Beim Irrwisch von Indonesien
Di tempat pelawak zigzag (burung kurcaci) Indonesia

January 01, 1999

STERN
contributed by "EU"

Der neue Präsident des 211-MillionenVolkes, B. J. Habibie, genießt die Macht und träumt von deutschen Verhältnissen. Der STERN besuchte ihn in seinem Palast in Jakarta.

Presiden baru bangsa Indonesia dengan warganya 211 juta orang, B. J. Habibie, menikmati kekuasaannya dan menghayal keadaan seperti keadaan di Jerman.

"Mein Gott, Allah, hab' ich manchmal Heimweh nach Kakerbeck!" seufzt Bacharuddin Jusuf Habibie und meint damit seinen Bungalow bei Stade in Norddeutschland.

"Tuhanku, Allah, kadang-kadang saya rindu betul ke Kakerbeck!" mengeluh Bacharuddin Jusuf Habibie dan yang dimaksud oleh Habibie bungalownya yang terletak di desa Kakerbeck dekat kota Stade di Jerman utara.

Der neue Präsident Indonesiens wuselt durch seinen Palast im Zentrum Jakartas und zeigt mit platzendem Stolz all die güldene, samtene, stuckverzierte Pracht, die
noch vom letzten holländischen Gouverneur zu stammen scheint.

Presiden Indonesia yang baru berjalan ke sana ke sini dalam ruangan istana yang terletak di pusat Jakarta, dan dia menunjukkan dengan bangga besar kemewahan istana yang penuh dengan perhiasan mas, beludru dan langit-langit yang sangat mewah yang kelihatannya seperti peninggalan gubernur Belanda yang terakhir.

"Ist das nicht schön hier!" seufzt er so hingebungsvoll wie eben noch in Richtung Kakerbeck. Er deutet hinaus auf den Palastgarten und die dahinter aufragende letzte Erektion Suhartos, wie der riesige Unabhängigkeits-Obelisk im Volksmund heißt.

"Disini bagus, bukan, ya?" mengeluh dia, menyerahkan diri kepada kemewahan di istana seperti sesaat tadi kepada desa Kakerbeck. Dia menunjuk ke luar ke arah taman istana dan ke arah "ereksi Suharto yang terakhir", yang mana dalam bahasa sehari-hari tugu monas yang besar sekali sebagai simbol ereksi.

Mit seiner naiv-spontanen Sehnsucht nach dem kargen Kakerbeck und der Freude am Pomp legt Habibie genau jene Sprunghaftigkeit an den Tag, die von ausgebufften indonesischen Politikern gefürchtet wird. Das Söhnchen aus armer Familie freut sich wie ein Lausbub über einen Umzug, der den 62jährigen noch immer staunen macht.

Dengan kerinduhan yang naif dan spontan kepada Kakerbeck, desa yang agak sederhana, tetapi di lain pihak dengan kesenangan kemewahan dalam istana ini, Habibie memperlihatkan cara pikiran spontan, yang menakutkan politikus-politikus Indonesia, bahkan politikus yang licik sekali. Putra keturunan keluarga miskin bersenang-senang seperti anak kecil karena perpindahan baru-baru ini, yang masih mengagetkan dirinya sendiri.

"Schauen Sie", ruft er, während er ins nächste Gemach trippelt und sich in einen riesigen Sessel fläzt, "hier empfange ich Minister, Regierungschefs oder Könige, noch nie war hier die Presse, das mache ich nur für den STERN!" Er lacht dabei ein solch ratterndes Lachsacklachen, daß man an Jacques Offenbachs Arie vom buckligen Zwerg "Klein Zack"denkt.

"Silakan lihat", panggilnya sambil berjingkik-jingkik ke ruangan yang berikutnya dan menjatuhkan diri ke atas sofa yang megah. "Di sini saya menerima tamu, baik menteri, kepala negara asing ataupun raja-raja, wartawan-wartawan belum pernah ke sini, sekarang kesempatan khusus untuk STERN!" Kemudian dia tertawa terbahak-bahak mengingatkan nyanyian cebol berpunuk Si "Klein-Zack" (bodor kecil) dari Jacques Offenbach.

Schon schnellt er wieder hoch, die Adjutanten stieben auseinander, verbergen ihren Ärger über das protokollwidrige Verhalten hinter jahrhundertelang trainierter javanischer Gesichtsstarre. Habibie zieht von unten an den für hochgewachsene Holländer gesetzten Türgriffen, bis er die riesige Doppeltür auf hat, stürmt hinein und ruft: "Das ist mein Allerheiligstes!"

Habibie cepat bangun lagi dari sofa, para  ajudan bubar dengan serentak bergerak sambil menyembunyikan kekesalannya yang terlihat pada wajah mereka yang kaku yang mana para ajudan telah terlatih dengan tradisi Jawa berabad-abad. Habibie menarik dari bawah tombol pintu yang sebetulnya dipasang untuk orang Belanda yang tinggi, achirnya dia membuka kedua pintu yang besar sekali, dia masuk ke dalam dan panggil: "Ini tempat  kepunyaan saya yang mahatabu!"

Er hüpft auf eine kleine Empore vor einen altarähnlichen Tisch. Unter Glas liegt dort die rot-weiße Fahne Indonesiens, dazu, in einem Teakholzkästchen, ein mit Schreibmaschine geschriebener Text, der auch riesig an der Wand dahinter zu lesen ist. Habibie übersetzt ins Deutsche: "Wir, das indonesische Volk, erklären hiermit die Unabhängigkeit des indonesischen Volkes. Alle Macht wird in kürzester Zeit dem indonesischen Volke übertragen." Unterschrieben wurde die Erklärung vom ersten Präsidenten Sukarno und seinem Kampfgefährten Hatta, deren riesige Porträts den Text rahmen. "An dieser Wand", Habibie deutet nach rechts auf ein weiteres Riesenbild, "sitzt hinter ihrer Nähmaschine Frau Sukarno, die seinerzeit die Fahne im Schrein genäht hat. Und auf der linken Seite sehen Sie den Sekretär mit der Schreibmaschine, auf der er den Unabhängigkeitstext tippte."

Dia melompat ke atas panggung kecil ke muka meja serupa altar. Terletak di bawah kaca ada Sang Merah Putih, bendera Indonesia, dan di sebelah di dalam peti kecil dari kayu jati ada naskah ditulis mesin tik, naskah yang juga bisa dibaca di dinding di belakang dengan huruf yang sangat besar. Habibie menterjemahkan ke dalam bahasa Jerman: "Kami, bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Semua kekuasaan akan diserahkan kepada bangsa Indonesia dalam waktu sesingkat-singkatnya." Kenyataan ini ditanda-tangani Sukarno, presiden pertama, dan Hatta, teman seperjuangan, potret mereka ini sangat besar sekali membingkaikan naskah kemerdekaan. "Di dinding ini", Habibie menunjukkan ke kanan ke arah potret lain lagi yang juga besar sekali, "di belakang mesin jahit, duduk Nyonya Sukarno, yang pada waktu itu menjahit bendera yang ada dibawa kaca itu. Dan disebelah kiri ada potret sekretaris dengan mesin tik, yang pada waktu itu dipakai untuk menulis naskah kemerdekaan."

Habibie macht ein feierliches Gesicht, räuspert sich, jeder erwartet eine Staatsphrase, doch der dritte Präsident Indonesiens grinst plötzlich los: "Nie wurde ein Sekretär für ein paar getippte Zeilen mehr geehrt", sagt er, wohl wissend, daß keiner in der Entourage Deutsch versteht. Er schnellt zurück an den riesigen Schreibtisch in seinem fensterlosen Büro. Zwei Computer sind darauf aufgebaut, moderne Insignien der Macht.

Muka Habibie menjadi semacam hikmat, dia mendehem, semua orang menantikan semacam ucapan kenegaraan, tetapi presiden Indonesia yang ke tiga tiba-tiba meringis sinis: "Belum pernah ada seorang sekretaris yang mendapat kehormatan begitu besar untuk berapa kalimat yang ditulis dengan mesin tik", katanya dengan kepastian, bahwa disekitar dia tidak ada orang yang mengerti bahasa Jerman. Dengan cepat dia kembali ke meja tulis besar di ruangan kantor, yang tidak mempunyai jendela. Di meja tulis terdapat dua komputer, sebagai tanda kekuasaan yang moderen.

Der Mann hat Karriere gemacht: Als 18jähriger kam er nach Deutschland, studierte in Aachen Flugzeugbau und arbeitete später in Hamburg an der Entwicklung des Airbus ("Das Seitenleitwerk aus Karbon ist so ziemlich von mir"). 1978 wurde er von Suharto als Forschungs- und Technologie-Minister zurückgerufen. Daheim vergeigte der "Indonesier made in Germany", wie er sich selbst fröhlich nennt, energisch Milliarden Dollar beim Aufbau einer nationalen Flugzeugindustrie, die nie abhob. Er war getreuer Diener seines Herrn Suharto, der ihn mit dem Vizepräsidenten-Posten belohnte. So kam es, daß Habibie, nachdem Indonesien in den Sog der asiatischen Wirtschaftskrise gerissen worden war und Suharto im Mai nach Unruhen mit rund hundert Toten zurücktreten mußte, urplötzlich, doch verfassungsgemäß, als Präsident vereidigt wurde.

Orang ini telah membuat karier: Dengan umur 18 tahun dia datang ke Jerman, belajar di Universitas teknik di Kota Aachen jurusan pembuatan mesin dan kemudian di Hamburg bekerja dalam pembangunan pesawat Airbus. (Dia berkata yang seolah-olah: "Buritan samping dari karbon saya yang bikin"). 1978 dia dipanggil Suharto dan menjadi menteri untuk riset dan teknologi.  "Orang Indonesia made in Germany", nama yang dia suka pakai untuk dirinya sendiri, Habibie di Indonesia secara dinamis menghamburkan milyaran dolar untuk industri pesawat nasional, yang tidak pernah terbang. Dia pejabat loyal kepada penguasa Suharto, yang menghadiahkan Habibie dengan jabatan wakil presiden. Begitu jadi, bahwa Habibie, setelah Indonesia ditarik ke dalam krisis moneter di Asia dan setelah Suharto harus mundur bulan Mei akibat kerusuhan dengan ratusan korban yang tewas, secara tiba-tiba, tetapi dianggap sesuai dengan konstittusi, menjadi presiden.

"Ich bin der einzige deutschsprechende Präsident eines 211-Millionen-Volkes", sagt er stolz. "Ich träume auf deutsch, ich zähle auf deutsch und - ich muß es zugeben -fluche auf deutsch. Du kannst mich mal einen Götz von Berlichingen, sag' ich dann zu jemandem, der mich ärgert. Aber die verstehen das zum Glück nicht!" Wieder lacht er sein Hackebeil-Lachen, beugt sich, plötzlich ganz ernst, aus dem Sessel hoch über die Schreibtischkante, bohrt brennende braune Augen in den Gegenüber und stößt hervor: "Und ich habe eine deutsche Vision: Ich will, daß Indonesien eines Tages eine Demokratie wird, wie ich sie über 20 Jahre lang in Deutschland erlebt habe!"

"Saya satu-satunya presiden dari bangsa 211 juta orang , yang bisa berbahasa Jerman", ujarnya dengan bangga. "Saya bermimpi dalam bahasa Jerman, saya menghitung dalam bahasa Jerman dan - saya harus mengakui juga - saya mencaci-maki dalam bahasa Jerman. Du kannst mich mal einen Götz von Berlichingen (Kamu boleh jilat pantat saya), saya bilang dalam bahasa Jerman kepada orang yang mengesalkan saya, untungnya mereka tidak mengerti bahasa Jerman!"

Habibie tertawa terbahak-bahak lagi, kemudian dia membungkukkan diri - dan tiba-tiba serius lagi - dari kursinya ke atas meja tulis dan melototkan mata yang coklat dan membara kepada orang yang ada di hadapannya, dan secara bergagap-gagap mengucap: "Saya empunya vision Jerman: Saya menginginkan pada suatu waktu Indonesia menjadi negara demokrasi, seperti pengalaman saya selama 20 tahun di Jerman!"

Das wollen die Studenten auch, nur nicht unter Habibie. Lukman, ein Englisch-Student, hat uns nach einer Prügelei mit der Polizei den Groll der Jugend so verdeutlicht: "Das ist doch der engste Freund Suhartos! Der soll aufpassen, daß wir ihn nicht auch noch vor Gericht zerren!" Habibie reagiert zögerlich. Vorigen Samstag ließ er ankündigen, schon bald würden wieder 100 Häftlinge freigelassen. Es wird ihm wenig helfen. Weder wird er vom Volk geliebt noch von den anderen politischen Führern des Landes anerkannt. "Ich weiß", sagt er mit einem Anflug von Selbstkritik, "viele Leute finden mich komisch, manchmal vielleicht sogar blöde. Aber das ist mir ziemlich Wurscht!"

Begitu juga yang diinginkan oleh mahasiswa-mahasiswa, hanya bukan dibawah pimpinan Habibie. Lukman, seorang mahasiswa jurusan bahasa Inggris, setelah perkelahian dengan polisi baru selesai, dia menjelaskan, mengapa pemuda-pemuda mempunyai perasaan dendam terhadap Habibie: "Itu Habibie, yang paling akrab dengan Suharto! Dia harap hati-hati supaya tidak ditarik ke pengadilan juga!" Reaksi Habibie yang ragu-ragu. Hari sabtu yang lalu ada pemberitaan, dengan segera akan pembebasan tahanan 100 orang. Tindakan itu tidak akan dapat banyak membantu Habibie. Baik dia oleh masyarakat tidak dicintai  maupun dia oleh para pemimpin politik tidak dihormati, ujar Habibie dengan sekilas kritik terhadap dirinya: "Saya tahu", banyak orang pikir saya lucu, kadang-kadang bahkan goblok.Tetapi semua itu saya tidak perduli!"

***************************************************************************************
bersambung