Ya, mengapa Amien Rais tiba-tiba berubah ?.
Sebagian orang yang belum percaya atau tidak percaya pada Amien
Rais umumnya berpendapat bahwa sikap Amien yang berubah itu hanya
sebagai bagian dari manuver politiknya untuk mencapai suatu tujuan
politik tertentu. Misalnya agar memuluskan jalannya ke kursi presiden.
Bahkan ada orang yang curiga bahwa ada aliansi rahasia antara
Amien dengan Habibie. Dari pihak luar negeri pun ada yang masih
meragukan sikap Amien ini.
Sikap curiga seperti ini memang cukup banyak. Kita juga bisa melihat
di beberapa media di internet, seperti INDONESIA-L, yang beberapa
kali isinya menyerang Amien Rais.
Saya sendiri pun sebenarnya agak ragu-ragu. Tetapi baiklah saya
mencoba bersikap obyektif.
Orang-orang yang curiga dan ragu-ragu kepada Amien Rais biasanya
berkata: Jangan-jangan dia sebenarnya tetap seorang fundamentalis,
yang berkemejakan seorang yang bijaksana seperti yang saya sudah
singgung di bagian pertama artikel ini. Guna menarik sebanyak
mungkin massa pendukungnya. Termasuk WNIKC yang harus diakui kuat
dari segi ekonomi. Siapa tahu diam-diam Amien tetap Amien yang
dulu. Siapa tahu diam-diam dia bercita-cita mendirikan negara
Islam yang fundamentalis, begitu benar-benar dia menjadi presiden.
Atau pada waktu dia benar-benar berhasil menjadi presiden, muncullah
sifat aslinya.
Amien Rais bukannya tidak tahu adanya sikap-sikap curiga tersebut.
Dalam menanggapi sikap-sikap demikian Amien Rais pernah berkata
begini:
"Saya banyak belajar dari para pendiri negara ini, yang terdiri
dari kalangan yang berbeda etnis, maupun agama, yang menerapkan
gentlemen agreement. Bahwa kita jangan terbawa bayang-bayang kecurigaan."
Di lain kesempatan Amien juga menangkis tuduhan tuduhan itu dengan
berkata: "I am what I am. I am not what they imagined !."
Apakah memang benar demikian ?, Mungkin saja ya, dan mungkin saja
tidak.
Mungkin saja "ya" karena memang sifat asli orang kadang-kadang
sangat sulit diketahui. Apalagi dalam "bermain politik."
Misalnya dari komentar-komentarnya yang "berubah-ubah"
dalam menanggapi pergantian presiden dari Soeharto kepada Habibie.
Sebentar terkesan keras, di lain kesempatan terkesan melembut.
Di suatu waktu meminta agar perubahan politik, mengadakan SI MPR
dan Pemilu secepat mungkin. Di waktu lain menghimbau kepada masyarakat
agar Habibie diberi kesempatan menjalankan pemerintahannya.
Mungkin saja "tidak" karena memang sikap atau sifat
seseorang dalam proses kehidupan secara empiris bisa saja berubah.
Dalam hal yang terakhir ini. Bisa saja dalam menjalani proses
kehidupan sosial-politiknya Amien Rais mulai menyadari bahwa sikap-sikapnya
yang terdahulu yang biasanya dinilai orang sebagai "tidak suka
Cina" dan/atau "tidak suka Kristen" sebagai sesuatu
yang sangat keliru dan tidak ada manfaatnya. Bahkan sebaliknya sangat
merugikan bagi kebaikan bangsa dan negara ini.
Amien mulai bisa menerima fakta bahwa adalah muskil untuk tidak
mengikutsertakan WNIKC dalam proses pembangunan negara ini. Karena
WNIKC walaupun hanya sekitar 4 persen dari penduduk Indonesia,
tetapi peranannya di bidang ekonomi nasional mencapai 70 persen!
Membenci WNIKC akan sama saja dengan mengubek-ubek fandasi pembangunan
ekonomi nasional. Apalagi para tetangga Indonesia sebagian besar
terdiri dari ras kuning (Cina) yang maju. Seperti Singapore, Taiwan,
Jepang, Korea Selatan, dan RRT sendiri beserta Hongkong.
Berkembang sangat pesatnya ekonomi AS saat ini sampai-sampai "kelebihan
duit dan tidak tahu akan dipakai untuk apa" pun tidak lepas
dari peranan besar warga negara keturunan Cina di sana. Hal ini
diakui sendiri oleh Presiden Habibie dalam temu-wicaranya dengan
para wartawan, Sabtu, 07 Juni 1998 lalu.
Apalagi negara-negara maju, seperti AS, pun sangat tidak senang
dengan pimpinan negara yang rasialis dan fundamentalis. Mempertahankan
sikap rasialis seperti itu sama saja dengan tidak akan mendapat
dukungan dan pengakuan dunia internasional. Bahkan mungkin akan
diisolir. Kecuali jika memang yang dikehendaki benar-benar suatu
negara Islam fundamentalis yang akan dengan senang hati diterima
oleh negara-negara Islam, semacam Iran, Irak, dan Libya.
Jadi mereka menyadari bahwa jika benar-benar ingin eksis dan berhasil
duduk sebagai penguasa sikap-sikap Anti Cina/Kristennya harus
dilepas. Ngotot mempertahankan sikap tersebut hanya akan menjadi
bumerang bagi ambisi sendiri.
Di masa depan saja dipredeksi RRT akan menjadi raksasa ekonomi
dunia. Melebihi Jepang, maupun AS sekalipun!
Berpijak dari pikiran-pikiran seperti itulah yang mungkin mengubah
pikiran dan pandangan-pandangan Amien Rais dan yang sejenis. Hal
yang sama agak mirip dengan presiden B.J. Habibie. Cuma saja terus
terang kadar keraguan saya terhadap sikap Habibie jauh melebihi
keragu-raguan saya terhadap Amien Rais.
Pada prinsipnya sebenarnya saya percaya terhadap Amien, tetapi
tetap saja perasaan ragu-ragu itu ada. Mungkin ini sebagai suatu
ekses dari perasaan traumatik ?.
Sekalipun memang demikian yang terjadi pada diri Amien Rais, menurut
saya, WNIKC belum benar-benar "aman." Mengapa? Karena
situasi yang tercipta berdasarkan hal demikian sebenarnya hanyalah
semu dan bersifat "sementara." Maksud saya sikap positif
tersebut belum dilandasi dengan perilaku yang asli. Tetapi lebih
berat pada karena "memang sulit untuk menjatuhkan" WNIKC
sebab walaupun minoritas posisi mereka kuat secara ekonomi. Apalagi
jika dikaitkan dengan dunia internasional. Sehingga terpaksalah
"mengalah" dan mengambil sikap simpatik terhadap WNIKC
itu.
Apabila suatu waktu kelak, dirasakan kondisinya sudah bisa mengimbangi
WNIKC, atau mempunyai kekuatan yang dinilai cukup. Bisa saja terjadi
kembali HAM WNIKC itu terancam. Karena pada waktu itu mereka
sudah mempunyai kekuatan yang cukup untuk secara telah menjatuhkan
WNIKC itu. Seperti apa yang pernah dilakukan sebelumnya. Bisa-bisa
semua Cina benar-benar diusir dari negeri ini!.
WNIKC baru boleh merasa "aman" jika sikap dan sifat
tersebut (menghormati HAM WNIKC) karena berdasarkan budi pekerti
dan nurani yang bersih dari yang bersangkutan. Apabila sikap positif
terhadap WNIKC oleh orang-orang semacam Amien Rais, dan pimpinan
negara ini benar-benar karena berdasarkan budi pekerti dan nurani
yang bersih, bukan semata-mata karena apa yang saya sebutkan di
atas, barulah bisa diharapkan benar-benar terjaminnya HAM WNIKC.
Karena berdasarkan dua hal (hati nurani dan budi pekerti) tersebut,
apapun yang terjadi WNIKC akan tetap dipandang sebagai manusia,
makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang berhak mendapat perlakuan
yang sama di bumi ini. Berhak dihormati hak-hak asasinya, dan
marah serta bertindak ketika melihat mereka, atau siapapun diinjak-injak
HAM-nya.
Sikap Amien baru-baru ini diuji dengan adanya peristiwa di mana
sekelompok orang dari Muhammadiyah yang menamakan dirinya Himpunan
Aksi Mahasiswa Muhammadiyah Surabaya, yang disingkat "Hammas"
-- mengingat nama organisasi Islam garis keras di Timur Tengah,
mendatangi kantor Konjen AS di Surabaya untuk melakukan aksi demo.
Dalam aksi itu terjadi suatu peristiwa yang membuat marah AS.
Yakni ketika beberapa orang dari mereka memanjat pagar dan memasuki
secara paksa konsul tersebut dan kemudian menyobek bendera AS
dan menggantinya dengan bendera merah-putih.
Yang patut disayangkan adalah tidak adanya upaya aparat-aparat
yang berjaga di situ untuk mencegah tindakan pelanggaran kedaulatan
negara lain itu. Setelah terjadi barulah mereka ditangkap dan
ditahan. Itu pun hanya sehari. Sebab mereka semua akhirnya dilepaskan
kembali. Kecuali salah seorang dari mereka yang melakukan penyobekan
bendera AS tersebut.
Atas peristiwa ini tidak ada reaksi dan komentar dari Amien Rais.
Bahkan rektor Universitas Muhammadiyah, malah meminta kepada aparat
(Kapolda Jatim) untuk tidak menahan dan melakukan proses hukum
terhadap pelaku itu. Alias minta dilepas juga !.
Sikap ini tentu saja bukan sikap yang baik. Bagaimanapun juga
pelanggaran yang dilakukan oleh para aktivis Muhammadiyah itu
tidak bisa ditoleran. Hukuman berat mungkin kurang layak di sini.
Tetapi bagaimana pun proses hukum tetap harus dilakukan. Pelanggaran
itu sudah bersifat internasional. Sebagaimana kita ketahui setiap
Kedutaan Besar, maupun Konjen asing di setiap negara diakui sebagai
bagian kedaulatan dari negara yang bersangkutan. Tidak bisa dimasuki
begitu saja. Apalagi dengan menyobek dan menurunkan bendera negara
tersebut secara paksa.
Sikap rektor Universitas Muhammadiyah yang meminta Kapolda Jatim
melepaskan anak didiknya itu tentu bukan sebuah sikap yang mendidik.
Amien Rais pun tidak memberi komentar apapun terhadap peristiwa
ini.
Kemudian adalah lagi peristiwa aksi unjuk rasa oleh sekitar 300
orang dari Muhammadiyah yang menamakan dirinya Angkatan Muda Muhammadiyah
(AMM) dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di kantor sebuah
harian di Jatim, yaitu Surya. Pasalnya dalam salah satu edisinya
koran daerah itu menulis bahwa pemerintah AS telah menyalurkan
dana sebesar 26 juta dollar AS, atau sekitar 260 milliar rupiah
kepada LSM-LSM dan oposan-oposan tertentu untuk menggulingkan
Soeharto. Salah satu nama yang disebut Surya adalah Amien Rais.
Padahal menurut mereka di The New York Times, edisi 20 Mei 1998,
yang dijadikan sumber berita Surya, sama sekali tidak mencantumkan
nama Amien Rais.
Aksi demo tersebut berlangsung cukup panas tetapi tertib, dengan
teriakan-teriakan "Allahu Akbar" berkali-kali, dan diramaikan
dengan berbagai spanduk yang menghujat Harian Surya. Antara lain
ada yang berbunyi: "Surya Anti Islam," "Seret Wartawan
Pembuat Fitnah kePengadilan !."
Mereka pun menuntut agar Surya segera minta maaf (kepada Amien
Rais) di beberapa media cetak Surabaya selama tiga hari berturut-turut.
Berikut permintaan maaf lewat semua televisi swasta Indonesia
selama tiga kali tayangan berturut-turut di prime time! Menghadapi
massa yang lagi panas itu Harian Surya tidak bisa berbuat apa-apa,
selain mengabulkan tuntutan tersebut.
Kemarin dan hari ini (07 Juni dan 08 Juni 1998) Surya telah memuat
iklan permintaan maaf itu sampai setengah halaman koran secara
mencolok mata. Bahkan menurut Pimpinan Redaksinya wartawan penulis
berita tersebut telah dipecat !.
Dalam peristiwa seperti ini sekalipun Surya telah melakukan kesalahan,
apakah layak aksi seperti ini dilakukan ?, Aksi demikian menurut
saya terkesan "main hakim sendiri" dan "show of
the force." Mirip dengan peristiwa yang pernah dialami Harian
Kompas ketika Harian tersebut menurunkan artikel di rubrik "Tajuk
Rencana"-nya tentang pembantaian di Aljazair yang dinilai
menghina Islam. Ketika itu pun Kompas dituntut meminta maaf kepada
umat Islam. Kompas juga memenuhi tuntutan tersebut dengan memuat
permintaan maaf sebesar setengah halaman koran tersebut.
Menurut saya aksi-aksi unjuk rasa oleh massa dalam menghadapi
kasus-kasus seperti ini jika ditolerir terus-menerus akan menjadi
preseden buruk bagi dunia pers Indonesia. Bagi saya sekalipun
sebuah media melakukan suatu kesalahan, maka telah tersedia prosedur
hukum yang berlaku. Misalnya adalah adanya Hak Jawab dari pihak
yang merasa dirugikan. Kalau tetap merasa tidak puas tersedia
pula jalur hukum.
Kalau setiap kali ada pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan
suatu media cetak, selalu direspon dengan aksi "unjuk kekuatan"
seperti itu. Bisa-bisa yang berlaku adalah hukum rimba.
Pers Indonesia yang baru saja lepas dari kukungan Pemerintah dari
ancaman pembredelan setiap saat, kini diancam setiap saat oleh
"penghakiman massa" seperti itu. Masih mendingan kalau
semuanya bisa dijamin selalu tertib. Kalau tidak, besar kemungkinan
akan terjadi aksi-aksi perusakan. Seperti dalam kasus Monitor
dulu.
Dalam kasus di atas sekalipun sosok yang dirugikan oleh Surya
adalah seorang tokoh masyarakat, yakni Amien Rais (dalam hal ini
Ketua Umum PP Muhammadiyah). Saya tetap tidak setuju dengan aksi
demo yang melibatkan ratusan orang massa Muhammadiyah itu. Sebab
jika kita benar-benar mau konsekuen menjunjung tinggi semangat
keadilan dan demokrasi yang sering digembar-gemborkan, segala
macam yang bersifat "main hakim sendiri", "show
of the force", "penekanan oleh massa", dan lain-lain
yang sejenis harus kita tinggalkan. Marilah berpikir secara lebih
jernih dalam menghadapi setiap permasalahan !.
Dalam hal ini bisa dipakai Hak Jawab seperti yang saya kemukakan
di atas. Apalagi adanya persepsi sempit yang mengidentikkan tokoh
Islam tertentu dengan agama Islam. Seperti yang terjadi dalam
kasus Surya itu. Ada spanduk yang berbunyi: "Surya Anti Islam."
Seolah-olah Amien Rais itu sama dengan Islam.
Biar bagaimanapun Amien Rais tetap juga adalah warga negara Indonesia
biasa. Bukan seorang yang dikultuskan. Bukan seseorang yang harus
diperlakukan secara istimewa, atau yang harus dihormati secara
berlebihan. Dia tetap mempunyai hak dan kewajiban yang sama di
negara yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945.
Yang disesalkan adalah juga sikap Amien Rais terhadap peristiwa
ini. Dia tidak melakukan teguran apapun terhadap para aktivis
itu. Dia diam terhadap aksi demo itu. Seolah-olah sudah benar
apa yang dilakukan oleh mereka yang berdemo dan memaksa Surya
minta maaf kepadanya itu.
Kesannya kok seperti Amien itu merasa dirinya sebagai seorang
yang superior. Layak mendapat pembelaan oleh massanya dengan cara-cara
seperti itu.
Dalam peristiwa ini Amien Rais hanya mengeluarkan pernyataan yang
menyangkal tulisan di Surya itu.
Terhadap aksi demo sampai merobek bendera AS dan unjuk rasa di
Surya oleh massa Muhammadiyah itu tidak disinggung Amien sedikit
pun. Apalagi disalahkan. Mungkin sikap-sikap tersebut bisa menambah
rasa curiga adanya sikap fundamentalis, atau radikalisme dalam diri
Amien sebagaimana disinggung di awal-awal tulisan ini.
Jangan-jangan kalau kelak Amien benar-benar menjadi presiden,
dan ada media yang berani mengkritiknya. Massanya akan dikerahkan
atau dibiarkan untuk melakukan aksi demo besar-besaran dan meluluhlantakan
gedung kantor media yang bersangkutan !.
Untuk mengambil suatu kesimpulan pasti atas diri seorang Amien
Rais saat ini mungkin terlalu dini. Kita masih harus menunggu
untuk melihat "sepak terjang"-nya selanjutnya.***