Pelanggaran HAM Di Indonesia
December 11, 1998

Suara Pembaruan

Hendardi

Tanggal 13 November lalu selama hampir dua minggu penulis berada di Amerika Serikat untuk memenuhi undangan Rights Watch, suatu lembaga pembela hak asasi manusia (HAM) prestisius yang bermarkas di New York dan Washington. Undangan ini bertalian dengan hari jadi ke-20 tahun lembaga ini serta perayaan 50 tahun hari HAM sedunia.

Ada enam tamu dari enam negara yang diundang secara khusus untuk hadir dalam perayaan tersebut. Masing-masing mereprersentasikan wilayah regional, yaitu Eropa, Amerika Latin, Afrika dan Asia. Penulis mewakili wilayah Asia. Keenam tamu ini sebelumnya pernah menerima penghargaan dari lembaga Human Rights Watch dalam tahun-tahun yang berbeda karena dedikasi perjuangan HAM di negeri masing-masing. Penulis sendiri menerima penghargaan itu pada 1991, sebagai penghargaan khusus dalam investigasi yang penulis lakukan untuk kasus Gerakan Aceh Merdeka 1990 dan kasus Talangsari, Lampung, 1989.

Puncak acara perayaan yang dilaksanakan di Los Angles ini adalah resepsi makan malam yang dihadiri sekitar 1.000 undangan dari berbagai kalangan masyarakat Amerika dan dipandu bintang film ternama yang juga duta kemanusiaan PBB Michael Douglass. Masing-masing kami memperoleh kesempatan untuk menyampaikan pidato ringkas tentang perkembangan penegakan HAM di negeri masing-masing.

Selain memenuhi acara ini, berbagai acara yang padat yang sudah diagendakan penulis penuhi hari ke hari. Selain bertemu dengan Senator Negara Bagian California Tom Hayden, serta berdiskusi dengan pimpinan Redaksi Los Angeles Times penulis juga sempat berbicara di fakultas hukum maupun program IBEAR (International Business Education and Research) University of Southern California tentang kondisi HAM dan Demokrasi di Indonesia. Di Washington DC pertemuan berlangsung dengan pejabat dari State Department yang membidangi wilayah Indonesia dan Asia, juga dengan pejabat tinggi Gedung Putih (National Security Council). Selain itu penulis juga memenuhi undangan editor harian The Washington Post untuk diskusi tentang Indonesia.

Berbagai acara penulis ikuti, baik dengan kalangan akademisi, aktivis dan organisasi HAM, maupun politisi AS, sehingga tertangkap kesan yang sangat kuat perhatian yang mendalam tentang perkembangan politik dan HAM di Indonesia akhir-akhir ini. Pertanyaan mengenai beberapa kasus mutakhir seperti penculikan dan penghilangan paksa, penembakan di Universitas Trisakti, Kerusuhan Mei, kasus Banyuwangi maupun kejadian yang paling akhir seperti Tragedi Semanggi dan perusakan serta pembakaran rumah-rumah ibadah mewarnai diskusi-diskusi tersebut.

Banyak di antara mereka mengasumsikan sebelumnya bahwa setelah Jenderal Soeharto berhenti dari jabatan presiden dan BJ Habibie menerima operan kekuasaan dari Soeharto, peristiwa-peristiwa buruk pada masa Orde Baru dapat diterminalisasi.

Kalangan politisi, aktivis pembela HAM dan akademi AS menyatakan tak habis pikir bahwa Tragedi Trisakti yang terjadi pada masa Soeharto dapat berulang dalam bentuk yang bahkan tidak kalah buruk dengan apa yang dikenal sebagai Tragedi Semanggi, yang menjatuhkan korban jiwa 14 orang dan ratusan lain luka-luka.

Penulis senantiasa menekankan dalam penjelasan kepada mereka bahwa persoalan HAM di Indonesia tidak dapat secara sederhana ditengok dan dipilah pada masa Soeharto dan masa Habibie. Semua harus dijelajah dalam karakter Orde Baru yang dipanglimai ABRI yang dikukuhkan sebagai kekuatan sosial politik. Tugas dan fungsi militer yang hakiki adalah menjaga keamanan dan keselamatan warga negara dan harta benda mereka.

Mereka pada dasarnya memahami persoalan militer berkaitan dengan pelanggaran HAM di Indonesia. Rasanya kita perlu menyimak pandangan apa yang berkembang di sebagian kalangan masyarakat AS terhadap keadaan HAM di Indonesia. Sudah tentu perlu diperjelas perihal pelanggaran HAM dalam konteks dominasi militer dalam politik Indonesia.

Masa Habibie

Beberapa kalangan di AS sempat menebak-nebak kenaikan Habibie ke pucuk pemerintahan akan memperbaiki keadaan HAM di Indonesia, hal ini didasarkan karena BJ Habibie bukan seorang jenderal militer, tetapi seorang birokrat sipil. Kenaikan birokrat sipil ke pentas kekuasaan politik tertinggi Indonesia menggantikan Soeharto diperkirakan HAM bakal lebih dihormati.

Perkiraan itu ternyata meleset jauh dengan Tragedi Semanggi. Pelanggaran HAM tetap banyak terjadi. Kerusuhan yang terjadi di Ketapang, Jakarta menunjukkan kelalaian aparat keamanan untuk mencegahnya dengan cepat.

Begitu pula, kerusuhan di Kupang dan beberapa wilayah lain Indonesia dalam peristiwa sejenis yang bernuansa SARA, juga peristiwa pembunuhan dengan dalih ''dukun santet'' di Banyuwangi, serta kerusuhan di Porsea dan Pinrang.

Yang juga perlu dikutuk adalah pembunuhan yang dilakukan terhadap Marthadinata (Ita) beberapa waktu silam. Pembunuhan itu diduga keras sebagai akibat kekerasan seksual pada peristiwa kerusuhan Mei dan terdapat spekulasi hendak memberikan kesaksian di AS.

Tindakan kekerasan aparat keamanan masih dialami sejumlah buruh di Bekasi, ketika mereka berunjuk rasa. Aparat keamanan melepaskan tembakan terhadap massa buruh. Belum lagi kegiatan menyampaikan pendapat dalam bentuk penyebaran komunike bersama malah dituduh sebagai perbuatan makar.

Begitulah kenyataan bahwa pemerintahan Habibie yang berjalan enam bulan justru tidak lebih baik dari sebelumnya yang pada dasarnya tidak menjamin HAM dihormati oleh aparat pemerintahan. Kasus-kasus pelanggaran HAM tidak menunjukkan statistik menurun bahkan dalam beberapa kasus dipertontonkan tindakan disertai kekerasan bersenjata. Dalam hal regulasi politik masih banyak yang tidak berubah secara signifikan, malah bertambah ''prestasi'', karena rezim Habibie melahirkan UU No.9/1998 mengenai kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum yang terang benderang bersifat represif dan otoriter.

Presiden Habibie memang bukan seorang birokrat militer, tetapi kekerasan secara militer justru dapat terjadi pula di masa pemerintahannya. Inilah yang menjadi sorotan berbagai kalangan di AS.

Penulis kira, pemerintahan Presiden Habibie memang sukar membebaskan diri dari berbagai pelanggaran HAM, bahkan kecenderungan meningkat dari waktu yang lalu. Soal ini bakal merupakan kesulitan yang tidak mudah dikesampingkan menyangkut citra anti-HAM dalam tubuh pemerintahannya.

Militer Dominan

Menjawab pertanyaan yang diajukan kepada penulis itu, bisa dijelaskan bahwa persoalan tidak terletak pada birokrat sipil atau birokrat militer yang jadi presiden. Persoalan itu terletak pada dominasi militer dalam politik Orde Baru. Karena itu, watak pemerintahan saat ini belum berubah dengan yang dulu, karena masih berwatak Orde Baru. Mereka jelas bukan pihak yang berkepentingan dengan reformasi, melainkan pihak yang dipaksa mahasiswa dan masyarakat untuk segera melakukan reformasi.

Pemerintah saat ini melakukan sesuatu, karena aksi mahasiswa yang menolak Sidang Istimewa MPR. Setelah tragedi Semanggi, mahasiswa juga masih tetap melakukan demonstrasi bahkan menembus Istana Negara. Pemerintahan yang ada saat ini dari sudut logika politik memang tidak berkepentingan melaksanakan reformasi, tetapi ia didesak secara kuat oleh gerakan mahasiswa. Sehingga boleh dibilang pemerintahan ini memang terdesak, dalam situasi terdesak, pilihannya bisa dua. Kompromi atau menindas gerakan mahasiswa. Kadang kompromi, kadang menindas. Kombinasi inilah yang tampaknya digunakan aparat negara.

Menyimak Orde Baru berarti kita mempertimbangkan dominasi militer dalam politik. Ketika militer mendominasi kehidupan politik, pelanggaran hak sipil dan politik pasti tidak terhindarkan bahkan pelanggaran ini acap disertai kekerasan politik seperti apa yang tampak di kampus Universitas Trisakti maupun di sekitar Universitas Atma Jaya (Tragedi Semanggi).

Dominasi militer dalam politik bukan membuat warga negara menjadi lebih merasa aman, tetapi sebaliknya ketidakamanan dan ketidaknyamanan. Warga negara dengan gampang di tangkap, ditahan dan diadili. Bahkan ada yang diculik, dianiaya dan terbunuh.

Dalam tubuh Orde Baru sendiri merajalela KKN. Orde Baru yang dikendalikan kaum jenderal militer terlampau terbiasa dan enak dengan fungsi nonmiliter yang justru bukan keterampilan mereka baik secara konseptual maupun untuk memajukan politik dan perekonomian Indonesia. Kekuasaan militer yang dominan inilah yang menjadikan signifikansi persoalan pelanggaran HAM, yang berkaitan erat dengan tindakan kekerasan secara militer.

Menurut penulis beberapa kalangan di AS mengungkapkan bahwa mahasiswa dalam gerakan mereka mendesakkan perwujudan demokrasi dengan tidak hanya menolak hasil SI MPR dan Presiden Habibie, juga dominasi militer. Tengok saja bagaimana mereka menuntut de- ngan sangat keras dan berulang-ulang penghapusan Dwifungsi ABRI. Sementara warga masyarakat Aceh, Irian Jaya dan Timor Timur mempersoalkan daerah operasi militer (DOM).

Kepentingan pimpinan militer sudah jelas tetap mempertahankan dominasi mereka dalam politik. Padahal demokrasi merupakan perwujudan kehidupan masyarakat sipil dalam politik, bukan militer. Tampak jelas pimpinan ABRI tidak bergeming atas desakan mahasiswa tersebut dan tidak hendak menghapuskan dominasi mereka dalam politik. Keanggotaan dalam DPR dan MPR hanya dikurangi. Tetapi dalam posisi menteri, gubernur, wali kota dan bupati maupun jabatan-jabatan sipil lain tampak tidak berkurang.

Dengan pemertahanan dominasi dalam politik, pelanggaran HAM yang disertai kekerasan politik pasti terus terjadi. Karena juga, berbagai peristiwa pelanggaran HAM seperti penculikan, Tragedi Trisakti, Kerusuhan Mei hingga Tragedi Semanggi juga DOM di Aceh, Irja dan Timtim, tidak mudah dimintai pertanggungjawaban pimpinan ABRI. Respons yang diterima biasanya seperti suatu rumus baku, oknum, kesalahan prosedur dan janji pengusutan tuntas yang penyelesaiannya berupa janji baru bukan solusi konkret. ***

Penulis adalah Ketua Badan Pengurus PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia)