RASIALISME ADI SASAONO
(Sebuah Tanggapan - Bagian 7/HABIS)

March 28, 1999

Oleh: LION

Melawan Dominasi Ekonomi Cina
----------------------------

Pertentangan pribumi dengan etnis Cina karena faktor ekonomi bukan hal baru. Misalnya pada tahun 1909 di Betawi (Jakarta) didirikan organisasi dagang dengan nama Sarekat Dagang Islam (SDI). Pada 1911 di Bogor didirikan SDI yang kedua. Pendirinya adalah Tirtoadisurjo, dengan cita-cita mendirikan persekutuan dagang perkoperasian Indonesia bertujuan utama mematahkan dominasi ekonomi pengusaha Cina dalam bisnis bahan dan industri batik. Untuk mencapai tujuan itu, didirikan SDI yang ketiga di Solo (akhir 1911) oleh H. Samanhudi, seorang pedagang besar batik di Solo, dengan tujuan memajukan kehidupan ekonomi rakyat di bawah bendera Islam.

Yang terjadi kemudian bukan persaingan bisnis murni, tetapi sering terjadi bentrokan-bentrokan fisik. Dengan alasan untuk memelihara ketertiban, ketentraman dan keamanan, atas perintah residen (Belanda) Solo rijksbestuurde (papatih Sri Susuhunan) membekukan SDI, yang kelak setelah aktif lagi mengalami beberapa kali perubahan nama, seperti Sarekat Islam (SI) yang tak terfokus pada soal perdagangan lagi.

Kemudian pada masa pemerintahan Soekarno, juga pernah diusahakan untuk membatasi kemajuan ekonomi etnis Cina. Pada tahun 1959 dikeluarkan Peraturan Presiden No. 10 Tahun 1959, yang mulai berlaku 1 Januari 1960, mewajibkan semua pedagang eceran Cina di daerah pedalaman ditutup. Namun dalam pelaksanaannya bukan hanya usahanya yang ditutup, tetapi juga dilaksanakan larangan pemukiman etnis Ci na. Seperti yang dilakukan Kolonel Kosasih, Panglima Jawa Barat. Bahkan Kolonel ini menembak mati dua orang perempuan Cina yang mencoba melawan penggusiran itu (baca "Hoakiau di Indonesia, " 1998, Pramoedya Ananta Tour).

Dan sekarang ini muncul lagi tokoh Adi Sasono dengan program ekonomi kerakyatan yang bermaksud menggeser pengusaha-pengusaha Cina sebagaimana sudah cukup panjang lebar diulas di atas. Bagaimanapun juga sebuah sistem yang diterapkan dengan latar belakang antipati ras (dan alat politik), tidak akan bisa berjalan dengan baik dan lama. Apalagi di era globalisasi seperti sekarang ini. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa ekonomi Asia, termasuk Asia Tenggara, boleh dikatakan didominasi oleh negara-negara ras kuning, terutama etnis Cina juga. Jadi tak realistis jika sistem ini tetap mau dijalankan untuk menghadapi persaingan bisnis internasional.

Saya bukan mau menempatkan etnis tersebut sebagi suatu etnis yang superior, tetapi yang dibicarakan di sini merupakan suatu fakta yang harus dihadapi dan dimanfaatkan. Bukan sebaliknya dilawan dan dimusuhi. Seperti pada talenta-talenta yang terdapat pada masing-masing pribadi, talenta suatu bangsa pun berbeda-beda. Misalnya Jerman, Jepang, dan beberapa negara lainnya terkenal dan unggul dalam teknologi tinggi, Amerika Serikat hebat dalam bisnis-bisnis entertainment, Perancis terkenal dengan perancang-perancang busana kelas dunianya, dan sebagainya. Tinggal kita sekarang mau belajar dari mereka, memanfaatkan, atau malah mau cemburu, dan bertindak destruktif?

Interdepensi
---------------

Antara negara yang satu dengan yang lain saling tergantung (interdepen). Apalagi di era menuju globalisasi ini. Maka apabila satu negara mengalami chaos, negara lain -- apalagi yang bertetangga dengannya akan ikut terpengaruhi. Baik secara sosial-politik, maupun ekonomi. Demikian pula dengan Indonesia dengan negara-negara lain, terutama para tetangganya. Maka sangat mengherankan kalau ada beberapa pejabat tinggi kita yang mengatakan bahwa Singapore bisa sedemikian maju karena ada Indonesia. Dengan perkataan lain Singapore maju karena Indonesia. Seolah-olah kehidupan dan majunya Singapore tergantung dari Indonesia. Saya melihat pernyataan seperti ini keluar dari perasaan cemburu yang membara. Dari segi logika saja, kalau memang Singapore bisa maju karena Indonesia. Lha, bagaimana bisa Indonesia sendiri tidak bisa semaju Singapore? Sekarang ini saja boleh dikatakan hanya Indonesia yang masih terpuruk dalam jurang krisis ekonomi bersamaan dengan munculnya berbagai macam kerusuhan berdarah yang maha-biadab di berbagai daerah.

Bahkan ketika Presiden Habibie marah-marah kepada Singapore, para orang dekatnya pun turut mencak-mencak. Seperti Akbar Tandjung, Tanri Abeng, Dewi Fortuna Anwar dan Adi Sasono. Belum lama ini Dewi Fortuna memberi peringatan kepada negara-pulau itu. Katanya, "Singapore menanggung risiko kalau tidak mau membantu menarik investor asing." Ucapan seperti ini terkesan ngawur. Singapore mungkin akan mengatakan, "Lho, Anda sendiri yang tidak becus mengurus negara Anda supaya aman, supaya tidak bersikap diskriminatif. Anda sendiri yang tidak mampu menarik investor asing. Kok kami yang diancam dan disalahkan?"

Sedangkan Adi Sasono dalam konteks yang sama dalam sebuah wawancara dengan Radio Singapore International memberi peringatan kepada "bangsa-bangsa yang ikut berpesta dalam pesta-besar" dengan Soeharto agar mengubah nada mereka. Karena, katanya, saat sekarang saat cuci pring nasional. Rasanya kita sudah bosan mendengar ucapan-ucapan Adi Sasono seperti ini. Hampir di setiap waktu jargon-jargon ini selalu dikumandangkan. Ucapan Adi ini seolah-olah hendak menempatkan bangsa-bangsa tersebut sebagai bagian dari kroni Soeharto juga -- sama dengan pengusaha-pengusaha tertentu di dalam negeri.

Seolah-olah dia sudah sejak dulu anti-Soeharto. Padahal seperti yang saya gambarkan pada tulisan ini bagian keempat dia dengan ICMI-nya termasuk pendukung berat Soeharto. Bahkan Soeharto dipilih dan didukung sebagai pelindung organisasi tersebut. Dia mulai "bersuara lain" ketika tidak dipilih Soeharto sebagai salah satu anggota Kabinet Pembangunan VII bersamaan dengan mulai goyahnya kedudukan Soeharto sebagai presiden.

Adi sekarang ini paling rajin luar biasa, di mana-mana selalu membawa-bawa nama rakyat. Ucapan-ucapannya selalu sama saja: Demi kepentingan rakyat kecil, ekonomi kerakyatan, cuci piring nasional, membanding-bandingkan kredit macet konglomerat dengan pengusaha kecil, dan sebagainya. Ketika ada yang mengkritiknya, selalu dijawab dengan anti-rakyat, musuh rakyat, kekuatan lama yang ingin muncul lagi, dan sebagainya, sehingga orang menjadi takut mengkritiknya secara terbuka.

Ekonom Dr. Hartojo Wignjowijoto mengatakan Adi Sasono merupakan pendatang baru di kursi kekuasaan sehingga wajar dia membutuhkan dukungan dari rakyat. Untuk memperoleh dukungan tersebut dia mempergunakan program ekonominya untuk mengambil hati rakyat. Motifnya tetap dukungan untuk memantapkan kekuasaan. Padahal program ekonomi kerakyatan Adi tidak mengangkat ekonomi rakyat yang semakin terpuruk. Program dan Dana JPS pun ambur adul dalam pelaksanaannya, tak turun sampai ke rakyat kecil yang benar-benar membutuhkannya, kata Hartojo.

Tak terkecuali berulang-ulang Adi juga berkata bahwa setiap pinjaman yang diberikan kepada koperasi hampir pasti dibayar kembali. Seperti dengan tegas dia katakan kepada pers menjelang sidang Ekuin, tanggal 18 Maret lalu. "Kalau kredit yang diberikan ke koperasi, 'kan pasti dibayar kembali! Tidak seperti kredit macet dari para pengusaha besar." Kira-kira begitu yang dikatakan.

Dalam kenyataannya, kita harus pontang-panting dan kadang-kadang memerlukan keberanian ekstra untuk menagih piutang kita kepada koperasi-koperasi yang dibangga-banggakan Adi itu. Kalau kita menagih sering dijawab yang bersangkutan sedang keluar, atau besok saja, atau lagi tidak ada duit, dan berbagai jawaban yang pada intinya belum/tidak mau membayar.

Contoh lain adalah kredit yang diberikan oleh PT Pos Cabang Ambon, yang sudah macet selama tiga tahun (sampai 1998) di tangan koperasi, pedagang pengumpul hasil bumi, dan penjual sembako. Menurut Kepala Kantor Cabang Kantor Pos Indonesia, Andi Hertiyanto, "Kalau kami tagih mereka, selalu dijawab sedang keluar. Jika bertemu, bukannya bayar hutang, malah kami yang dimarah-marah. Bahkan kadang diajak duel/berkelahi!" (Kompas, 8 November 1998, halaman 8).

NEP
-----

Saya pernah menulis dengan menyinggung dan mencurigai sebuah seminar ekonomi yang dilakukan hanya satu hari setelah meletus kerusuhan besar di bulan Mei 1998 lalu. Kerusuhan Mei mulai meletus tanggal 13 sampai 15 Mei 1998. Pada tanggal 16 Mei, CIDES, sebuah organisasi di bawah ICMI, mengadakan seminar dengan thema tentang New Economic Policy (NEP), yang membahas bagaimana caranya Indonesia mengadopsi kebijakan yang pernah diterapkan oleh pemerintah Malaysia, dengan menggeser peran pengusaha Cina dan memberi keistimewaan kepada kaum bumi putera di sana. Walaupun waktu penyelenggaran seminar itu mungkin saja hanya kebetulan selang satu hari saja dari kerusuhan Mei tersebut, patut dipertanyakan di mana rasa toleran dan rasa tenggang rasa panitia dan peserta seminar tersebut dikaitkan dengan kerusuhan Mei dan korbannya itu?

New Economic Policy (NEP) memang pernah dilakukan pemerintah Malaysia selama sekitar 20 tahun, sebagai reaksi atas terjadinya kerusuhan antaretnis Melayu dengan Tionghoa (Mei 1969). Dalam program NEP ini pengusaha-pengusaha keturunan Cina dilarang masuk pada sektor-sektor strategis, yakni sektor perbankan, jasa keuangan, transportasi dan telekomunikasi. Walaupun demikian program ini jauh dari semangat anti-Cina dari pemerintah Malaysia. Tidak seperti di sini. Selain itu pogram NEP ini pun tidak terlalu berhasil. Selain karena terjadi praktek KKN di antara orang-orang bumi putera yang dekat dengan penguasa, juga ternyata kekuatan pengusaha Cina sulit untuk dipatahkan. Setelah program NEP dijalankan selama sekitar 20 tahun lebih, peningkatan peran bumi putera di sektor bisnis kurang dari 20 persen.

Grafik pemilikan perusahaan-perusahaan di Malaysia mencatat pada tahun 1970 (sebelum NEP), golongan bumiputra menguasai 2,4 persen, non-bumiputra 34,3 persen, dan orang asing 63,3 persen. Pada tahun 1995 komposisinya berubah menjadi bumiputra 20,6 persen, non-bumiputra 43,4 persen, orang asing 27,7 persen, dan calon perusahaan 8,3 persen (Majalah FEER edisi 19 Februari 1998, halaman 17).

Menyadari program ekonomi berbau rasialis seperti itu malah menghambat laju perekonomian negara, sekarang NEP tidak lagi dijalankan. Seiring dengan itu, kini diterapkan perbaikan ekonomi Malaysia di bawah Dewan Aksi Nasional (National Economic Council -- NEAC) yang dibentuk pada Desember 1997 lalu dengan ketuanya, Dr. Daim Zaenudin. Pada NEAC ini setiap warga negara tak dipandang latar belakang rasnya diberi kesempatan untuk ikut berperan dalam dunia bisnis Malaysia. Larangan-larangan terhadap pengusaha-pengusaha Cina untuk terjun pada sektor-sektor strategis tersebut di atas dihapus.

Seperti yang saya katakan di atas, pada prinsipnya saya tidak menentang ekonomi kerakyatan Adi Sasono, sebab pada dasarnya tujuan itu baik, yakni memajukan ekonomi dan penghidupan rakyat kecil yang kebetulan mayoritas dari kalangan pribumi. Kalau semakin banyak rakyat kecil ekonominya maju tentu cita-cita kemakmuran akan lebih cepat kita raih. Akan semakin banyak konsumen yang membeli suatu produk, yang secara langsung maupun tidak langsung akan membawa keuntungan bagi pengusaha-pengusaha produsen (termasuk yang keturunan Cina). Tetapi salah besar, kalau penerapan ini dilakukan dengan semangat sentimen negatif rasialisme, dan menggunakannya sebagai alat politik. Sebagaimana dikatakan oleh ekonom Anwar Nasution dalam wawancaranya dengan majalah Panji Masyarakat No. 47, 10 Maret 1999.

Amien Rais baru-baru ini dalam konferensi pers khusus di Jakarta (21/3), mengatakan bahwa parpolnya (PAN) tidak akan memangkas konglomerat dengan alasan untuk memberdaya usaha kecil dan menengah. Lebih lanjut Amien berkata, "Saya bukan penganut radikalisme dalam membangun ekonomi. Saya tidak akan memangkas big business dengan dalih menghidupkan perekonomian kecil. Tetapi big business harus tetap berjalan dengan prinsip transparan dan lebih terkontrol." Menurut dia, di mana pun di dunia ini tidak ada sistem koperasi yang bisa menjadi unggulan untuk bersaing di masa globalisasi. Yang perlu diupayakan adalah mendorong konglomerasi supaya dapat maju secara sehat untuk bisa bersaing dalam dunia perdagangan internasional. Bersamaan dengan itu harus ada upaya mendongkrak ekonomi kecil dan menengah. Sehingga apabila rakyat mempunyai daya beli yang kuat, maka akan mempengaruhi positif pada kegiatan ekonomi nasional. Paparan Amien ini, menurut dia, juga yang disampaikan kepada para pengusaha di Amerika Serikat waktu dia ke sana.

Perspektif Amien Rais ini tentu saja lebih moderat dan realistis ketimbang Adi Sasono yang terus-menerus menyerocos tak henti-hentinya, di setiap waktu dan di setiap kesempatan, seperti tidak pernah mengenal lelah, dengan jargon-jargon ekonomi kerakyatannya, dan terus-menerus menyalahkan pengusaha-pengusaha besar Cina. Apakah realistis kalau mau keluar dari krisis ekonomi ini dan memajukan ekonomi negara ini, tetapi bersamaan dengan itu bersikap memusuhi dan hendak menghempaskan salah satu komponen penting ekonomi (pengusaha besar)?

Cina Mestinya Juga "Tahu Diri"
-----------------------------

Sekalipun -- seperti yang saya gambarkan di atas -- bahwa sikap-sikap terhadap etnis Cina di negara ini berasal dari sikap-sikap yang terlampau stereotip berdasarkan sentimen rasialisme dari sementara pribumi, yang tidak dapat dibenarkan, tetapi dengan melihat sikon yang terjadi, seharusnya orang-orang tertentu dari etnis ini lebih bisa menahan diri dalam bersikap dalam kehidupan bermasyarakat.

Maksud saya adalah walaupun pada hakikatnya kita tidak boleh melakukan suatu penilaian subyektif, generatif dalam menilai suatu etnis tertentu (dalam hal ini Cina), tetapi sebagai etnis minoritas yang berada pada posisi yang lemah dan sering menjadi sasaran amuk-massa, seharusnya mereka (etnis Cina) lebih bisa menahan diri untuk tidak berperilaku yang bisa menambah sikap antipati terhadap seluruh ras ini. Berbareng dengan itu sebagai manusia yang mau berperilaku dewasa dan sebijaksana mungkin, sikap-sikap yang stereotip, generatif dan rasialis harus kita upayakan dihilangkan dari pikiran dan perilaku-perilaku sementara kaum pribumi.

Saya berkata demikian karena dalam kehidupan sehari-hari, saya juga sering menemukan perilaku orang Cina yang menyebalkan. Sama halnya dengan saya juga sering melihat perilaku orang pribumi yang menyebalkan. Contoh umumnya adalah perilaku terhadap pembantu rumah tangga. Adalah fakta bahwa dalam beberapa kasus, majikan yang tidak senang kepada pembantunya, sering sang pembantu dicaci-maki dan dianiaya. Bukankah jauh lebih baik kalau Anda tidak suka kepadanya, dia diberhentikan saja? Mengapa harus dicaci-maki secara berlebihan dan dianiaya? Anda jangan terburu-buru mengatakan saya sudah ikut-ikutan menuduh majikan Cina yang berperilaku seperti itu. Perilaku tak berperikemanusiaan seperti ini bukan monopoli majikan Cina, tidak sedikit majikan pribumi pun demikian. Tak terkecuali dengan etnis asing lain; Arab, yang seolah-olah disucikan oleh sebagian pribumi negara ini. Bahkan sebenarnya yang paling menonjol adalah para TKW yang dikirim ke Arab Saudi itu. Tak terhitung kejadian yang kita dengar, para TKW yang jauh-jauh mencari nafkah di sana, menuai penderitaan, siksaan, bahkan perkosaan dari sang majikan. Belum lagi yang tak terdeteksi umum. Semuanya seolah berlalu begitu saja dari perhatian sebagian pribumi yang sering menuduh etnis Cina secara negatif berkaitan dengan hubungan majikan-pembantu. Seolah-olah karena "bangsa-suci" yang melakukan semua perbuatan tak berperikemanusiaan itu, maka tidak apa-apa. Tetapi anehnya, begitu ada satu kejadian seperti itu, di mana yang melakukan orang Cina, maka gemparlah negara ini, dan banyak orang pun menjadi hakim yang sadis dengan tidak hanya menyerang orang yang berbuat tetapi seluruh Cina.

Saya juga pernah melihat dan mengalami sendiri sikap pedagang-pedagang Cina yang kasar dalam melayani konsumennya. Apalagi kalau konsumennya itu dianggap "tidak punya duit." Ingat, saya bilang "konsumen," bukan "pribumi" atau "konsumen yang pribumi." Karena sikap ini bisa datang dari siapa saja yang acapkali menilai orang dari penampilan luarnya.

Pernah, di sebuah mall ketika saya sedang melihat-lihat barang di sebuah toko dan bercakap-cakap dengan pemiliknya yang beretnis Cina, datang seorang pelayan yang kebetulan pribumi membawa segelas minuman, yang rupanya dipesan si pemilik toko dari sebuah restoran di dekat situ. Ketika dia meletakkannya di dekat si pemilik toko, pelayan tersebut dimarahi dengan kata-kata keras dan kasar. Kira-kira begini kata-katanya: "Hai, lu tau sopan nggak? Nggak permisi-permisi taruh begitu aja! Lu sudah minum ya minuman ini? Ayo, kembalikan dan tukar sana!" Kejadian seperti ini terjadi di tengah-tengah keramaian orang. Bayangkan bagaimana perasaan si pelayan yang kelihatan menahan malu dan marah. Saya yang merasa tidak enak sendiri, langsung meninggalkan toko tersebut tanpa permisi.

Kejadian lain saya alami sendiri, suatu waktu saya berjalan-jalan di Pasar Baru, saya melihat-lihat di sebuah toko kecil di sana. Kemudian sambil memegang salah satu jenis barangnya saya bertanya: "Koh, ini berapa?" Si Engkoh dengan kasar mengambil kembali barang tersebut dari tangan saya sambil berkata: "Ini barang mahal!" Kontan saya naik pitam, dan berkata kepadanya: "Koh, harap tau sopan-santun ya! Saya ini 'kan tanya harganya, bukan mau mencuri!" Dengan ketus si Engkoh menyebut nilai barang tersebut, seolah-olah saya tidak mampu membelinya. Dengan menahan emosi saya bilang, "Bila perlu seluruh toko ini saya beli juga!" Saya juga berkata, "Sikap Engkoh seperti ini yang membuat orang tidak suka orang Cina. Tidak heran kalau terjadi kerusuhan anti-Cina!" Si Engkoh pun terdiam, dan saya pun pergi.

Pengalaman lain saya. Kali ini dengan pengusaha foto copy yang kebetulan milik pribumi. Seorang konsumen mengkomplain hasil foto copy-nya. Ketika terjadi perdebatan antara konsumen dengan karyawan perusahaan foto copy yang cukup besar itu, tiba-tiba pemiliknya keluar dari ruangan dalam, dan dengan suara kasar menghampiri konsumennya. Sambil menunjuk-nunjuk dia berkata: "Kamu mau apa? Kalau tidak senang ya nggak usah foto copy di sini!" Atau saya pernah juga memasuki sebuah butik di sebuah plasa yang dijaga oleh para karyawan pribumi, selama hampir setengah jam di dalam, saya tidak digubris sedikit pun. Mungkin karena waktu itu penampilan saya kurang meyakinkan. Coba kalau mereka yang anti-Cina yang mengalaminya di tempat yang dijaga/dilayani etnis Cina. Tentu berbagai macam sumpah serapah berbau rasialis sudah keluar dari mulutnya. Atau menulis di internet, dengan perasaan meluap-luap karena sudah menemukan "bukti" lagi kelakuan Cina yang brengsek.

Dengan gambaran ini, sebagai etnis minoritas yang banyak dibenci, saya menghimbau saat seperti ini selayaknya orang-orang Cina di negara ini lebih bisa menahan diri. Atau kasarnya, "tahu diri dirilah!" Walaupun secara formal hak semua warga negara sama di negara ini, tetapi keadaan sosial merupakan suatu kontradiksi. Tidak realistis jika Anda hendak menghadapi kenyataan tersebut dengan cara-cara frontal.***

SELESAI