SEMAPUTNYA BCA DAN RASA TANGGUNG JAWAB KELUARGA CENDANA.
(28.05.98) Oleh Lion.

Bank swasta terbesar di Indonesia, BCA, akhirnya semaput juga dan masuk "rumah sakit BPPN." Setelah di-rush secara habis-habisan oleh nasabahnya selama sekitar satu minggu. Sampai tanggal 27 Mei saja diperkirakan dana yang keluar dari BCA akibat rush itu sudah mencapai Rp. 8 triliun!.
Melalui pengumuman yang dibacakan oleh Gubernur BI, Sjahril Sabirin, mulai terhitung tanggal 28 Mei 1998, BCA masuk dalam perawatan "dokter BPPN."

Rush terhadap BCA mulai terasa sekitar tanggal 19 Mei lalu, atau pasca kerusuhan Jakarta. Kerusuhan Jakarta yang terjadi selama dua hari berturut-turut (13 dan 14 Mei) mengakibatkan banyak sekali kantor-kantor bank turut hancur. Namun yang terparah dan terbesar menimpa BCA. Jumlah kantor cabang dan ATM-nya yang dijarah, dihancurkan, dan dibakar basah berjumlah ratusan buah (122 kantor cabang dan 150 ATM). Kerugian dari uang di ATM saja diperkirakan sekitar Rp. 3 miliar. Keseluruhan total kerugian BCA dari kerusuhan tersebut bisa mencapai Rp. 10 miliar lebih.

Lalu apakah dengan kerugian sebesar itu lalu membuat BCA semaput dan terpaksa dirawat di ruang ICU perbankan Indonesia itu? Tentu saja tidak.
Bank yang beraset total sampai dengan Desember 1997 sebesar Rp. 53,54 triliun dan memiliki tak kurang 756 cabang dan 1500 lebih ATM di seluruh Indonesia itu pasti tidak akan tergoyahkan kalau "hanya" menderita kerugian sebesar itu. Yang menjadi malapetaka bagi bank tersebut sebenarnya adalah kepercayaan masyarakat!.

Paska kerusuhan Jakarta dari tanggal 14 sampai dengan 18 Mei masih terasa di hampir seluruh Indonesia. Terutama kota-kota besar. Dalam masa itu boleh dikata kegiatan bisnis Indonesia lumpuh atau berjalan setengah-setengah saja. Banyak kantor, toko, dan bank masih tutup.

Pada waktu kantor-kantor bank dan ATM mulai beroperasi kembali itulah nasabah mulai menyerbu BCA.
Kenapa cuma BCA? Karena orang melihat bahwa seolah-olah BCA-lah yang menjadi sasaran utama dari para perusuh. Maka di bawah bayang-bayang ketakutan kerusuhan akan terulang, atau menjalar ke kota-kota lain, dan BCA kembali menjadi sasaran lagi, di mana jika ini benar terjadi uang mereka di sana bisa terancam. Ditambah selama sekitar seminggu bank-bank tidak bisa beroperasi secara normal. Sehingga uang tunai di tangan menjadi menipis atau malah tidak ada sama sekali, maka terjadilah rush tersebut.

Dalam keadaan begini, BCA melakukan langkah keliru. Entah kenapa tiba-tiba tidak mengoperasikan kantor-kantor cabangnya maupun ATM-nya secara penuh. Banyak kantor cabang dan ATM yang ditutup dan mengalihkan nasabahnya ke kantor-kantor BCA cabang utama.
Kebijaksanaan seperti ini bisa dimengerti apabila itu hanya dilakukan di Jakarta. Karena memang banyak kantor cabangnya yang tidak mungkin dioperasi lagi karena sudah hancur.
Yang mengherankan adalah kebijaksanaan ini berlaku untuk seluruh kota di mana ada BCA. Akibatnya membuat nasabah yang hendak mengambil uangnya atau urusan lain terpaksa bergerombol membentuk "massa" yang antri panjang sekali. Tempat parkir kendaraan sampai tidak cukup.
Antrian manusia sampai puluhan meter bahkan seratus meter lebih. Arus lalu-lintas di sekitar menjadi macet.
Pemandangan seperti ini membuat orang yang kebetulan mempunyai simpanan di BCA yang semula tenang-tenang saja menjadi khawatir juga, akhirnya ikut-ikutan menarik dananya. Hal ini berlangsung selama berhari-hari. Sehingga mengundang semakin banyak nasabah yang "ngeri" dengan keselamatan uangnya ketika melihat antrian rush tersebut.
Seandainya BCA tetap membuka kantor-kantor cabang lainnya seperti biasa, mungkin tidak akan membuat nasabah-nasabahnya panik dan ikut-ikutan rush.

Selain itu latar belakang pemilik bank ikut andil besar meruntuhkan kepercayaan orang terhadap bank itu. Pemiliknya, keluarga Liem dikabarkan sudah cabut ke luar negeri. Bahkan Oom Liem dikabarkan sudah meninggal dunia (dibantah oleh Anthony Salim, dan katanya minggu depan sudah kembali ke Indonesia), sedangkan rumahnya di Jakarta dijarah dan dibakar massa. Sedangkan keluarga Cendana (pemilik 30 persen BCA) juga diisukan sudah lari ke luar negeri. Ditambah lagi desakan semakin kuat agar Soeharto meletakkan jabatannya sebagai presiden.

Kepercayaan benar-benar "habis" ketika Kamis, 21 Mei lalu, Soeharto benar-benar menyatakan berhenti sebagai presiden! Kemudian beredar isu lagi bahwa Mbak Tutut dan Sigit Hardjojudanto, anak-anak Soeharto, yang memiliki saham sebanyak 30 persen lebih di BCA sudah menarik saham dan dananya dari BCA, mengakibatkan bank itu kesulitan dana.
Dana BCA menjadi minus Rp. 15 triliun di BI!
Dari sini bisa kita juga lihat bagaimana rasa tanggung jawab dalam dunia bisnis Keluarga Cendana itu. Di masa sulit mereka biasanya lepas tanggung jawab. Bahkan cenderung cari selamat sendiri tidak perduli bagaimana dengan rakyat kebanyakan.
Hal ini bukan satu-dua kali terjadi. Banyak sekali keluhan pengusaha yang bermitra bisnis dengan Keluarga Cendana. Manakala bisnis terancam rugi. Mereka cepat-cepat cabut mengambil langkah seribu. Membiarkan mitra bisnisnya sendirian kalang kabut mencoba menyelamatkan perusahaan.

Dalam hal BCA isu bahwa Keluarga Liem melarikan diri ke luar negeri ternyata tidak benar. Anak Oom Liem, Anthony, misalnya tetap di Jakarta dan bersama-sama pengurus BCA lainnya berupaya menyelamatkan BCA. Bank kebanggaan mereka. Keluarga Liem sampai menyuntik dana segar sebesar Rp 1 triliun ke BCA. Ditambah lagi pernyataan bertubi-tubi di media massa dari Keluarga Liem dan para pengurus BCA lainnya dan Bank Indonesia bahwa BCA tetap aman. Ternyata tetap tidak bisa menolong.

Apakah benar Mbak Tutut dan Sigit secara mendadak menarik dananya di BCA sampai BCA mengalami kesulitan dana? Benar atau tidak, tanggung jawab dan andil mereka tetap besar terhadap "kelangsungan hidup" BCA.
Kalau pun mereka masih tetap ngotot bertahan di BCA, orang tetap khawatir. Karena saat-saat ini mereka terus dipojokkan dari berbagai pihak yang mempersoalkan kekayaan mereka dan tuntutan untuk mengadili mereka. Masyarakat, terutama pemilik uang di BCA khawatir kalau sampai Keluarga Cendana benar-benar sampai "out" ke luar negeri BCA benar-benar bisa mati.
Gubenur BI, Sjahrir Sabirin menyadari hal itu. Oleh karena itu dengan tegas dia mengharapkan kepada Mbak Tutut dan Sigit untuk memberi ketrangan resmi kepada publik. Sjarir menyatakan bahwa rush BCA sangat terkait dengan figur Mbak Tutut dan Sigit. Oleh karena itu, bila kedua anak Soeharto itu tetap diam, maka bantuan dari BI, maupun pemilik BCA lain (Keluarga Liem) tetap sia-sia.

Dan itulah yang terjadi kedua anak Soeharto itu tetap bungkam seribu bahasa. Membiarkan orang lain panik (pemrintah c.q. Bank Indonesia dan Keluarga Liem) sibuk mencari berbagai jurus untuk menyelamatkan bank swasta terbesar di Indonesia itu. Membiarkan rakyat (nasabah) BCA cemas dan antri berjam-jam untuk mengambil uangnya di BCA itu. Sampai BCA benar-benar semaput kedua anak Soeharto itu tetap acuh tak acuh! Ataukah benar mereka sekarang ini sudah melarikan diri ke luar negeri?.

Di sini sekali lagi kita melihat bukti betapa rendahnya etika bisnis dari Keluarga Cendana seperti saya singgung di atas itu.
Sejelek-jeleknya Keluarga Liem mereka tetap berupaya eksis, tidak lari dari tanggung jawab.

Setelah BCA, bank swasta mana lagi akan mendapat giliran? Tentu saja besar kemungkinan adalah bank-bank milik Keluarga Cendana lainnya.
Misalnya Bank Duta yang dimiliki oleh Soeharto dan Bob Hasan. Kita tunggu saja babak selanjutnya dari "Drama Krisis" di Indonesia.***


BACK


Copyright © 1998 INDO CHAOS All rights reserved.