Beim Irrwisch von Indonesien (II)
Di tempat pelawak zigzag (burung kurcaci) Indonesia (II/Habis)

January 02, 1999

STERN
contributed by "EU"

Vernichtender war da die Charakterisierung Habibies durch Abdurrahman Wahid, meist Gus Dur genannt, was soviel wie Hochzuverehrender Heiliger bedeutet. Der Führer der größten Muslimorganisation Indonesiens ist seit einem Schlaganfall und nachfolgender Gehirnoperation seit Monaten blind. Er versicherte zunächst, daß er nichts lieber hört als den vierten Satz aus Beethovens Neunter, dirigiert von Günter Wand, um dann mit dem Präsidenten ins Gericht zu gehen: "Er versteht nichts von Politik. Nicht, weil er ein deutscher Ingenieur ist, sondern weil er einfach nichts von Führung versteht. Schauen Sie ihn sich doch an! Das ist doch ein Kind! Dauernd trifft er die falschen Entscheidungen. Und, was das Schlimmste ist: Er kann dem Druck der militanten rechten Muslims nicht standhalten."

Lebih menghancurkan penggambaran ciri-ciri Habibie menurut Abdurrahman Wahid, nama populernya Gus Dur, artinya orang suci patut dihormati. Pemimpin organisasi Muslim Indonesia yang paling besar itu menjadi buta sudah berbulan-bulan akibat stroke sambil operasi otak. Pertama-tama Gus Dur menjamin, bahwa tidak ada lagu yang dia lebih senang dengar selain komposisi Beethoven yang ke sembilan, yang dipimpin oleh Günter Wand, lantas Gus Dur memperingati akan kesalahan Habibie: "Habibie tidak mengerti tentang politik. Hal ini bukan dikarenakan dia seorang insinyur Jerman, melainkan karena dia tidak mengerti tentang kepemimpinan. Coba anda lihat Habibie! Dia seperti anak kecil! Selalu mengambil keputusan yang salah. Dan, yang paling buruk: Tekanan pihak muslim kanan yang militan tidak bisa menghindari."

Das hindert Gus Dur allerdings nicht, Habibie zwei Tage später aufzusuchen und "freundschaftlich", so das Kommunique, über Indonesiens Zukunft zu reden. Beiden ist die große Gefahr bewußt, in der sich das Land befindet. Das Szenario, das auch Gus Dur "im großen und ganzen" für möglich hält, würde so ablaufen: Im Februar 1999 wird die letzte Tranche des Weltbankkredits ausbezahlt. Die wird noch so mitgenommen, schon um das zu bezahlen, was dann abläuft. Militante Muslims und das seit Suhartos Sturz total verunsicherte Militär provozieren einen neuen Volksaufstand mit Plünderungen, Morden, Vergewaltigungen und dem Abfackeln von Sakralbauten aller Religionen. Um die Ordnung wiederherzustellen, wird der Ausnahmezustand erklärt, das Kriegsrecht verhängt und die zum 7. Juni 1999 versprochene Parlamentswahl abgesagt. Habibie darf als Marionette der Armee weiterregieren.

Dalam hal ini untuk Gus Dur bukan sebagai halangan untuk mengunjungi Habibie dua hari kemudian dan berunding "dengan ramah", yang akan mengeluarkan pernyataan, tentang masa depan untuk Indonesia (Dialog nasional, Red.). Kedua-duanya menyadari, bahwa Indonesia ada dalam keadaan bahaya. Skenario yang juga dinilai Gus Dur secara "pada umumnya" sesuatu kemungkinan bisa terjadi, begini: Bulan Pebruari 1999 cicilan terakhir kredit IMF akan dibayar. Uang itu masuk kantong dulu, yang mana dana ini di kemudian hari akan digunakan untuk sesuatu yang akan terjadi kemudian: Pihak muslim yang militan dan juga tentara, yang sejak saat Suharto turun sangat kebingungan, mereka mengasut pemberontakan masyarakat dengan penjarahan, pembunuhan, perkosaan dan pembakaran tempat-tempat ibadah segala macam agama. Setelah itu, untuk mengembalikan ketertiban umum, keadaan yang darurat maka akan dinyatakan, hukum perang akan digunakan, dan pemilihan umum, yang direncanakan untuk tanggal 7 Juni 1999, akan dibatalkan. Habibie boleh berkuasa sebagai boneka tentara.

"Niemals!" lodert Habibie hinter seinem Schreibtisch. "Das ist genau so, als würde ich mit Ihnen diskutieren, was passiert, wenn es hier in Jakarta zehn Meter hoch auf mein Hausdach schneit. Nie!" Doch schürt er, willig oder unbedarft, in der Dezemberhitze Zweifel an seinen tatsächlichen Intentionen. So tut er die bis zu 20000 Teilnehmer starken Studentendemos mit dem Hinweis ab: "Das sind doch lauter bezahlte Arbeitslose und Dauerstudenten! Die echten Studenten waren nur im Mai auf der Straße. Sie waren es, die Suharto stürzten. Fragen Sie doch Ihren Botschafter, Herrn Seemann! Der sieht das auch so."

"Tidak mungkin!" ucap Habibie di belakang meja tulis. "Itu sama dengan saya berdebat dengan anda apa yang terjadi, kalau di atas atap rumah saya disini di Jakarta ada salju setebal 10 meter. Tidak mungkin terjadi!" Meskipun demikian, apakah dalam hal ini membuat sengaja ataukah memang dia naif, dalam hawa panas di bulan desember ini Habibie membuat kami ragu terhadap rencana dan niatnya yang sesungguhnya. Umpamanya demo-demo mahasiswa dengan peserta sampai 20000 orang dikomentari oleh Habibie: "Para pengikut demonstrasi cuma terdiri dari pengangguran dan mahasiswa abadi, yang dibayar!  Yang betul-betul mahasiswa,  berada di jalan pada waktu bulan Mei 1998, mereka itulah yang menggulingkan Suharto. Tanyalah dalam hal ini Kedubes anda, tuan Seemann! Pendapat dia pun juga demikian."

Diese merkwürdige Tatsachenvernebelung aus deutschem Diplomatenmund kann nicht verhindern, daß die Wirklichkeit wenigstens bis in den Palast vordringt. Ja, er weiß, daß die Zahl der Menschen, die Jakartas riesige Müllhalden durchsuchen, von 2000 auf täglich 8000 gestiegen ist. Ja, ihn dauern die Frauen, die auf dem Reismarkt zwischen Schmutz und Abfall einzelne Reiskörner aufsammeln, um nach Stunden eine Handvoll Essen für die Familie zu haben. Er lächelt mitleidsvoll bei der Information, daß sogar die Zahl der in Indonesien mit bewundernswerter Toleranz behandelten Transsexuellen unter den Straßenbettlern stark angestiegen ist. Er schüttelt entsetzt den Kopf, weil der Lohn der Hafenarbeiter trotz Schwerstarbeit mit Tropenholz und Zementsäcken von täglich umgerechnet zehn auf 1,50 Mark gesunken ist. Und es trifft ihn sichtlich, daß Ulrike Freifrau von Mengden, die seit Jahrzehnten im Zoo von Jakarta Orang-Utan-Babys großzieht, das Futter für ihre 32 Pfleglinge aus dem schmalen Erbe ihrer Mutter berappen muß. "Es gebricht mir an Barmitteln", gibt die 78jährige dem Besucher in preußischer Grandezza zu verstehen.

Penyataan yang berlawanan dengan fakta yang betul terasa sangat aneh keluar dari mulut seorang diplomat Jerman dan tidak dapat menhindari, bahwa kenyataan yang menekan masuk ke dalam istana. Ya, dia tahu, jumlah orang yang cari makan dari gunung sampah di kota besar Jakarta, bertambah dari 2000 orang sekarang menjadi 8000 ribu orang. Ya, dia merasa kasihan kepada perempuan-perempuan, yang di pasar beras di tengah kotoran dan sampah memungut beras satu per satu, yang akhirnya setelah beberapa jam menjadi segenggam makan untuk keluarganya. Dia tersenyum secara penuh rasa kasihan waktu mendengar informasi, bahwa sekarang banyak orang-orang banci menjadi tukang minta-minta, orang-orang banci yang di Indonesia diperlakukan dengan toleransi besar. Dia menggelengkan kepala dengan terperanjat, karena gaji kuli pelabuhan menurun dari 10 DM menjadi 1,50 DM per hari, walaupun kerjanya keras sekali memikul kayu dan karung-karung semen yang berat. Habibie ternyata terkejut, bahwa Ulrike Freifrau von Mengden, yang sudah selama puluhan tahun merawati bayi orang utan di kebun binatang Jakarta, harus bayar makanan untuk anak asuhannya dari warisan ibunya di Jerman yang jumlahnya sangat sedikit. "Saya tidak mempunyai uang tunai", kata Ulrike kepada tamu STERN dengan cara keluhuran kaum bangsawan Preussen.

Dem Präsidenten ist bekannt, daß 70 Millionen seiner Untertanen unterhalb der Armutsgrenze leben. Er stimmt deshalb auch zu, daß Suharto als Verantwortlicher bald vor Gericht muß. Er und seine "Clique von Generälen", wie es der Friedensnobelpreisträger José Ramos Horta fordert, wegen "Massaker an mehr als einer Million Indonesier", wegen Verbrechen gegen die Menschlichkeit.

Presiden tahu, bahwa 70 juta orang yang dikuasai oleh dia, harus hidup dibawah batas kemiskinan. Karena itu dia setuju Suharto diadili sebagai orang yang bertanggung jawab. Suharto dan "kelompok jenderal-jenderalnya", seperti dituntut José Ramos Horta, pemegang hadiah perdamaian Nobel, sebab "pembunuhan melebihi satu juta orang Indonesia" dan juga karena perbuatan jahat yang bertentangan dengan perikemanusiaan.

Dennoch keimt Mißtrauen auf, als das Gespräch auf jene Zivilgarde kommt, die er und sein Armeechef Wiranto einzuführen gedenken, angeblich zum Schutz der Bevölkerung. "Das ist wie bei Ihnen in Deutschland das Technische Hilfswerk." Das ist nicht bewaffnet. "Bei uns auch nicht!" Einer Ihrer Minister hat genau das durchblicken lassen. "Der spinnt ja!" Habibie zieht empört an der riesigen Schreibtischschublade vor sich. Ein Verhau wird sichtbar. Das mit der Bewaffnung stand heute in der Zeitung. "Quatsch", schimpft Habibie und wühlt in der Schublade, offensichtlich nach der Gesetzesvorlage. "Hier muß sie doch irgendwo sein." Ist sie aber nicht. Habibie beginnt flugs eine Diskussion um innere Werte. "Natürlich stimmt der Satz, daß der Indonesier so lange lächelt, bis er explodiert! Das liegt daran, daß er jahrhundertelang durch Tabus, die von Religionen, Stämmen, Kolonialherren verhängt wurden, gezwungen war, sich ein zweites Gesicht anzutrainieren." Und hinter der lächelnden Fassade verbirgt sich 211millionenmal die gleiche Kultur? Habibie nickt. "Insofern unterscheidet mich nichts von der Reissammlerin auf dem Markt. Es ist nur das Glück meiner Erziehung, das mich unterscheidet. Und diese Chancen will ich allen Indonesiern vermitteln."

Meskipun demikian kecurigaan muncul, setelah tema mengenai pasukan sipil yang direncanakan oleh Habibie dan jenderal Wiranto, yang tugasnya sebagai pelindung masyarakat, katanya. "Itu seperti di Jerman "Das Technische Hilfswerk"." (lembaga negeri bantuan teknik, yang di negara Jerman digunakan untuk membantu segala macam bencana alam, Red.) ". Tetapi tidak dipersenjatai itu. "Di sini juga tidak diberi senjata". Masalah ini seorang menteri anda sudah menekankan berlainan dengan anda. "Gila dia!" Secara dijengkelkan Habibie menarik laci meja tulis yang besar sekali. Terlihat didalamnya berantakan. Tentang pasukan sipil yang dipersenjatai ada di koran hari ini. "Omong kosong", mencaci Habibie dan mengobrak-abrik di laci, ternyata untuk mencari rancangan undang-undang. "Pasti harus ada ada disini". Tetapi tidak ketemu. Dengan cepat Habibie mengalihkan dengan membuka diskusi tentang sanubari Indonesia. "Memang kalimat benar, bahwa orang Indonesia selalu tersenyum sampai meletus! Sebabnya begini: Sudah berabad-abad ada macam-macam tabu yang dipasang oleh agama-agama, suku-suku dan kekuasaan penjajahan. Tabu-tabu itu memaksakan orang Indonesia melatihkan mempunyai muka dua." Di belakang wajah tersenyum ada 211 juta kali kebudayaan yang sama? Habibie mengangguk. "Sejauh itu tidak ada berbeda di antara saya dan  seorang pemungut beras di pasar. Perbedaannya dengan saya adalah saja, bahwa saya beruntung mempunyai pendidikan. Kesempatan pendidikan baik saya mau mengantarakan kepada semua orang Indonesia."

Beim Abschied sagt er verschämt: "Ich würde so gerne mal wieder mit meiner Frau nach Buxtehude radeln." Sein Wunsch in Allahs Ohr? Gus Dur, der blinde Seher, hat uns versichert: "Der Mann ist nach den nächsten Wahlen chancenlos. Aber vermutlich will er das nicht glauben, weil er ein trotziges Kind ist."

Pada waktu perpisahan Habibie bilang dengan malu-malu: "Saya senang sekali dapat naik sepeda dengan isteri saya ke Buxtehude." Allah akan mendengar kepingin itu? Gus Dur, peramal yang buta itu, menjamin kami: "Lelaki itu (Habibie, Red.) tidak mempunyai kesempatan setelah pemilu yang akan datang selesai. Tetapi saya kira Habibie tidak mau percaya, karena dia seorang anak bandel."