''Kami Ingin Bantu Indonesia, Bagaimana Caranya...?''
SUARA PEMBACA dari Suara Pembaruan, Sabtu, 25 Juli 1998

Oleh: Sabam Siagian
Baru-baru ini saya mengunjungi Singapura atas undangan Duta Besar S.R. Nathan, direktur Institute of Defence and Strategic Studies. Lembaga ini yang masih relatif baru ditugaskan untuk mendorong pemikiran jangka panjang mengenai cara-cara untuk menjamin masa depan Singapura yang serba mantap. Dan menciptakan stabilisasi regional dengan pola kerja sama antar-negara dan bangsa di Asia Tenggara yang kondusif untuk keamanan jangka panjang Singapura. Pak Nathan adalah seorang teman lama. Ia pernah menjadi pemimpin grup perusahaan penerbitan The Straits Times. Kemudian menjadi Komisaris Tinggi Singapura di Kuala Lumpur. Sebuah pos penugasan yang dengan sendirinya amat penting bagi Singapura.

Hampir seluruh suplai air minumnya bersumber di Malaysia. Baru akhir-akhir mulai dipasok air minum dari Pulau Bintan. (Negara-negara anggota Persemakmuran Inggris menyebut para kepala perwakilannya di negara anggota lainnya sebagai Komisaris Tinggi dan bukan Duta Besar. Seperti juga pada tahun 1950 ketika Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia Serikat menjalin hubungan khusus dalam bentuk Uni, sebagai hasil kesepakatan Konperensi Meja Bundar, maka wakil R.I.S. di Den Haag pada waktu itu adalah Komisaris Tinggi Moh. Roem).

Pak Nathan memang pandai memanfaatkan seorang tamu yang diundang oleh lembaga yang dipimpinnya. Selama dua hari penuh ia susun suatu acara kegiatan yang menyibukkan saya dari pagi sampai malam. Menurut acara itu saya diminta memberikan ceramah mengenai situasi Indonesia dan perkiraan masa depan, disusul dengan kesempatan tanya-jawab. Ceramah pertama di The Pyramid Club yang didirikan atas anjuran Lee Kuan Yew, ketika ia masih menjabat sebagai perdana menteri. Para anggotanya terdiri dari elite di lembaga pemerintahan, legislatif, militer, swasta dan media. Yang kedua, saya berikan di Singapore Staff and Command College yang mirip dengan Sesko ABRI di Bandung. Para siswanya dari ketiga angkatan rata-rata berpangkat mayor dan letnan kolonel dengan tingkat kecerdasan yang mengesankan berdasarkan pertanyaan yang mereka ajukan.

Kemudian juga diatur baik pada acara makan siang makan malam atau secara khusus supaya saya dapat jumpa dengan tokoh-tokoh berikut: Menlu S. Jayakumar yang juga bertugas sebagai Menteri Kehakiman, Menteri Penerangan George Yeo, mantan Menlu S. Dhanabalan yang sekarang aktif di bidang perbankan, Letjen (purnawirawan) Winston Choo yang pernah menjadi Pangab dan rekan saya di Canberra ketika ia mewakili Singapura sebagai komisaris tinggi, Profesor Tommy Koh yang dikenal sebagai pakar hukum internasional dan pernah bertugas sebagai dubes di Washington, ia sekarang aktif sebagai Direktur Eksekutif Asia-Europe Foundation. Saya juga jumpa dengan Mathew Samuel, Wakil Presiden Senior Singapore Airlines, Cheong Quee Wah, Direktur Eksekutif Sembawang Corporation, Lim Ho Kee, Ketua Union Bank of Switzerland dan Barry Desker, pernah menjadi dubes di Jakarta dan sekarang menjadi pejabat senior di Trade Development Board. Dalam suatu makan siang, saya jumpa dengan sejumlah anggota parlemen yang relatif baru dalam penugasannya, karena ada yang terpilih baru dua tahun yang lalu.

Pada suatu hari setelah acara makan siang, saya diundang oleh Cheong Yip Seng, Pemimpin Redaksi grup penerbitan The Straits Times berkunjung ke kantornya untuk suatu pertemuan dengan para pemred di lingkungan grup itu, antara lain: Patrick Daniel, Pemred The Business Times; Mohammad Guntur, Pemred Berita Harian; Lim Jim Koon, Pemred Lianhe Zaobao; Yang Razali Kassim yang pernah bertugas di Jakarta sebagai koresponden harian The Straits Times dan sekarang menjadi redaktur untuk analisa wilayah di harian Business Times.

Nama-nama tersebut di atas diurutkan bukan untuk sekadar pamer diri, tapi untuk mendukung kesan yang ingin saya sampaikan bahwa dari tokoh-tokoh di Singapura yang bertanggung jawab di berbagai bi dang kegiatan, betapa perkembangan di Indonesia akhir-akhir ini amat mengkhawatirkan mereka. Kekhawatiran itu tidak usah mengherankan, jika kita memandang secara sekilas saja pada peta Asia Tenggara. Apalagi selama 30 tahun terakhir ini dalam rangka ASEAN, Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara, seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang begitu menyolok, pola hubungan antara Singapura dan negara-negara sekitarnya, khususnya dengan Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara telah meningkat sekali.

Salah satu sukses gemilang dalam kerja sama erat dan hubungan pribadi yang intim antara Perdana Menteri Lee Kuan Yew (kemudian diganti oleh PM Goh Cok Tong) dan Soeharto (ketika itu menjabat Presiden RI) adalah mengembangkan dan meningkatkan kerja sama antara Indonesia dan Singapura. Suatu kerja sama yang simetrik, karena Singapura adalah pusat kegiatan ekonomi modern dan Indonesia adalah negara yang baru saja mendorong pembangunannya (setelah mengatasi usaha kup Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965 dan mengakhiri konfrontasi militer dengan Malaysia dan Singapura pada tahun 1966) dengan penduduk yang amat besar jumlahnya dan sumber alam yang berlimpah.

***

Jadi tidak usah mengherankan kalau berbagai kalangan di Singapura, baik yang memikul tanggung jawab besar di berbagai bidang maupun orang yang mempunyai jabatan biasa-biasa saja di masyarakat mengikuti perkembangan di Indonesia secara cermat. Masyarakat di Singapura yang merupakan pusat telekomunikasi dan informasi dapat memanfaatkan berbagai sumber berita. Harian The Straits Times menugaskan dua koresponden di Jakarta. Harian internasional seperti International Herald Tribune dan Asian Wall Street Journal dicetak di Singapura dan sudah beredar pada pagi hari. Televisi dan radio secara cepat menyiarkan berita dari dan tentang Indonesia, baik yang diperoleh dari kantor berita maupun dari sumber sendiri. Belum lagi informasi yang diperoleh dari percakapan pribadi melalui saluran telepon internasional dan faksimile, atau melalui Internet dan E-mail.

Bukan kekurangan informasi tentang perkembangan di Indonesia yang merupakan persoalan di Singapura, malahan volume informasi yang besar menimbulkan kesulitan untuk mencernakannya. Yang mereka perlukan adalah penilaian dan perkiraan mengenai masa depan.

Kekhawatiran di Singapura yang saya catat berdasarkan pertemuan dan percakapan dengan tokoh-tokoh kepemimpinan di berbagai bidang aktivitas itu bukan saja melulu berdasarkan kepentingan ekonomi dalam pengertian sempit. Tentu mereka khawatir kalau perekonomian Indonesia mengalami keruntuhan yang total dan kemiskinan menjadi meluas sehingga daya beli rata-rata warga Indonesia amat menurun, maka perkembangan gawat itu merupakan pukulan serius bagi perekonomian Singapura. Negara-pulau ini bukan saja menjadi tempat belanja dan tempat perawatan medis bagi orang-orang Indonesia yang serba-mampu. Secara persentase penghasilan dari sektor itu tidak terlalu menentukan. Sektor kegiatan yang diandalkan Singapura adalah ekspor jasa, baik di bidang finansial/perbankan maupun di bidang angkutan udara dan laut.

Namun seorang anggota kabinet yang sudah agak lama saya kenal berkata dalam suatu percakapan berdua saja di kantornya bahwa bukan aspek krisis ekonomi Indonesia dan dampaknya pada hubungan bilateral yang amat dikhawatirkan. ''Itu memang serius. Tapi Anda ingat pada waktu Konfrontasi pertengahan dekade enampuluhan, ketika hubungan perdagangan Singapura dan Indonesia praktis stop sama sekali selama dua tahun, eksistensi kami sebagai negara dan bangsa tidak ambruk. Life went on...'', dengan wajah yang mencerminkan ia sedang berpikir secara intensif. Kemudian sambil menengok keluar melalui jendela, ke arah gedung-gedung yang menjulang tinggi, ia berkata pelan-pelan seakan-akan bicara pada dirinya sendiri ''Yang saya khawatirkan adalah stabilitas di Asia Tenggara kalau Indonesia ambruk total atau menderita krisis yang berkepanjangan, sehingga terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. Kami ingin sekali membantu Indonesia, tapi bagaimana caranya? Indonesia dengan kepemimpinan Presiden Soeharto telah memainkan peranan yang positif sehingga tercipta kondisi strategik yang kondusif di Asia Tenggara. Wilayah kita ini dalam rangka ASEAN direspek dunia internasional. Sedih kami melihat kepemimpinan Soeharto beberapa tahun terakhir ini tidak lagi begitu mantap. Andai kata ia mundur lebih cepat secara teratur...''.

Telah agak lama saya dan beberapa teman lainnya menduga bahwa persoalan Singapura ialah bahwa mereka sudah terbiasa dengan Soeharto sebagai pemimpin Indonesia. Mula-mula Lee Kuan Yew segan-segan menjalin hubungan yang serba akrab. Ia baru melakukan kunjungan resmi ke Jakarta pada bulan Februari 1973, hampir 7 tahun setelah Konfrontasi berakhir.

Sejak itu hubungan Soeharto-Lee Kuan Yew tambah akrab sehingga dalam suatu pertemuan di Jakarta pada awal November 1996 dengan sejumlah orang Indonesia yang dikenalnya, Lee Kuan Yew menasihatkan kami: ''Biarkan Bapak Soeharto menyelesaikan masa penugasannya. Kalau diganggu, nanti timbul masalah besar''. Penafsiran saya tentang ucapannya itu, Biarkan Soeharto menjadi presiden bukan saja sampai Maret 1998, tapi selama dia merasa masih kuat. Karena itu ucapan Lee Kuan Yew sebagai menteri senior (panggilan akrab di Singapore: the SM) pada bulan Januari yang lalu supaya sebaiknya Soeharto jangan memilih B.J. Habibie sebagai wakil presiden yang baru ''demi masa depan Indonesia'' perlu ditempatkan dalam konteks bahwa kepemimpinan Singapura hanya melihat masa depan yang stabil kalau Indonesia dipimpin oleh Soeharto. Atau kalau penggantinya memiliki kemantapan pribadi seperti Soeharto. Tapi akibat ucapan Lee Kuan Yew itu yang mungkin dilaporkan di luar konteks ialah, teman akrabnya Soeharto merasa seperti diajari. Dan terang, profesor Habibie menjadi tersinggung.

Apa yang tidak diperkirakan kalangan kepemimpinan di Singapura sekarang menjadi kenyataan: profesor Habibie adalah presiden RI. Tanpa dikemukakan secara khusus tapi saya catat berdasarkan berbagai percakapan, kalangan kepemimpinan di Singapura merasa bahwa Presiden Habibie dan beberapa pembantu dekatnya sedang ''mencuaikan'' Singapura. Tawaran Singapura untuk mengadakan fasilitas jaminan perdagangan bilateral sekitar AS$ 3 miliar sampai sekarang belum mendapat tanggapan positif dari Jakarta.

***

Setelah pesawat terbang pada suatu pagi hari yang cerah yang membawa saya kembali ke Jakarta tinggal landas pelabuhan udara internasional Cangi yang luas dan modern itu, Singapura tampak terpapar di bawah dengan megahnya. Keunikan wilayah Asia Tenggara dan ASEAN ialah dapat mengandalkan suatu pusat telekomunikasi, pusat jasa perbankan dan finansial, pusat impor-ekspor, fasilitas angkutan laut dan udara yang efisien seperti yang dimiliki Singapura.

Apakah Sir Thomas Stamford Raffles, pejabat kolonial Inggris yang brilian itu memang memiliki pandangan strategik yang amat jitu, ketika ia dipindahkan dari Bengkulu ke Singapura dan berhasil membeli sebagian besar pulau itu dari Sultan Johor pada tahun 1819? Agaknya, ia tidak sampai memperkirakan selengkapnya bahwa pulau yang dibelinya itu akan memainkan peranan begitu penting di Asia Tenggara modern? Demikian juga Belanda tidak menyangka bahwa Singapura akan berkembang sebagai pulau yang strategik di bawah pemerintahan Inggris. Sehingga ketika Jepang berhasil menduduki Singapura pada Februari 1942, maka pertahanan Belanda di jajahan Hindia Belanda (sekarang: RI) juga ambruk. Belanda sudah puas ketika tahun 1824 dalam suatu perjanjian di London, Inggris bersedia menyerahkan beberapa daerah miliknya di Sumatra (terutama Bengkulu), asal saja ia tidak diganggu dalam usahanya mengembangkan Singapura.

Begitu mendalam dan meluas kekhawatiran tentang situasi dan masa depan Indonesia di Singapura sekarang. Bukan saja di bidang politik dan ekonomi, tapi juga pada tingkat yang langsung menyangkut keamanan pribadi. Seorang wanita keturunan Tionghoa yang mencapai gelar doktor ilmu sosial di salah satu universitas terkenal di AS dan sekarang memimpin sebuah lembaga riset berkata secara terus terang: ''Saya mengikuti secara saksama informasi tentang kasus pemerkosaan di Jakarta. Tiba-tiba saya menjadi sadar bahwa saya ini seorang wanita dan seorang keturunan Tionghoa. Timbul ketakutan yang tidak rasional lagi, apakah nasib mengerikan demikian mungkin terjadi pada diri saya juga...?''

Namun saya juga catat keinginan yang tulus di kalangan kepemimpinan di Singapura, baik di pemerintahan, di sektor swasta, media dan para anggota parlemen untuk membantu Indonesia. Bukan saja karena perhitungan pragmatik, tapi didorong oleh motivasi solidaritas Republik Singapura adalah pulau yang tidak luas, hanya 625 kilometer persegi. Wilayah Jabotabek jauh lebih luas. Penduduknya berjumlah tiga juta orang lebih sedikit, sedangkan jumlah penduduk Jakarta Raya mendekati 9 juta. Tapi teliti salah satu indikator utama dari perekonomiannya, yakni Produk Domestik Bruto rata-rata perorangan berdasarkan ukuran daya beli: 74 (AS: 100), sedangkan Indonesia: hanya 10! Dalam istilah teknis bahasa Inggris, ukuran itu disebut purchasing power parity. Struktur komponen perekonomian Singapura juga menunjukkan bahwa sektor berbagai jasa menduduki urutan paling atas, yakni 62%.

''Bagaimana caranya kami dapat membantu...?'', saya dengar berkali-kali dalam berbagai percakapan terbatas.

Bijak sekali kalau pemerintahan Habibie menanggapi keinginan Singapura ini secara positif. Dan mempelajari secara serius dan sistematik, di bidang apa saja dapat segera kita jalin kerja sama. Kalau kita sedang menghadapi kesulitan berat dan ada tetangga yang ingin bantu, kenapa kita mesti bersikap seperti jual-mahal?***

Penulis adalah pengamat perkembangan sosial politik di Indonesia, serta masalah internasional. Ia berdomisili di Jakarta


BACK


Copyright © 1998 INDO CHAOS All rights reserved.