Gender dan Agama Presiden
December 1, 1998

Media Indonesia Online

Bur Rasuanto

SECARA teoretis apa pun agama dan jenis kelamin seorang warga negara dapatmenjadi Presiden RI, asal dia ''orang Indonesia asli''. Dalam tigakonstitusi yang pernah berlaku di Tanah Air --UUD 45, Konstitusi RIS, UUDSementara 1950-- tidak tercantum ketentuan mengenai agama dan jenis kelaminpresiden.

Konstitusi RIS dan UUDS-50 mencantumkan syarat presiden sudah berusia 30tahun, warga negara Indonesia, dan bukan ''orang yang tidak diperkenankanserta dalam atau menjalankan hak pilih ataupun orang yang telah dicabuthaknya untuk dipilih''. Tetapi UUD 1945 hanya harus ''orang Indonesiaasli''. Untuk wakil presiden malahan terbuka untuk semua warga negara,karena tidak ada ketentuan apa-apa.

Rumusan UUD-45 itu berasal dari hasil sidang-sidang Badan PenyelidikUsaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) 28 Mei-17 Juli 1945dan sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 18-22 Agustus1945. Rumusan awal ketentuan itu diajukan oleh Panitia Kecil yang diketuaiProf Soepomo, dibentuk oleh Panitia Rancangan Undang-Undang Dasar diketuaiIr Soekarno, tercantum di pasal 4 ayat 2: ''Yang dapat menjadi Presiden danWakil-wakil Presiden hanya orang Indonesia asli''. Dalam rancangan awal ituwakil presiden lebih dari satu orang.

Ketika dibawa ke sidang lengkap Panitia Perancang Undang-undang Dasar 13Juli 1945, hasil Panitia Kecil itu menjadi perdebatan hangat. DimulaiWachid Hasjim yang mengusulkan dua hal yaitu (1) pada ketentuan Presidenitu ditambahkan kata ''yang beragama Islam'', (2) pada ps 29 tentang Agamadicantumkan ''Agama negara ialah agama Islam''. Usul itu didukung olehSoekiman.

Tapi Agoes Salim menolak karena itu berarti mementahkan konsensus yangsudah dicapai. Agoes Salim, Wachid Hasjim, dan Kahar Moezakir, sama-samaanggota Panitia 9 yang berhasil merumuskan Preambule atau Pembukaan UUDyang oleh Bung Karno dipandang ''satu persetujuan antara pihak Islam danpihak kebangsaan''. Agoes Salim menyarankan agar masalah ini diserahkansaja ke Badan Permusyawaratan Rakyat nanti.

Agar masalah ini tidak berlarut-larut Djajadiningrat mengusulkan seluruhpasal 4 ayat 2 itu dihapus saja. Usul itu didukung Wongsonagoro dan OtoIskandardinata. Tapi sampai sidang ditutup belum dicapai kata sepakat.(Risalah Sidang Badan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)Setneg cet III, 1995, 224-27).

Moezakir pukul meja

Masalah ini terangkat kembali dalam sidang lengkap 15 Juli malam. AnggotaPratalykrama mengusulkan presiden ''hendaknya orang Indonesia asli yangumurnya tidak kurang dari 40 tahun dan beragama Islam''. Usul itu didukungKH Masjkoer.

Soepomo langsung menanggapi bahwa ketentuan tentang umur dan asli itu tidakperlu ada. Di samping mengingatkan kompromi yang sudah dicapai, jugabukankah 95% penduduk Indonesia sudah beragama Islam. Tanggapan Soepomo diperkuat Soekarno, yang khusus diminta Ketua Radjiman untuk berbicara.

Soekarno menjelaskan bahwa ''sebagai persoon Soekarno, sayaseyakin-yakinnya bahwa Presiden Indonesia tentu orang Islam''. Karena itu''saya menguatkan pendirian Panitia Perancang, bahwa inilah yangsebijaksana-bijaksananya, yang memperdamaikan kita dengan kita, yangmenghindari tiap-tiap perselisihan antara dua pihak yang bertentangan. Kitatelah membikin gentlemen-agreement. Rancangan Undang-undang Dasar iniadalah satu penghormatan kepada gentlemen-agreement itu.''

Tapi Masjkoer masih mengusahakan kompromi. Soekarno mengakomodasinya denganmengubah kata-kata. Di tengah tawar-menawar itu Kahar Moezakir menyela:''Saya mau mengusulkan kompromi... supaya dari permulaan pernyataanIndonesia Merdeka sampai kepada pasal di dalam Undang-undang Dasar itu yangmenyebut-nyebut Allah atau agama Islam atau apa saja, dicoret sama sekali,jangan ada hal-hal itu,'' katanya dengan memukul meja.

Radjiman menanyakan pendapat hadirin. Soekardjo Wirjopranoto tampil. Iamenunjuk ke pasal 27 bahwa ''Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintah. Konsekuensinya... bahwa tiap-tiap putraIndonesia berhak juga untuk menempati kedudukan Presiden RepublikIndonesia''. Soekardjo menyatakan ia menghargai usul Kiai Haji Masjkoer,''tetapi saya juga harus mempertahankan keadilan yang sudah tentu akanmendapat perlindungan dari agama Islam.''

Karena belum dicapai kesepakatan, Ketua Radjiman mengusulkan dipungutsuara, tapi Sanoesi buru-buru mencegah. ''Tidak bisa, tuan, tidak bisadistem. Perkara agama tidak bisa distem,'' katanya. Radjiman nekat akanmemungut suara. Sanoesi bertahan supaya tidak dilakukan stem. Soekarnodengan tegas mengatakan panitia tidak bisa menerima usul Moezakir. Tapi Moezakir masih minta supaya dipertimbangkan.

Hadikoesoemo tampil, menyokong usul Kahar Moezakir. ''Kalau ideologie Islamtidak diterima, tidak diterima!... Itu terang-terangan saja... Untuk keadilan dan kewajiban tidak ada kompromistis, tidak ada... Saya setujudengan kehendak Tuan Abdul Kahar Moezakir, coba distem sajaterang-terangan... apakah negara kita berdasar agama atau tidak. Kalaudiputuskan tidak, tidak, habis perkara. Kalau masih ada pendapat, bagaimanadasarnya, Kristenkah, Islamkah, Buddhakah... barulah kita memilih.''

Ahmad Sanoesi mengusulkan, seperti juga Abdul Fatah, masalah ini jangandiputuskan sekarang. Radjiman setuju, tapi mengingatkan mereka dibatasiwaktu. Radjiman menutup sidang menjelang pukul 10 malam (Risalah, 341-53).

Wibawa Bung Karno

Setelah rapat ditutup, Bung Karno mengumpulkan beberapa tokoh nasionalis dan tokoh Islam untuk mencari jalan keluar. Dalam rapat esoknya, 17 Juli1945, Bung Karno selaku ketua Panitia Hukum Dasar tampil sebagai pembicarapertama.

Soekarno mulai dengan mengatakan dia yakin banyak di antara anggota sepertidia juga tadi malam tidak bisa tidur ''karena memikirkankesulitan-kesulitan yang kita hadapi dalam rapat kita tadi malam... Kitakemarin menghadapi satu kesukaran yang amat sulit, tetapi Allah SWT selalumemberi petunjuk kepada kita.''

Ia mengingatkan masing-masing mereka telah bersumpah dalam hati ''tidakakan pulang... sebelum Undang-undang Dasar Indonesia Merdeka tersusun.''Selaku Ketua Panitia ia menekankan perlunya menyudahi perbedaan pendirian,dan agar masing-masing pihak memberi pengorbanan. Sebagai seorangnasionalis ia berbicara ''alangkah gilang-gemilang kita kaum kebangsaan,jikalau kita bisa menunjukkan kepada dunia umum, dunia Indonesia khususnya,bahwa kita demi persatuan, demi Indonesia Merdeka yang hendaknya datang selekas-lekasnya, bisa menjalankan suatu offer mengenai keyakinan kitasendiri... Marilah kita sekarang menjalankan pengorbanan itu,... baiklah kita terima, bahwa di dalam Undang-undang Dasar dituliskan ''Presiden Republik Indonesia haruslah orang Indonesia aseli yang beragama Islam''.

Bung Karno meminta agar ''apa yang saya usulkan itu diterima denganbulat-bulat oleh anggota sekalian, walaupun saya mengetahui, bahwa iniberarti pengorbanan yang sehebat-hebatnya, terutama sekali dari pihak saudara-saudara kaum patriot Latuharhary dan Maramis yang tidak beragamaIslam. Saya minta dengan rasa menangis, rasa menangis, supaya sukalahsaudara-saudara menjalankan offer ini kepada tanah air dan bangsa kita.''(Risalah, 355-57).

Itu adalah pidato singkat yang mempesona dengan kata-kata yang kuat penuh tenaga, sekaligus mendemonstrasikan wibawa orang ini di kalangan pejuang kemerdekaan waktu itu.

Para patriot

Ternyata kemudian para patriot non-Islam tidak perlu menjalankan offer yangdiminta Soekarno. Dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia(PPKI) 18 Agustus, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, para patriotgolongan Islam mengubur sendiri isu yang telah menjadi kontroversi itu.

Sehingga Hatta yang bertindak sebagai wakil ketua dan ditugasi mempelajarikonstitusi yang sudah dihasilkan BPUPKI mengumumkan UUD-1945 pasal 6 alinea1 hanya berbunyi ''Presiden ialah orang Indonesia asli''. Kata-kata ''yangberagama Islam'' dicoret, menurut Hatta ''karena menyinggung perasaan danpun tidak berguna... adanya orang Islam 95% jumlahnya di Indonesia inidengan sendirinya barangkali orang Islam yang akan menjadi Presiden,sedangkan dengan membuang ini maka seluruh Hukum Undang-undang Dasar dapatditerima oleh daerah Indonesia yang tidak beragama Islam...''

Juga kata-kata ''dewan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagipengikut-pengikutnya'' dicoret dari Pembukaan dengan keikhlasan golonganIslam. ''Inilah perubahan yang maha penting menyatukan segala bangsa,''kata Hatta (Risalah, 415).

Maka jelas bahwa ucapan Menteri AM Saefuddin yang bikin heboh itu samasekali tak berguna. Pun suara yang menghendaki presiden bukan hanya harusIslam tapi juga harus lelaki bukan hanya menunjukkan kita lebih terbelakangdaripada para patriot kita setengah abad silam, tapi bahkan menegaskan kitamasih hidup jauh di belakang zaman Tjoet Nyak Dhien ketika memimpin rakyatAceh berperang melawan penjajahan Belanda dulu.***(A-2)