa itu adalah orang asing, paria, orang terbuang yang layak diperlakukan sesuka hati. Ini masih ditambahi dengan sentimen kelas yang sering secara sen-gaja dikobarkan oleh beberapa pejabat pemerintah, seakan-akan semua orang Tionghoa adalah perampas kemakmuran rakyat. Imaji-imaji yang keliru ini dikondisikan di bawah sistem politik dan perundang-undangan yang diskriminatif secara rasial. Bahkan, bias sentimen agama pun tidak sedikit mempengaruhi kerusuhan SARA.

Kita juga harus mencermati bahwa justru di saat belakangan ini, ketika “reformasi” sedang didengungkan, kerusuhan rasial justru malah semakin sering terjadi. Kerusuhan-kerusuhan ini da-tangnya bertepatan dengan terjadinya gelombang aksi massa mahasiswa dan rakyat yang semakin jauh mendesakkan agenda perubahan. Kerusuhan 13-15 Mei malah terjadi tepat ketika aksi maha-siswa sedang berada pada puncaknya, yang kemudian menjatuhkan Suharto dari tampuk kekuasaan-nya. Kami melihat bahwa pola-pola kerusuhan dan politik diskriminasi ini memiliki kemiripan yang san-gat mencolok dengan politik diskriminasi rasial di masa pemerintahan kolonial. Politik diskriminasi dan kerusuhan-kerusuhan adalah alat bagi penguasa untuk membiaskan arah konflik vertikal yang se-makin menajam ke arah konflik-konflik horisontal. Dengan terjadinya pembelokan arah konflik ini, kekuasaan akan tetap dapat dilanggengkan. Dengan demikian, kerusuhan bukanlah semata hasil dari satu budaya kekerasan atau budaya ra-sis semata. Kerusuhan, termasuk kerusuhan Mei 1998, adalah bagian dari sistem penindasan struk-tural yang dialami oleh bangsa ini.

Kemudian, kita perlu juga untuk mencermati reaksi dari warga etnis Tionghoa terhadap ke-jadian-kejadian yang telah menimpa mereka. Kerusuhan Mei 1998 telah menimbulkan efek sedemikian rupa di kalangan warga etnis Tionghoa sehingga mereka terpaksa mengambil satu sikap menghadapi kenyataan pahit yang memukul mereka demikian keras itu.

Kami mengamati bahwa ada tiga jenis respon yang muncul dari kalangan warga etnis Tiong-hoa, terutama setelah kerusuhan 13-15 Mei 1998.

1. Jenis respon yang pertama adalah melarikan diri ke luar negeri. Menyambut tindakan ini, ber-bagai komentar telah dilontarkan oleh berbagai kalangan bahwa hal ini membuktikan bahwa warga etnis Tionghoa tidak memiliki nasionalisme. Komentar ini dilansir di berbagai media massa. Seka-lipun tindakan ini bukan merupakan tindak pidana atau tindak pelanggaran HAM – melainkan suatu tindakan yang sangat manusiawi: sebagai salah satu bagian dari tindakan self defence. Akan tetapi secara sekilas di mata masyarakat umum, tampak bahwa tindakan ini justru semakin memojokkan citra warga etnis Tionghoa di hadapan warga etnis lainnya.

2. Jenis respon yang kedua adalah dengan membangun komunitas yang eksklusif dan ketat untuk melindungi diri sendiri. Respon seperti ini, menurut pengamatan kami, malah semakin memberi pembenaran terhadap propaganda yang telah dilancarkan selama 32 tahun oleh pemer-intahan Suharto. Dengan semakin dalam berlindung di balik ekslusivisme, warga etnis Tionghoa akan semakin sulit keluar dari citra paria yang justru ingin mereka hindari. Respon seperti ini justru akan mempertajam jurang perbedaan yang sekarang ini sedang diusahakan untuk dijembatani.

3. Jenis respon yang ketiga adalah tindakan masa bodoh dengan situasi yang ada, yang penting bisa berbisnis. Tidak sedikit kami menemukan kelompok masyarakat etnis Tionghoa seperti ini. Bagi mereka yang penting dapat berbisnis, dan apabila ada kerusuhan maka segala bentuk keamanan diserahkan sepenuhnya pada aparat keamanan, baik secara resmi maupun se-cara partikular. Sekalipun fakta kerusuhan Mei membuktikan secara kasat mata bahwa aparat keamanan terlibat secara pasif, sehingga mengakibatkan banyak korban. Tindakan kelompok ma-syarakat etnis Tionghoa seperti ini, justru membuat ketergantungan mereka terhadap aparat kea-manan, yang seharusnya tidak hanya didominasi oleh aparat keamanan semata, melainkan oleh seluruh masyarakat, sebagaimana hal ini dinyatakan di dalam UU No. 20 Tahun 1982.

4. Jenis respon yang keempat adalah dengan menggabungkan diri ke dalam gerakan-gerakan yang berjuang untuk demokrasi. Terbukti bahwa gerakan demokrasi tidak memandang asal-usul seseorang yang ingin berjuang untuk demokrasi. Warga dari etnis manapun diterima dengan tan-gan terbuka. Respon seperti ini sangat positif karena dapat membongkar tabir-tabir dan dinding-dinding kecurigaan yang selama ini mengurung kita. Dengan adanya kontak yang intensif antar et-nis yang sama-sama dinaungi oleh langit Indonesia, masing-masing etnis akan dapat menerima perbedaan yang ada di antara mereka dengan hati dan pikiran terbuka. Di mana perbedaan itu bukan untuk ditutupi, melainkan untuk (kalau perlu) diperdebatkan secara terbuka, sehat, dan de-mokratis. Bentuk-bentuk partisipatif sosial politik etnis Tionghoa dilakukan dengan berbagai ma-cam ragam, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pun, baik dengan menggunakan bendera etnis maupun sama sekali tidak menggunakan bendera etnis.

Bagi kami, bentuk respon yang terakhirlah yang paling cocok untuk digairahkan sekarang ini. Kami berpandangan bahwa untuk mengakhiri budaya yang rasis, kita harus mulai dari menjebol tembok-tembok yang selama ini menghalangi warga dari berbagai etnis untuk bergaul dan hidup berdampin-gan dengan wajar, bebas, dan demokratis. Sekalipun demikian, kita semua menyadari bahwa lemahnya tingkat kesadaran sosial politik masyarakat umum, khususnya etnis Tionghoa tidaklah ter-lepas dari tanggungjawab pemerintah dalam pembangunan law and political enforcement.

Kita tak dapat melepaskan penanggulangan kerusuhan dan diskriminasi rasial dari penang-gulangan masalah demokratisasi secara umum. Untuk menyelesaikan masalah dengan tuntas, kita tak dapat mengambil langkah-langkah yang artifisial atau setengah hati. Kita harus mengarahkan solusi-solusi yang kita hasilkan menuju penyelesaian yang tuntas atas akar permasalahan yang ada. Kami menyadari bahwa ini adalah kerja besar dan tidak dapat ditempuh dalam sekali jalan. Bahkan, tahun 1998 telah memberi kami banyak pelajaran mengenai kesulitan-kesulitan yang muncul dalam upaya menghapuskan diskriminasi rasial di negeri ini. Kami telah mengidentifikasi tiga hal yang terutama menghambat upaya kami:

1. Adanya intimidasi terhadap pihak yang menginginkan dihapuskannya diskriminasi rasial. Kami telah menemukan fakta-fakta bahwa beberapa orang yang merupakan kunci untuk ter-bukanya tabir misteri kerusuhan Mei 1998 kemudian menjadi ketakutan dan menolak untuk mem-berikan kesaksian-kesaksian. Beberapa di antaranya adalah klien kami sendiri. Kami pun telah menjadi sasaran empuk beberapa penelepon gelap, khususnya terhadap Ester Jusuf,

Ketua De-wan Pekerja kami, yang isinya berupa ancaman untuk dibunuh. Begitu halnya dengan pengintaian, baik secara tertutup maupun terbuka. Hal ini pun tidak hanya dialami oleh kami sendiri. Ada be-berapa pekerja sosial lainnya yang mengalami hal yang sama bahkan lebih dari apa yang kami alami. Segala hal ini, bagi kami, menunjukkan satu hal saja: adanya pihak-pihak yang tidak ingin kejadian yang sesungguhnya terjadi di bulan Mei 1998 terbongkar.

2. Budaya diam yang telah lama merasuki masyarakat kita. Tigapuluh dua tahun di bawah sistem politik represif Orde Baru telah membangun satu budaya diam dalam masyarakat kita. Budaya diam ini, sesungguhnya, merupakan mekanisme pertahanan diri yang pasif —melarikan diri dari realita penindasan itu sendiri. Namun, sekalipun “reformasi” telah mulai digulirkan, budaya ini masih erat melekat dalam masyarakat kita.

Ini menyulitkan kami untuk mendorong para korban mengungkapkan secara terbuka apa yang mereka alami. Walaupun para korban, baik yang etnis Tionghoa maupun dari etnis lainnya, me-mahami pentingnya kesaksian mereka, mereka masih takut menghadapi kemungkinan intimidasi yang mungkin mereka terima berkaitan dengan kesaksian mereka.

3. Belum adanya kesatuan langkah dari berbagai pihak yang sesungguhnya memiliki niatan yang sama untuk menghapuskan diskriminasi rasial. Kesatuan langkah merupakan syarat utama untuk keberhasilan satu perjuangan. Terlebih lagi perjuangan berat yang baru saja kita mulai tempuh. Namun, sampai tahun 1998 berakhir, ke-satuan langkah antara mereka yang sama-sama bekerja untuk menghapuskan rasisme di negeri ini belum lagi terwujud. Padahal, sekalipun caranya berbeda-beda, tujuan yang sama adalah syarat perlu bagi sebuah penyatuan gerak. Kami pun yakin bahwa sesungguhnya, semua orang yang bekerja untuk menghapuskan diskriminasi rasial bekerja dengan tulus dan sungguh-sungguh. Kami belum lagi dapat mengerti, apa yang menjadi sebab terhambatnya proses penyatuan gerak-langkah ini. Kami merasa bahwa hal ini harus menjadi perhatian semua pihak untuk sesegera mungkin ditemukan penyebabnya —dan segera diatasi masalahnya.

Melangkah ke Depan

Ada tiga hal yang paling penting dilakukan untuk menghentikan kerusuhan-kerusuhan rasial itu. Pada pokoknya, ketiga hal ini menghapuskan lingkungan yang menyuburkan tumbuhnya budaya kekerasan yang menggunakan SARA.

Hal yang pertama adalah penghapusan budaya kekerasan. Ini dapat dilakukan dengan menarik mundur senjata dari politik. Kembalikan fungsi militer Indonesia ke fungsi keamanannya. Ma-salah stabilitas politik akan terbangun dan terjaga bila gerakan sipil cukup dewasa untuk berdemok-rasi. Maka, gerakan politik sipil harus diberi ruang untuk tumbuh dan berkembang, dan untuk itu, se-makin penting arti keputusan politik untuk menarik mundur militer dari panggung politik. Kami meny-adari sepenuhnya bahwa periode transisi akan berlangsung dengan diwarnai berbagai gejolak. Na-mun, kita juga harus menyadari bahwa setiap periode peralihan akan berlangsung demikian. Pada sejarah hidup setiap orang, kitapun mengenal masa pancaroba ketika seseorang mulai meninggalkan masa kanak-kanaknya untuk memasuki masa dewasanya. Resiko ini harus kita tempuh kalau kita mau maju.

Hal yang kedua adalah ratifikasi seluruh Konvensi PBB, khususnya yang mendesak adalah Konvensi PBB tahun 1966 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras. Ratifikasi Konvensi yang ada sebagai jawaban terhadap dunia luar bahwa negara Indonesia bukanlah negara yang anti demokrasi, anti perjuangan hak asasi manusia. Hal yang ketiga adalah penghapusan peraturan dan perundang-undangan yang mengekang kebebasan dan demokrasi di Indonesia, seperti: UU Anti-Subversi, 5 UU Politik, dan sebagainya. De-mokrasi di sini temasuk demokrasi dalam bidang sosial-budaya: pengakuan terhadap pluralitas etnis. Karena itu, penghapusan peraturan dan perundang-undangan yang diskriminatif menjadi sangat penting dalam proses demokratisasi di Indonesia. Perjuangan demokrasi tanpa upaya penghapusan diskriminasi, pada hakekatnya yang terjadi adalah demokrasi semu. Tapi, perjuangan anti diskriminasi tanpa demokratisasi adalah mustahil. Penghapusan peraturan dan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap etnis Tionghoa ini sesungguhnya sudah dijanjikan oleh Habibie. Entah mengapa janji ini belum juga terealisir. Pada-hal, dengan adanya penghapusan peraturan-peraturan itu, warga etnis Tionghoa akan dapat hidup wajar, sewajar kehidupan etnis lainnya. Ketika, semua sudah berlangsung wajar, perbedaan kulit bu-kanlah lagi merupakan hal yang harus dipertentangkan.

Kami melihat bahwa mahasiswa telah membuktikan dirinya sebagai kekuatan pelopor untuk demokratisasi. Tahun 1998 telah menjadi saksi stamina, kemauan berkorban dan kemampuan maha-siswa dalam mendesakkan program-program reformasi. Dengan demikian, kami menaruh harapan besar bahwa mahasiswa pulalah yang akan sanggup mendesakkan program penghapusan diskrimi-nasi rasial ini. Kami melihat bahwa di tahun mendatang, kita harus lebih menumpahkan dukungan kepada gerakan mahasiswa untuk mendorong terus perubahan ke arah demokratisasi di negeri ini.

Tahun 1998 telah menjadi saksi pergolakan. Pergolakan ini harus mampu kita olah sehingga menjadi bekal kita menempuh tahun yang akan datang. Tahun 1999, dimana abad ke-21 tinggal ber-jarak setahun lagi, harus menjadi tonggak demokratisasi negeri ini. Semua persoalan pokok yang menghantui negeri ini harus dituntaskan. Kami merasa bahwa sesungguhnya semua pihak sudah pa-ham apa yang harus dilakukan. Sekarang, tinggal kita menagih dan mendesakkan terus agenda-agenda reformasi dan demokratisasi kita.

Jakarta, 30 Desember 1998
Solidaritas Nusa Bangsa

Arnold Purba, SH
Direktur Operasional