AMIEN RAIS.
Bagian Kedua/Habis (05.06.98) Oleh: Lion.

Ya, mengapa Amien Rais tiba-tiba berubah ?.

Sebagian orang yang belum percaya atau tidak percaya pada Amien Rais umumnya berpendapat bahwa sikap Amien yang berubah itu hanya sebagai bagian dari manuver politiknya untuk mencapai suatu tujuan politik tertentu. Misalnya agar memuluskan jalannya ke kursi presiden. Bahkan ada orang yang curiga bahwa ada aliansi rahasia antara Amien dengan Habibie. Dari pihak luar negeri pun ada yang masih meragukan sikap Amien ini.
Sikap curiga seperti ini memang cukup banyak. Kita juga bisa melihat di beberapa media di internet, seperti INDONESIA-L, yang beberapa kali isinya menyerang Amien Rais.
Saya sendiri pun sebenarnya agak ragu-ragu. Tetapi baiklah saya mencoba bersikap obyektif.

Orang-orang yang curiga dan ragu-ragu kepada Amien Rais biasanya berkata: Jangan-jangan dia sebenarnya tetap seorang fundamentalis, yang berkemejakan seorang yang bijaksana seperti yang saya sudah singgung di bagian pertama artikel ini. Guna menarik sebanyak mungkin massa pendukungnya. Termasuk WNIKC yang harus diakui kuat dari segi ekonomi. Siapa tahu diam-diam Amien tetap Amien yang dulu. Siapa tahu diam-diam dia bercita-cita mendirikan negara Islam yang fundamentalis, begitu benar-benar dia menjadi presiden. Atau pada waktu dia benar-benar berhasil menjadi presiden, muncullah sifat aslinya.

Amien Rais bukannya tidak tahu adanya sikap-sikap curiga tersebut. Dalam menanggapi sikap-sikap demikian Amien Rais pernah berkata begini:
"Saya banyak belajar dari para pendiri negara ini, yang terdiri dari kalangan yang berbeda etnis, maupun agama, yang menerapkan gentlemen agreement. Bahwa kita jangan terbawa bayang-bayang kecurigaan."
Di lain kesempatan Amien juga menangkis tuduhan tuduhan itu dengan berkata: "I am what I am. I am not what they imagined !."

Apakah memang benar demikian ?, Mungkin saja ya, dan mungkin saja tidak.

Mungkin saja "ya" karena memang sifat asli orang kadang-kadang sangat sulit diketahui. Apalagi dalam "bermain politik." Misalnya dari komentar-komentarnya yang "berubah-ubah" dalam menanggapi pergantian presiden dari Soeharto kepada Habibie. Sebentar terkesan keras, di lain kesempatan terkesan melembut. Di suatu waktu meminta agar perubahan politik, mengadakan SI MPR dan Pemilu secepat mungkin. Di waktu lain menghimbau kepada masyarakat agar Habibie diberi kesempatan menjalankan pemerintahannya.

Mungkin saja "tidak" karena memang sikap atau sifat seseorang dalam proses kehidupan secara empiris bisa saja berubah. Dalam hal yang terakhir ini. Bisa saja dalam menjalani proses kehidupan sosial-politiknya Amien Rais mulai menyadari bahwa sikap-sikapnya yang terdahulu yang biasanya dinilai orang sebagai "tidak suka Cina" dan/atau "tidak suka Kristen" sebagai sesuatu yang sangat keliru dan tidak ada manfaatnya. Bahkan sebaliknya sangat merugikan bagi kebaikan bangsa dan negara ini.
Amien mulai bisa menerima fakta bahwa adalah muskil untuk tidak mengikutsertakan WNIKC dalam proses pembangunan negara ini. Karena WNIKC walaupun hanya sekitar 4 persen dari penduduk Indonesia, tetapi peranannya di bidang ekonomi nasional mencapai 70 persen! Membenci WNIKC akan sama saja dengan mengubek-ubek fandasi pembangunan ekonomi nasional. Apalagi para tetangga Indonesia sebagian besar terdiri dari ras kuning (Cina) yang maju. Seperti Singapore, Taiwan, Jepang, Korea Selatan, dan RRT sendiri beserta Hongkong.

Berkembang sangat pesatnya ekonomi AS saat ini sampai-sampai "kelebihan duit dan tidak tahu akan dipakai untuk apa" pun tidak lepas dari peranan besar warga negara keturunan Cina di sana. Hal ini diakui sendiri oleh Presiden Habibie dalam temu-wicaranya dengan para wartawan, Sabtu, 07 Juni 1998 lalu.

Apalagi negara-negara maju, seperti AS, pun sangat tidak senang dengan pimpinan negara yang rasialis dan fundamentalis. Mempertahankan sikap rasialis seperti itu sama saja dengan tidak akan mendapat dukungan dan pengakuan dunia internasional. Bahkan mungkin akan diisolir. Kecuali jika memang yang dikehendaki benar-benar suatu negara Islam fundamentalis yang akan dengan senang hati diterima oleh negara-negara Islam, semacam Iran, Irak, dan Libya.
Jadi mereka menyadari bahwa jika benar-benar ingin eksis dan berhasil duduk sebagai penguasa sikap-sikap Anti Cina/Kristennya harus dilepas. Ngotot mempertahankan sikap tersebut hanya akan menjadi bumerang bagi ambisi sendiri.

Di masa depan saja dipredeksi RRT akan menjadi raksasa ekonomi dunia. Melebihi Jepang, maupun AS sekalipun!
Berpijak dari pikiran-pikiran seperti itulah yang mungkin mengubah pikiran dan pandangan-pandangan Amien Rais dan yang sejenis. Hal yang sama agak mirip dengan presiden B.J. Habibie. Cuma saja terus terang kadar keraguan saya terhadap sikap Habibie jauh melebihi keragu-raguan saya terhadap Amien Rais.
Pada prinsipnya sebenarnya saya percaya terhadap Amien, tetapi tetap saja perasaan ragu-ragu itu ada. Mungkin ini sebagai suatu ekses dari perasaan traumatik ?.
Sekalipun memang demikian yang terjadi pada diri Amien Rais, menurut saya, WNIKC belum benar-benar "aman." Mengapa? Karena situasi yang tercipta berdasarkan hal demikian sebenarnya hanyalah semu dan bersifat "sementara." Maksud saya sikap positif tersebut belum dilandasi dengan perilaku yang asli. Tetapi lebih berat pada karena "memang sulit untuk menjatuhkan" WNIKC sebab walaupun minoritas posisi mereka kuat secara ekonomi. Apalagi jika dikaitkan dengan dunia internasional. Sehingga terpaksalah "mengalah" dan mengambil sikap simpatik terhadap WNIKC itu.
Apabila suatu waktu kelak, dirasakan kondisinya sudah bisa mengimbangi WNIKC, atau mempunyai kekuatan yang dinilai cukup. Bisa saja terjadi kembali HAM WNIKC itu terancam. Karena pada waktu itu mereka sudah mempunyai kekuatan yang cukup untuk secara telah menjatuhkan WNIKC itu. Seperti apa yang pernah dilakukan sebelumnya. Bisa-bisa semua Cina benar-benar diusir dari negeri ini!.

WNIKC baru boleh merasa "aman" jika sikap dan sifat tersebut (menghormati HAM WNIKC) karena berdasarkan budi pekerti dan nurani yang bersih dari yang bersangkutan. Apabila sikap positif terhadap WNIKC oleh orang-orang semacam Amien Rais, dan pimpinan negara ini benar-benar karena berdasarkan budi pekerti dan nurani yang bersih, bukan semata-mata karena apa yang saya sebutkan di atas, barulah bisa diharapkan benar-benar terjaminnya HAM WNIKC. Karena berdasarkan dua hal (hati nurani dan budi pekerti) tersebut, apapun yang terjadi WNIKC akan tetap dipandang sebagai manusia, makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang berhak mendapat perlakuan yang sama di bumi ini. Berhak dihormati hak-hak asasinya, dan marah serta bertindak ketika melihat mereka, atau siapapun diinjak-injak HAM-nya.

Sikap Amien baru-baru ini diuji dengan adanya peristiwa di mana sekelompok orang dari Muhammadiyah yang menamakan dirinya Himpunan Aksi Mahasiswa Muhammadiyah Surabaya, yang disingkat "Hammas" -- mengingat nama organisasi Islam garis keras di Timur Tengah, mendatangi kantor Konjen AS di Surabaya untuk melakukan aksi demo.
Dalam aksi itu terjadi suatu peristiwa yang membuat marah AS. Yakni ketika beberapa orang dari mereka memanjat pagar dan memasuki secara paksa konsul tersebut dan kemudian menyobek bendera AS dan menggantinya dengan bendera merah-putih.
Yang patut disayangkan adalah tidak adanya upaya aparat-aparat yang berjaga di situ untuk mencegah tindakan pelanggaran kedaulatan negara lain itu. Setelah terjadi barulah mereka ditangkap dan ditahan. Itu pun hanya sehari. Sebab mereka semua akhirnya dilepaskan kembali. Kecuali salah seorang dari mereka yang melakukan penyobekan bendera AS tersebut.
Atas peristiwa ini tidak ada reaksi dan komentar dari Amien Rais. Bahkan rektor Universitas Muhammadiyah, malah meminta kepada aparat (Kapolda Jatim) untuk tidak menahan dan melakukan proses hukum terhadap pelaku itu. Alias minta dilepas juga !.
Sikap ini tentu saja bukan sikap yang baik. Bagaimanapun juga pelanggaran yang dilakukan oleh para aktivis Muhammadiyah itu tidak bisa ditoleran. Hukuman berat mungkin kurang layak di sini. Tetapi bagaimana pun proses hukum tetap harus dilakukan. Pelanggaran itu sudah bersifat internasional. Sebagaimana kita ketahui setiap Kedutaan Besar, maupun Konjen asing di setiap negara diakui sebagai bagian kedaulatan dari negara yang bersangkutan. Tidak bisa dimasuki begitu saja. Apalagi dengan menyobek dan menurunkan bendera negara tersebut secara paksa.
Sikap rektor Universitas Muhammadiyah yang meminta Kapolda Jatim melepaskan anak didiknya itu tentu bukan sebuah sikap yang mendidik.
Amien Rais pun tidak memberi komentar apapun terhadap peristiwa ini.

Kemudian adalah lagi peristiwa aksi unjuk rasa oleh sekitar 300 orang dari Muhammadiyah yang menamakan dirinya Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di kantor sebuah harian di Jatim, yaitu Surya. Pasalnya dalam salah satu edisinya koran daerah itu menulis bahwa pemerintah AS telah menyalurkan dana sebesar 26 juta dollar AS, atau sekitar 260 milliar rupiah kepada LSM-LSM dan oposan-oposan tertentu untuk menggulingkan Soeharto. Salah satu nama yang disebut Surya adalah Amien Rais. Padahal menurut mereka di The New York Times, edisi 20 Mei 1998, yang dijadikan sumber berita Surya, sama sekali tidak mencantumkan nama Amien Rais.
Aksi demo tersebut berlangsung cukup panas tetapi tertib, dengan teriakan-teriakan "Allahu Akbar" berkali-kali, dan diramaikan dengan berbagai spanduk yang menghujat Harian Surya. Antara lain ada yang berbunyi: "Surya Anti Islam," "Seret Wartawan Pembuat Fitnah kePengadilan !."
Mereka pun menuntut agar Surya segera minta maaf (kepada Amien Rais) di beberapa media cetak Surabaya selama tiga hari berturut-turut. Berikut permintaan maaf lewat semua televisi swasta Indonesia selama tiga kali tayangan berturut-turut di prime time! Menghadapi massa yang lagi panas itu Harian Surya tidak bisa berbuat apa-apa, selain mengabulkan tuntutan tersebut.
Kemarin dan hari ini (07 Juni dan 08 Juni 1998) Surya telah memuat iklan permintaan maaf itu sampai setengah halaman koran secara mencolok mata. Bahkan menurut Pimpinan Redaksinya wartawan penulis berita tersebut telah dipecat !.
Dalam peristiwa seperti ini sekalipun Surya telah melakukan kesalahan, apakah layak aksi seperti ini dilakukan ?, Aksi demikian menurut saya terkesan "main hakim sendiri" dan "show of the force." Mirip dengan peristiwa yang pernah dialami Harian Kompas ketika Harian tersebut menurunkan artikel di rubrik "Tajuk Rencana"-nya tentang pembantaian di Aljazair yang dinilai menghina Islam. Ketika itu pun Kompas dituntut meminta maaf kepada umat Islam. Kompas juga memenuhi tuntutan tersebut dengan memuat permintaan maaf sebesar setengah halaman koran tersebut.

Menurut saya aksi-aksi unjuk rasa oleh massa dalam menghadapi kasus-kasus seperti ini jika ditolerir terus-menerus akan menjadi preseden buruk bagi dunia pers Indonesia. Bagi saya sekalipun sebuah media melakukan suatu kesalahan, maka telah tersedia prosedur hukum yang berlaku. Misalnya adalah adanya Hak Jawab dari pihak yang merasa dirugikan. Kalau tetap merasa tidak puas tersedia pula jalur hukum.
Kalau setiap kali ada pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan suatu media cetak, selalu direspon dengan aksi "unjuk kekuatan" seperti itu. Bisa-bisa yang berlaku adalah hukum rimba.

Pers Indonesia yang baru saja lepas dari kukungan Pemerintah dari ancaman pembredelan setiap saat, kini diancam setiap saat oleh "penghakiman massa" seperti itu. Masih mendingan kalau semuanya bisa dijamin selalu tertib. Kalau tidak, besar kemungkinan akan terjadi aksi-aksi perusakan. Seperti dalam kasus Monitor dulu.
Dalam kasus di atas sekalipun sosok yang dirugikan oleh Surya adalah seorang tokoh masyarakat, yakni Amien Rais (dalam hal ini Ketua Umum PP Muhammadiyah). Saya tetap tidak setuju dengan aksi demo yang melibatkan ratusan orang massa Muhammadiyah itu. Sebab jika kita benar-benar mau konsekuen menjunjung tinggi semangat keadilan dan demokrasi yang sering digembar-gemborkan, segala macam yang bersifat "main hakim sendiri", "show of the force", "penekanan oleh massa", dan lain-lain yang sejenis harus kita tinggalkan. Marilah berpikir secara lebih jernih dalam menghadapi setiap permasalahan !.

Dalam hal ini bisa dipakai Hak Jawab seperti yang saya kemukakan di atas. Apalagi adanya persepsi sempit yang mengidentikkan tokoh Islam tertentu dengan agama Islam. Seperti yang terjadi dalam kasus Surya itu. Ada spanduk yang berbunyi: "Surya Anti Islam." Seolah-olah Amien Rais itu sama dengan Islam.
Biar bagaimanapun Amien Rais tetap juga adalah warga negara Indonesia biasa. Bukan seorang yang dikultuskan. Bukan seseorang yang harus diperlakukan secara istimewa, atau yang harus dihormati secara berlebihan. Dia tetap mempunyai hak dan kewajiban yang sama di negara yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945.
Yang disesalkan adalah juga sikap Amien Rais terhadap peristiwa ini. Dia tidak melakukan teguran apapun terhadap para aktivis itu. Dia diam terhadap aksi demo itu. Seolah-olah sudah benar apa yang dilakukan oleh mereka yang berdemo dan memaksa Surya minta maaf kepadanya itu.
Kesannya kok seperti Amien itu merasa dirinya sebagai seorang yang superior. Layak mendapat pembelaan oleh massanya dengan cara-cara seperti itu.

Dalam peristiwa ini Amien Rais hanya mengeluarkan pernyataan yang menyangkal tulisan di Surya itu.
Terhadap aksi demo sampai merobek bendera AS dan unjuk rasa di Surya oleh massa Muhammadiyah itu tidak disinggung Amien sedikit pun. Apalagi disalahkan. Mungkin sikap-sikap tersebut bisa menambah rasa curiga adanya sikap fundamentalis, atau radikalisme dalam diri Amien sebagaimana disinggung di awal-awal tulisan ini.

Jangan-jangan kalau kelak Amien benar-benar menjadi presiden, dan ada media yang berani mengkritiknya. Massanya akan dikerahkan atau dibiarkan untuk melakukan aksi demo besar-besaran dan meluluhlantakan gedung kantor media yang bersangkutan !.

Untuk mengambil suatu kesimpulan pasti atas diri seorang Amien Rais saat ini mungkin terlalu dini. Kita masih harus menunggu untuk melihat "sepak terjang"-nya selanjutnya.***


BACK


Copyright © 1998 INDO CHAOS All rights reserved.